Silang Pendapat Teori Masuknya Islam ke Nusantara: Buya Hamka versus Orientalis Barat
Oleh:
Teguh Raka Wibawa, S.Pd
(Guru Sejarah Indonesia SMAN 1 Parungkuda Kabupaten Sukabumi)
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Demikian disampaikan Prabowo saat debat keempat pilpres 2019 yang digelar KPU di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019). Namun berdasarkan catatan sejarah ternyata Islam bukanlah agama asli yang dianut oleh rakyat Nusantara (sebutan untuk wilayah Indonesia) kala itu. Agama asli yang berasal dari Nusantara disebut animisme yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang, dinamisme yaitu penyembahan terhadap benda mati yang dianggap sakral. Terakhir adalah totemisme yaitu penyembahan terhadap hewan (yang dianggap lebih kuat dari manusia).
Jadi pada intinya Islam adalah agama yang berasal dari luar Nusantara yang secara perlahan menjadi agama dominan yang dianut masyarakat Nusantara.
Kemunculan Islam sendiri ditandai dengan kelahiran Muhammad pada tanggal 12 Robbiul Awal tahun gajah bertepatan dengan 20 atau 22 April tahun 571 M di Mekkah. (Tribun Jabar, Maulid Nabi, Kapan Tepatnya Nabi Muhammad SAW Lahir? 12 Rabiul Awal atau 9 Rabiul Awal, 2018). Disebut tahun gajah karena kelahiran Muhammad bertepatan dengan diserangnya kota Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin raja Abrahah. Setelah menerima wahyu pertama (QS Al – Alaq 1-5).
Nabi Muhammad mulai menyampaikan dakwah kepada keluarganya, lambat laun dakwah nabi Muhammad mulai mendapat pengikut yang awalnya berasal dari kalangan budak, dan keluarga yang tidak terpandang. Perangai buruk petinggi suku Quraisy mengharuskannya pada tahun 622 M atau pada abad ke 7 M untuk hijrah dari Mekkah ke Yastrib atau sekarang dikenal dengan nama Madinah yang menandai dimulainya era muslim. (Baca: Affandie Etwina. Kemunculan Islam dan Perkembangannya. Kompasiana, 2014).
Menurut H. Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka yang merupakan seorang cendekiawan muslim dari Sumatra Barat. Hamka menyatakan bahwa Islam telah memasuki Nusantara sejak abad ke 7 M, dibawa oleh bangsa Arab dengan motif utamanya adalah syiar Islam. Pendapatnya didasarkan pada naskah kuno Cina, dalam rentang masa yang tidak terlalu lama dari lahirnya Islam ditanah Arab pada abad ke 6 atau 7 M ternyata Islam dinyatakan telah memasuki kawasan Nusantara. Dalam naskah tersebut dinyatakan bahwa terdapat permukiman penduduk Muslim di Barus, kota tua yang terletak di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada tahun 625 M. Bukti lainnya adalah keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, pada abad ke 7 M. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 M yang menguatkan adanya komunitas muslim pada saat itu. (Baca: Sindonews, Barus, Kota Islam Pertama di Indonesia, 2017).
Pendapat Buya Hamka menjadi antitesis dari pendapat para Orientalis Barat seperti halnya Snouck Hurgronye dari Belanda yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M seiring dengan berakhirnya era kerajaan Hindu-Budha di Nusantara. Menurut Snouck, motif utama Islam dibawa ke Nusantara bukanlah motif syiar Islam melainkan motif ekonomi yaitu untuk berdagang. Selain itu Snouck pun beranggapan bahwa Islam yang ada di Nusantara bukan dibawa oleh orang Arab secara langsung melainkan oleh para pedagang yang berasal dari Gujarat, sebuah wilayah di India Barat. Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada 1297 M di Pasai, Aceh. Batu nisan tersebut memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat.
Hamka menolak anggapan bahwa Islam dibawa oleh pedagang dari Gujarat (India) sejak abad ke-13 M. Sanggahan ini dikemukakan dalam “Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia” di Medan pada 1963. Hamka menyebut bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah bagi para pedagang Arab sebelum menuju ke Nusantara. Pendapat Buya Hamka menjadi angin segar bagi penulisan sejarah Indonesia yang didasarkan pada perspektif asli (orang Indonesia) ditengah masih masifnya penulisan sejarah Indonesia yang ditulis berdasarkan perspektif Barat.
Muhammad Qutb (1995) bahkan dalam bukunya yang berjudul Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam? menyatakan bahwa penulisan sejarah versi orientalis barat penuh dengan tujuan tertentu yang tersembunyi didalam dada orang-orang yang tidak menginginkan Islam berkembang dengan baik.
No comments:
Post a Comment