Mereka sekedar mengaku aku Salafi
Mereka sekedar mengaku-aku Salafi namun mereka sebenarnya adalah pengikut pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab atau pengikut sekte Wahabi
Mereka menjadi pengikut sekte Wahabi karena mereka belajar agama dengan guru atau ulama yang dipaksakan oleh penguasa kerajaan dinasti Saudi untuk mengikuti pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui tidak mau mempelajari kitab fiqih yang ditulis oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana informasi yang disampaikan oleh ulama madzhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ سُلَيْمَانَ التَّمِيْمِيُّ النَّجْدِيُّ وَهُوَ وَالِدُ صَاحِبِ الدَّعْوَةِ الَّتِيْ انْتَشَرَشَرَرُهَا فِي اْلأَفَاقِ لَكِنْ بَيْنَهُمَا تَبَايُنٌ مَعَ أَنَّ مُحَمَّدًا لَمْ يَتَظَاهَرْ بِالدَّعْوَةِ إِلاَّ بَعْدَمَوْتِ وَالِدِهِ وَأَخْبَرَنِيْ بَعْضُ مَنْ لَقِيْتُهُ عَنْ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ عَمَّنْ عَاصَرَ الشَّيْخَ عَبْدَالْوَهَّابِ هَذَا أَنَّهُ كَانَ غَاضِبًا عَلىَ وَلَدِهِ مُحَمَّدٍ لِكَوْنِهِ لَمْ يَرْضَ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالْفِقْهِكَأَسْلاَفِهِ وَأَهْلِ جِهَتِهِ وَيَتَفَرَّسُ فِيْه أَنَّهُ يَحْدُثُ مِنْهُ أَمْرٌ .فَكَانَ يَقُوْلُ لِلنَّاسِ: يَا مَا تَرَوْنَ مِنْ مُحَمَّدٍ مِنَ الشَّرِّ فَقَدَّرَ اللهُ أَنْ صَارَ مَاصَارَ
(ابن حميد النجدي، السحب الوابلة على ضرائح الحنابلة، ٢٧٥).
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.” (Ibn Humaid al-Najdi, al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah, hal. 275).
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah namun tentu beliau tidak bertemu muka atau bertalaqqi (mengaji) dengan ulama Ibnu Taimiyyah karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih. Sehingga pada hakikatnya beliau mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan dengan muthola’ah, menelaah kitab Ibnu Taimiyyah dengan akal pikirannya sendiri. Jikalau ulama Muhammad bin Abdul Wahhab salah dalam memahami kitab ulama Ibnu Taimiyyah tentu ulama Ibnu Taimiyyah tidak dapat menegurnya.
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal pikirannya sendiri), maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Tidak ada yang dapat menjamin upaya pemahaman yang telah dilakukan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pasti benar atau tidak akan keliru.
Kesalahpahaman atau kekeliruan lebih besar kemungkinan terjadi karena ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan tidak pula dikenal sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Dalam perkara agama tidak ada hal yang baru. Justru kita harus berlaku jumud atau istiqomah sebagaimana apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits. Karena tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling kentara adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, semula bermazhab atau berguru dengan para ulama bermazhab Hambali namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah lebih bersandar kepada upaya pemahamannya sendiri melalui muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri sehingga pemahamannya bertentangan dengan pemahaman Imam Mazhab yang empat.
Bantahan terhadap terhadap pemahaman Ibnu Taimiyyah dari para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang terurai dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al Haitami pernah ditanya tentang akidah mereka yang semula para pengikut Mazhab Hambali, apakah akidah Imam Ahmad bin Hambal seperti akidah mereka?
Beliau menjawab: “Akidah imam ahli sunnah, Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah meridhoinya dan menjadikannya meridhoi-Nya serta menjadikan taman surga sebagai tempat tinggalnya, adalah sesuai dengan akidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam hal menyucikan Allah dari segala macam ucapan yang diucapkan oleh orang-orang zhalim dan menentang itu, baik itu berupa penetapan tempat (bagi Allah), mengatakan bahwa Allah itu jism (materi) dan sifat-sifat buruk lainnya, bahkan dari segala macam sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan Allah.
Adapun ungkapan-ungkapan yang terdengar dari orang-orang jahil yang mengaku-ngaku sebagai pengikut imam mujtahid agung ini, yaitu bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah itu bertempat dan semisalnya, maka perkataan itu adalah kedustaan yang nyata dan tuduhan keji terhadap beliau. Semoga Allah melaknat orang yang melekatkan perkataan itu kepada beliau atau yang menuduh beliau dengan tuduhan yang Allah telah membersihkan beliau darinya itu.
Al Hafizh Al Hujjah Al Imam, sang panutan, Abul Faraj Ibnul Jauzi, salah seorang pembesar imam mazhab Hambali yang membersihkan segala macam tuduhan buruk ini, telah menjelaskan tentang masalah ini bahwa segala tuduhan yang dilemparkan kepada sang imam adalah kedustaan dan tuduhan yang keji terhadap sang imam. Bahkan teks-teks perkataan sang imam telah menunjukkan kebatilan tuduhan itu, dan menjelaskan tentang sucinya Allah dari semua itu. Maka pahamilah masalah ini, karena sangat penting.
Janganlah sekali-kali kamu dekati buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dan orang seperti mereka berdua. Siapa yang bisa memberikan petunjuk orang seperti itu selain Allah?
Bagaimana orang-orang atheis itu melampaui batas-batas, menabrak aturan-aturan dan merusak tatanan syariat dan hakikat, lalu mereka menyangka bahwa mereka berada di atas petunjuk dari tuhan mereka, padahal tidaklah demikian. Bahkan mereka berada pada kesesatan paling buruk, kemurkaan paling tinggi, kerugian paling dalam dan kedustaan paling besar. Semoga Allah menghinakan orang yang mengikutinya dan membersihkan bumi ini dari orang-orang semisal mereka. (Sumber: Al Fatawa Al Haditsiyah 1/480 karya Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami)
ال الشيخ ابن حجر الهيتمي ناقلا المسائل التي خالف فيها ابن تيميه اجماع المسلمين ما نصه : وان العالم قديم بالنوع ولم يزل مع الله مخلوقا دائما فجعله موجبا بالذات لا فاعلا بالاختيارتعالى الله عن ذالك, وقوله بالجسمبة والجهة والانتقال و انه بقدر العرش لااصغر ولا اكبر , تعالى الله عن هذا الافتراء الشنيع القبيخ والكفر البراح الصريح. (الفتاوى الحديثية ص: ١١٦
Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitamy berkata dengan menukil permasalahan-permasalahan Ibnu Taimiyyah yang menyalahi kesepakatan umat Islam, yaitu : (Ibnu Taimiyyah telah berpendapat) bahwa alam itu bersifat dahulu dengan satu macam, dan selalu makhluk bersama Allah. Ia telah menyandarkan alam dengan Dzat Allah Swt bukan dengan perbuatan Allah secara ikhtiar, sungguh Maha Luhur Allah dari penyifatan yang demikian itu. Ibnu Taimiyyah juga berkeyakinan adanya jisim pada Allah Swt, arah dan perpindahan. Ia juga berkeyakinan bahwa Allah tidak lebih kecil dan tidak lebih besar dari Arsy. Sungguh Allah maha Suci atas kedustaan keji dan buruk ini serta kekufuran yang nyata “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 116)
وقال ايضا ما نصه : واياك ان تصغي الى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن القيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ الهه هواه واضله الله على علم و ختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعدالله. و كيف تجاوز هؤلاء الملحدون الحدود و تعدواالرسوم وخرقوا سياج الشربعة والحقيقة فظنوا بذالك انهم على هدى من ربهم وليسوا كذالك. (الفتاوى الحديثية ص:۲۰۳
Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata “ Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan ?. Bagaimana orang-orang sesat itu telah melampai batasan-batasan syare’at dan aturan, dan mereka pun juga telah merobek pakaian syare’at dan hakikat, mereka masih menyangka bahwa mereka di atas petunjuk dari Tuhan mereka, padahal sungguh tidaklah demikian “. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Begitupula Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” telah membantah apa yang dipahamai oleh Ibnu Taimiyyah maupun apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kutipannya dapat di baca padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
Ciri seorang ulama masih tersambung sanad ilmunya adalah pendapatnya tidak bertentangan dengan gurunya atau ulama-ulama yang sholeh sebelumnya dan tidak pula bertentangan dengan pendapat Imam Mazhab yang empat.
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“
Jadi sanad ilmu ulama Ibnu Taimiyyah terputus hanya sampai pada akal pikirannya sendiri.
Bahkan karena kesalahpahamannya dalam i’tiqod mengakibatkan ulama Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan padahttp://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Jadi mereka sekedar mengaku-aku Salafi, sedangkan Salafi sebenarnya adalah kaum muslim yang mengikuti para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh.
Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab yang empat karena Imam Mazhab yang empat bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya langsung dan Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Jadi cara kaum muslim mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat atau memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Bahkan kalau melalui para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada umumnya memiliki ketersambungan dengan lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui dua jalur yakni
1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua-orang tua mereka terdahulu tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2. Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Wassalam
No comments:
Post a Comment