Makna Shalat adalah Mi’raj Orang Beriman
BincangSyariah.Com – pada tanggal 27 Rajab, atau tepatnya pada hari ini bertepatan dengan terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Peristiwa diperjalankannya Nabi Muhammad Saw. – menurut pendapat banyak ulama – dari Masjidil Haram lalu Masjidi Aqsha, kemudian naik ke langit untuk mendapatkan perintah shalat secara langsung dari Allah Swt. Riwayat dari Nabi Saw. tentang detail “pertemuan” Nabi Muhammad Saw. umumnya tidak detail, sehingga para ulama menegaskan bahwa itu masuk ke dalam ranah keimanan.
Terkait dengan hubungan shalat dengan mi’raj-nya Nabi Muhammad Saw., kita tentu pernah mendengar bahwa ada ungkapan
الصلاة معراج المؤمن
Shalat adalah mi’raj-nya orang beriman.
Dari ungkapan tersebut tergambar bahwa jika dikiaskan dengan proses mi’raj yaitu naiknya Nabi Muhammad hingga ke sidratu al-muntaha, maka shalat disebut-sebut sebagai sarana naiknya orang beriman bertemu Allah. Tapi benarkah demikian? Dan, benarkah kalau ada yang mengatakan kalau itu adalah hadis ?
Saya akan menjawab pertanyaan kedua dahulu. Para ulama – sependek temuan penulis – sepakat bahwa itu hanyalah kalam hikmah, petuah yang baik, dan bukan hadis. Dalam kitab Mirqatu al-Mafatih beberapa kali disebut bahwa redaksi terdebut dengan kata qiila (dikatakan); warada (tersebut), dan sebagainya. Ini menjadi isyarat tegas bahwa kalimat tersebut bukan hadis Nabi Saw.
Namun, apakah pernyataan tersebut tidak ada nilai kebenarnya? Ternyata, ada banyak hadis yang sahih, yang menunjukkan keabsahan pernyataan tersebut. Misalnya, sabda Nabi Saw. yang disebutkan diantaranya dalam Shahih al-Bukhari, dari Anas bin Malik Ra.,
إن أحدكم إذا قام في الصلاة، فإنه يناجي ربه، وإن ربه بينه وبين القبلة
salah seorang kalian, sesungguhnya saat melaksanakan shalat, maka ia sedang bermunajat kepada Tuhannya. Dan sesungguhnya Tuhannya ada diantara ia dengan kiblat.
Menurut Syaikh Mulla al-Qari, dalam kitab Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, ungkapan yunaaji rabbahu menunjukkan bahwa shalat adalah sarana terhubungnya hamba dengan Tuhannya. Shalat yang di dalamnya terdapat zikir, bacaan Alquran, dan gerakan, segenap itu semua menjadi paket berkomunikasinya seorang hamba dengan Allah.
Disinilah yang dimaksud perintah shalat untuk khusyu’. Karena jika shalat tidak khusyu’, maka seolah-olah ia sedang berkomunikasi dengan Allah, padahal ia tidak memahami siapa yang diajak bicara. Demikian penggambaran Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin.
Dalam hadis lain, disebutkan dalam Sunan An-Nasa’I dan ad-Darimi, dari Abdullah bin Abi Awfa’ Ra.,
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يكثر الذكر ويقل اللغو ويطيل الصلاة ويقصر الخطبة … الخ
Rasulullah Saw. itu memperbanyak zikir, menyedikitkan senda gurau (yang tidak bermanfaat). Memperbanyak shalat, dan meringkaskan bertausiah.
Masih menurut Mulla al-Qari, penggambaran “memperbanyak shalat, meringkaskan khutbah” ini sejalan dengan ungkapan “shalat adalah mi’raj orang beriman”. Karena, Nabi Saw. lebih mengutamakan berkomunikasi kepada Allah Swt. untuk menyampaikan ajaran kepada manusia. Dalam sabda Nabi yang lain, Nabi bahkan menyebut shalat sebagai sarana qurrata a’yunin (yang membahagiakan pandangannya).
Akhir kata, kita dapat menyimpulkan bahwa shalat memang mi’raj orang beriman. Meskipun ungkapan tersebut bukan hadis, namun makna terkandung di dalamnya sangat bersesuaian dengan perintah-perintah dan tauladan dari Nabi tentang shalat.
Maka, dengan momentum isra’ mi’raj ini, mari kita semua memperbaiki kualitas shalat kita agar benar-benar menjadi sarana mi’raj manusia kepada Allah ta’ala. Amiin.
No comments:
Post a Comment