Haramnya Niyahah dan Pengertian Niyahah
Jumat, 17 Juni 2011
Berikut adalah penjelasan tentang nihayah, dari kacamata Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
أجمعت الأمّةُ على تحريم النياحة، والدعاء بدعوى الجاهلية، والدعاء بالويل والثبور عند المصيبة
“Umat bersepakat atas haramnya niyahah, dan berdo’a dengan seruan orang jahiliyah serta do’a dengan kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah”. 53
Imam al-‘Imraniy didalam al-Bayan mengatakan :
ويحرم النوح على الميت، وشق الجيوب، ونشر الشعور، وخمش الوجوه
“dan haram meratap atas orang mati, merobek-robek saku baju, menjambak-jambak rambut dan mencoreng-coreng wajah”. 54
al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz :
وكذا النياحة والجزع بضرب الخد وشق الثوب ونشر الشعر كل ذلك حرام
“demikian juga niyahah (meratap), mengeluh dengan memukul pipi, menyobek pakaian dan menjambak-jambak (mengacak-acak) rambut, semuaa itu haram”.
Adapun pengertian niyahah sendiri, sebagaimana yang Imam Nawawi sebutkan adalah :
واعلم أن النياحة : رفع الصوت بالندب، والندب : تعديد النادبة بصوتها محاسن الميت، وقيل : هو البكاء عليه مع تعديد محاسنه . قال
أصحابن ا : ويحرم رفع الصوت بإفراط في البكاء . وأما البكاء على الميت من غير ندب ولا نياحة فليس بحرام
“Ketahuilah, sesungguhnya niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, adapun an-Nadb sendiri adalah mengulang-ngulang meratapi dengan suara (atau menyebut berulang ulang) tentang kebaikan mayyit. qiil (ulama juga ada yang mengatakan) bahwa niyahah adalah menangisi mayyit disertai menyebut-menyebut kebaikan mayyit”. Ashhab kami (ulama syafi’iyah kami) mengatakan : “haram menyaringkan suara dengan berlebih-lebihan dalam menangis”.
Adapun menangisi mayyit tanpa menyebut-menyebut dan tanpa meratapinya maka itu tidak haram”.55
والنياحة رفع الصوت بالندب قال الشافعي والأصحاب البكاء على الميت جائز قبل الموت وبعده ولكن قبله أولى
“Niyahah adalah menyaringkan suara dengan an-nadb, al-Imam Asy-Syafi’i dan Ashhabusy Syafi’i (ulama syafi’iyah) mengatakan, menangisi orang mati boleh baik sebelum mati atau setelah mati, akan tetapi menangisi sebelum mati itu lebih utama”. 56
53 Lihat : al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [146].
54 Lihat : al-Bayaan fiy Madzhab al-Imam asy-Syafi’i lil-Imam al-‘Imraniy []
55 Lihat ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi [147].
56 Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [5/307 ] lil-Imam an-Nawawi.
Oleh karena itu, penetapan hukum bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh) karena bisa menjadi sebab adanya niyahah atau bisa membawa pada niyahah. Jika mengikuti kaidah ushul, inilah yang menjadi illat dihukuminya makruh (bid’ah makruhah). Namun, jika illatnya tidak ada maka hukumnya juga berubah.
Apakah tahlilan (kenduri arwah) bersifat seperti itu ?
Maka pertanyaannya sekarang adalah : apakah tahlilan (kenduri arwah) yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan digagas oleh ulama besar seperti para wali Allah (wali songo) bersifat seperti itu ? Apakah tahlilan (kenduri arwah) mengarah pada niyahah atau menjadi sebab terjadinya niyahah ?! Tentu saja tidak akan terjadi pada kegiatan tahlil yang benar.
Lebih jauh, juga perlu di ingat bahwa dalam menghukumi sesuatu haruslah menyeluruh dan harus mempertimbangkan hadits-hadits lain yang saling terkait.
Dalam hal ini, ada sebuah hadits lain yang shahih diriwayatkan oleh
Abu Daud, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari sahabat Anshar, yang redaksinya sebagai berikut :
أَوْسِعْ » : قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ
فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَه دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاء وَجِيء بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ، ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ، فَأَكَلُوا، فَنَظَرَ ، « مِنْ قِبَلِ رِجْ لَيْهِ، أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ
فَأَرْسَلَتِ الْمَرْأَةُ، قَالَتْ : يَا ، « أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا » : آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلُوكُ لُقْمَة ف ي فَمِهِ، ثُمَّ قَالَ
رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً، فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدِ اشْتَرَى شَاة ، أَ ن أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا، فَلَمْ يُوجَدْ،
» أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى » : فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada sebuah jenazah, maka aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berada diatas kubur berpesan kepada penggali kubur :
“perluaskanlah olehmu dari bagian kakinya, dan juga luaskanlah pada
bagian kepalanya”,
Maka tatkala telah kembali dari kubur, seorang wanita (istri mayyit, red)
mengundang (mengajak) Rasulullah, maka Rasulullah datang seraya didatangkan (disuguhkan) makanan yang diletakkan dihadapan Rasulullah, kemudian diletakkan juga pada sebuah perkumpulan (qaum/sahabat), kemudian dimakanlah oleh mereka.
Maka ayah-ayah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan dengan suapan, dan bersabda:
“aku mendapati daging kambing yang diambil tanpa izin pemiliknya”.
Kemudian wanita itu berkata :
“wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah mengutus ke Baqi’ untuk membeli kambing untukku, namun tidak menemukannya, maka aku mengutus kepada tetanggaku untuk membeli kambingnya kemudian agar di kirim kepadaku, namun ia tidak ada, maka aku mengutus kepada istinya (untuk membelinya) dan ia kirim kambing itu kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
“berikanlah makanan ini untuk tawanan”.57
57 Sunan Abi Daud no. 3332 ; As-Sunanul Kubrra lil-Baihaqi no. 10825 ; hadits ini shahih ; Misykaatul Mafatih [5942] At-Tabrizi dan Mirqatul Mafatih syarh Misykah al-Mashabih [5942] karangan al-Mulla ‘Alial-Qari, hadits tersebut dikomentari shahih.
Lebih jauh lagi, didalam kitab tersebut disebutkan dengan lafadz
berikut :
(استقبله داعي امرأته) ، أي: زوجة المتوفى
“Rasulullah menerima ajakan wanitanya, yakni istri dari yang wafat”.
Dikatakan pula bahwa hadits ini memang bertentangan dengan yang ditetapkan sebelumnya :
(ثم وضع القوم) ، أي أيديھم (فأكلوا) ، ھذا الحديث بظاھره يرد على ما قرره أصحاب مذھبنا من أنه يكره اتخاذ الطعام في اليوم
الأول أو الثالث، أو بعد الأسبوع كما في البزازية
“(Kemudian sebuah kelompok meletakkan) yakni tangan mereka (kemudian mereka makan), hadits ini (‘Ashim bin Kulaib) berdasarkan dhahirnya bertentangan atas apa yang telah di tetapkan oleh Ashhab madzhab kami yaitu ulama yang memakruhkan menghidangkan makanan pada hari pertama atau ke tiga atau setelah sepekan sebagaimana didalam al-Bazaziyyah”.
Juga terkait hadits ‘Ashim bin Kulaib, dinaqal didalam ‘Aunul Ma’bud [3332] :
وفي المشكاة داعي امرأته بالإضافة إلى الضمير قال القارىء أي زوجة المتوفى
“dan didalam al-Misykah “ajakan perempuannya” dengan lafadz idlafah kepada dlamir, Mulla ‘Ali al-Qarii berkata : yakni istri dari yang wafat”.
Bariqatul Mahmudiyyah li-Abi Sa’id al-Khadami al-Hanafi [3/205] :
إنه - صلى لله تعالى عليه وسلم - حين رجع من دفن أنصاري استقبله داعي امرأته فجاء » قال في شرحه عن كبير الحلبي
فھذا يدل « وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول لله - صلى لله تعالى عليه وسلم - يلوك أي يمضغ لقمة في فيه
على إباحة وضع أھل الميت الطعام والدعوة إليه انتھى
“Mushannif berkata didalam syarahnya dari pembesar al-Halabi
“sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam ketika kembali dari pemakaman orang Anshar, Rasulullah menerima ajakan wanitanya, maka datang dan dihidangkanlah makanan, kemudian Rasulullah menelatakkan tangannya dan di ikutilah orang rombongan (sahabat),
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam makan sesuapan yaitu secabik daging ke mulutnya”.
Maka ini menunjukkan atas kebolehan bagi ahl mayyit menyajikan makanan dan mengundang orang lain kepadanya. Selesai”.
Kemudian juga dijelaskan didalam Hasyiyah ath-Thahthawi ‘alaa Muraqi al-Falaah Syarh Nuur al-Iydlaah [1/617]
Ahmad bin Muhammad bin Isma’il ath-Thahthawi al-Hanafi :
عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول لله صلى لله عليه وسلم في جنازة فلما رجع استقبله
داعي امرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول لله صلى لله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه الحديث فھذا
Hadits ini tentang Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam sendiri dan para sahabat beliau yang berkumpul dan makan di kediaman keluarga almarhum, yang berarti bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan keluarga almarhum membuatkan makanan (jamuan) dan mengajak manusia memakannya.
Secara dhahir hadits Jarir telah berlawanan dengan hadits dari ‘Ashim bin Kulaib ini, sedangkan dalam kaidah ushul fiqh mengatakan jika dua dalil bertentangan maka harus dikumpulkan jika dimungkinkan untuk dikumpulkan. 58
Maka, kedua hadits diatas dapat dipadukan yakni hadits Jarir bin Abdullah dibawa atas pengertian jamuan karena menjalankan adat, bukan dengan niat “ith’am ‘anil mayyit (memberikan makan atas nama mayyit/shadaqah untuk mayyit) “ atau hal itu bisa membawa kepada niyahah yang diharamkan, kesedihan yang berlarut-larut dan lain sebagainya. Sedangkan hadits ‘Ashim bin Kulaib dibawa atas pengertian jamuan makan bukan karena menjalankan adat
(kebiasaan), melainkan jamuan makan dan berkumpul dengan niat “ith’am ‘anil mayyit” atau pun ikramudl dlayf (memulyakan tamu). Oleh karena itu larangan tersebut tidaklah mutlak, tetapi memiliki qayyid yang menjadi ‘illat hukum tersebut.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس عليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك لما صح عن جرير كنا نعد الاجتماع إلى
أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن
“dan apa yang diadatkan (dibiasakan) daripada keluarga almarhum membuat makanan demi mengajak manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh), sebagaimana menerima mereka untuk hal yang demikian berdasarkan hadits shahih dari Jarir
“Kami (sahabat) menganggap berkumpul ke (kediaman) keluarga almarhum serta (keluarga almarhum) menghidangkan makanan setelah pemakaman bagian dari niyahah”, dan sisi dianggapnya bagian dari niyahah yakni apa yang terdapat didalamnya daripada berlebihan lebihan dengan perkara kesedihan”. 59
Diposkan oleh Edwin Mclean di 23.30
Label: Nihayah
No comments:
Post a Comment