Friday, 3 July 2015

Ayat Mutashabihat

ARTIKEL KEISLAMAN

Ayat Mutashabihat dan Kritik Terhadap Peringkatnya

Pendahuluan
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai sumber ajaran agama Islam yang utama.1 Semua isi kandungannya merupakan pedoman kuat serta hujjah yang ampuh. Kitab suci yang menakjubkan ini merupakan pegangan umat manusia, sekaligus pelita dalam hidup dan kehidupan agar dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.2 Di dalamnya terkandung ayat atau makna yang antar satu dengan lainnya saling menyempurnakan dan membenarkan, tidak ada pertentangan. Seluruh ayatnya bersifat Qot'i al-Wurud, yang jelas diyakini eksistensinya sebagai wahyu Allah.3

Diperlukan persyaratan yang sangat berat dan penguasaan beberapa disiplin keilmuan agar seseorang dapat dan mampu menterjemahkan serta menafsirkan al-Qur'an dengan baik dan benar. Ia setelah benar-benar mahir dalam ilmu bahasa arab, ilmu kalam dan ilmu usul juga dituntut harus menguasai pula ilmu-ilmu pokok al-Qur'an yang meliputi ilmu tentang:

•Mawatin al-Nuzul (tempat-tempat turunnya ayat),
•Tawarikh al-Nuzul (masa turunnya ayat),
•Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat),
•Qira'at (bacaan-bacaan al-Qur'an),
•Tajwid (cara membaca al-Qur'an dengan baik dan benar),
•Gharib al-Qur'an (kata-kata yang ganjil dalam al-Qur'an),
•I'rab al-Qur'an (struktur kalimat),
•al-Wujuh wa al-Naza'ir (kata-kata al-Qur'an yang multi makna),
•al-Muhkam wa al-Mutashabihat,
•al-Nasikh wa al-Mansukh (ayat yang menghapuskan atau dihapuskan ayat lain),
•Bada'i al-Qur'an (keindahan nilai sastra al-Qur'an),
•I'jaz al-Qur'an (kemukjizatan al-Qur'an),
•Tanasub al-Qur'an (keserasian antara ayat-ayat al-Qur'an),
•Aqsam al-Qur'an (sumpah-sumpah al-Qur'an),
•Amthal al-Qur'an (perumpaan-perumpaan dalam al-Qur'an),
•Jidal al-Qur'an (bentuk dan cara argumantasi dalam al-Qur'an), dan
•Adab Tilawah al-Qur'an (adab dalam membaca al-Qur'an).4
•Ilmu al-Muhkam wa al-Mutashabihat termasuk didalam ilmu-ilmu pokok al-Qur'an karena di dalam al-Qur'an memuat ayat-ayat mutashabihat (yang mengandung ambiguitas) di samping ayat-ayat yang tergolong muhkamat (yang pengertiannya telah tegas dan jelas).5 Ambiguitas ini disebabkan banyak terjadinya kemiripan dalam segi balaghah-nya, i'jaz-nya atau sulitnya memilah bagian-bagian manakah yang lebih utama.6 Sehingga menimbulkan pengertian yang tidak tegas atau samar-samar (timbul beberapa pengertian) dikarenakan ketidakjelasan dalam segi lafadnya, rancu maknanya atau rancu dalam hal kedua-duanya (lafad dan maknanya).

Ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat ini terutama dapat kita temukan dalam pembahasan yang tergolong furu' (cabang) agama yang bukan termasuk dalam masalah pokok agama. Sehingga memungkinkan bagi seorang mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada maksud dan arti yang bersifat jelas (muhkam) dengan cara mengembalikannya (masalah furu') kepada masalah pokok.7

Pengertian Ayat Mutashabihat dan Pandangan Ulama
Secara bahasa (etimologi), kata mutashabihat berasal dari kata tashabuh yang berarti "keserupaan" dan "kemiripan". Tashabaha dan ishtabaha berarti saling menyerupai satu dengan lainnya hingga tampak mirip sehingga perbedaan yang ada diantara keduanya menjadi samar. Sehingga ungkapan orang-orang bani Israil kepada nabi Musa yang berbunyi "inna al-baqara tashabaha 'alayna"8 berarti "sesungguhnya sapi itu sangat mirip di mata kami".9 Jadi makna mutashabih adalah ungkapan yang memperlihatkan bahwa sesuatu itu sama dengan sesuatu yang lain dalam satu atau beberapa sisi atau sifat, atau yang membuat sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal, dengan mudah dapat dipahami.10

Tim penerjemah/penafsir al-Qur'an Departemen Agama memberikan catatan terhadap ayat mutasyabihat sebagai ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang di maksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal yang ghaib seperti ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.11

Terdapat tiga ayat yang sering muncul dipermukaan dan menjadi perdebatan apabila kita membicarakan ayat-ayat muhkam dan mutashabihat al-Qur'an. Pertama, bahwa semua ayat al-Qur'an adalah bersifat muhkam, berdasarkan Q.S Hud:1

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءَايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِير
"Alif Lam Ra, (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan sempurna dan dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui".12
Kedua, bahwa semua ayat al-Qur'an adalah mutashabihat, berdasarkan Q.S al-Zumar: 23,

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, (yaitu) al-Qur'an yang (kualitas ayat-ayatnya) serupa dan berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu . Dia menunjukkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun."13

Ketiga, bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur'an terdiri dari ayat yang tergolong muhkamat dan sebagian lainnya tergolong mutashabihat. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Imron:7,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
"Dialah (Allah) yang menurunkan al-Kitab kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamat yaitu pokok-pokok al-Kitab (Umm al-Kitab), dan yang lain ayat-ayat) mutashabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutashabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutashabihat Semuanyaitu berasal dari sisi Tuhan kami". Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal".14

Sebenarnya ketiga pendapat diatas tidak ada yang kontroversi. Yang dimaksudkan dalam ayat pertama adalah seluruh ayat-ayat al-Qur'an mengandung kesempurnaan susunan dan tidak ada pertentangan diantara ayat-ayatnya. Ia laksana bangunan besar yang sangat kokoh sepanjang jaman. Pengertian ayat kedua adalah seluruh ayat al-Qur'an mengandung segi kesamaan dalam hal kesempurnaan kebenarannya, kebaikan dan kemukjizatannya, baik aspek lafad atau isinya. Sehingga tidak ada kemungkinan sebagian ayat al-Qur'an melebih-lebihkan atas ayat lainnya. Ayat ketiga mempunyai pengertian bahwa didalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang makna (dalalah)-nya disebutkan secara jelas/eksplisit (muhkam) dan ada yang makna (dalalah)-nya disebutkan secara samar/ implisit (mutashabihat).15

Al-Zarqani dalam mengartikan ayat-ayat mutashabihat mengatakan bahwa ia merupakan perbandingan dari ayat-ayat muhkamat. Selanjutnya beliau menjelaskan keduanya, bahwa:

Menurut ulama Hanafiah
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang dalalahnya jelas, terang dan tidak mengandung adanya naskh. Sedangkan ayat-ayat mutashabihat adalah ayat-ayat yang samar dan tidak dapat diketahui pengertiannya baik secara naqli maupun aqli, sesuatu yang ketentuannya dirahasiakan oleh Allah, seperti terjadinya kiamat, makna al-ahruf al-muqatta'ah (huruf-huruf hijaiyyah yang terputus-putus) pada beberapa permulaan surat.

Menurut ulama Ahl al-Sunnah
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang pengertiaanya dapat diketahui baik secara lahiriah ataupun dengan takwil. Sedang ayat mutashabihat adalah ayat yang ketentuannya hanya diketahui Allah.
Menurut Ibn 'Abbas dan ulama Ushul
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang hanya mengandung satu pengertian. Sedang ayat-ayat mutashabihat mengandung beberapa pengertian.

Menurut Imam Ahmad
Ayat muhkamat adalah ayat yang bisa berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan. Sedang mutashabihat tidak dapat berdiri sendiri dan masih butuh penjelasan. Karena adanya perbedaan dalam pengertiannya.

Menurut ulama muta'akhirin
Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas dan tidak rancu. Sedang ayat mutashabihat adalah kebalikannya.16
Ulama-ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ayat-ayat mutashabihat sebagaimana di atas dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami kedudukan dan status lafad والراسخون في العلم pada surah al-Imran:7. Mereka memperdebatkan apakah lafad tersebut merupakan kalimat lanjutan dari kalimat sebelumnya, yaitu dengan menganggap huruf و (wa/dan) sebagai harf 'atfi (kata penghubung) sehingga pengertiannya:

"Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya...",
ataukah sebagai kalimat baru, yaitu dengan menganggap huruf و (wa) tersebut sebagai huruf ibtida' (berfungsi sebagai permulaan pokok kalimat) sehingga pengertiannya menjadi,

"Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya..."
Bagi kelompok pertama, ayat-ayat mutashabihat itu dapat dipahami karena menurut mereka, al-Qur'an justru diturunkan pada umat manusia untuk dipahami, termasuk di dalamnya ayat-ayat mutashabihat. Akan tetapi bagi kelompok kedua, ayat-ayat mutashabihat tidak dapat dipahami oleh manusia, karena menurut mereka, ayat-ayat tersebut diturunkan untuk menguji iman manusia.

Klasifikasi Ayat Mutashabihat dan Kontroversinya
Secara garis besar para ulama mengklasifikasikan ayat-ayat mutashabihat ke dalam dua kategori:

Berdasarkan aspek lafad, makna dan kedua-duanya (lafad dan maknanya)

Secara lafad
Ayat-ayat mutashabihat yang ambiguitasnya berawal dari ketidakjelasan bentuk lafad ayat, seperti pada kata "al-yad" (tangan) dan kata "al-ain" (mata) yang mempunyai banyak pengertian. Sebagaimana tercantum dalam surat al-Shaad:75,
termasuk didalamnya karena lafad yang terkandung tidak dapat diketahui secara pasti.17

Secara makna

Ayat yang mengandung ambiguitas karena rancu dalam kandungan maknanya. Hal ini ditunjukkan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah (mutashabih al-sifat/antromorfisme), hari kiamat, nikmat surga dan siksa neraka. Seperti ayat 5, surat Taha:
-nya Allah di atas 'arsh.

Secara lafad dan makna
Ayat yang merngandung ambiguitas karena rancu dalam segi lafad dan sekaligus kandungan maknanya. Sebagaimana yang tercantum dalam Qur'an surat at-Taubah:5,

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kata dan makna al-musyrikin (jamak dari kata al-musyrik) dapat berarti seluruh kaum musyrikin, sebagian atau orang-orang tertentu saja.
Klasifikasi berdasarkan bisa tidaknya ayat mutashabihat diketahui manusia

Ayat yang sama sekali tidak bisa diketahui manusia hanya Allah saja yang mengetahuinya secara pasti. Sebagaimana ayat-ayat tentang hakikat sifat-sifat Allah, tentang kiamat, dan hal-hal yang ketentuannya di tangan Allah (seperti munculnya "dabbah", binatang yang keluar pada saat terjadi kiamat, munculnya "dajjal", dll.).

Ayat yang setiap orang bisa mengetahuinya dengan mencermati dan mempelajarinya secara mendalam. Sebagaimana ayat-ayat yang susunannya masih global, ringkas dan mengandung kata-kata "asing".
Ayat yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang tertentu (ulama khusus) dan mempunyai pengetahuan yang mendalam.18
Metode Penafsiran Ulama terhadap Ayat-Ayat Mutashabihat
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perbedaan pemahaman ulama atas ayat-ayat mutashabihat berpangkal pada perbedaan mereka dalam memahami surat Ali 'Imran ayat 7. Perbedaan inilah yang menyebabkan mereka berbeda pula dalam metode penafsiran ayat-ayat mutashabihat.

Al-Suyuti mengatakan bahwa hanya sedikit dari ulama yang meyakini bahwa lafad والراسخون في العلم adalah kelanjutan dari lafad sebelumnya و (berfungsi sebagai harf athf). Sedangkan kebanyakan para tokoh ahli tafsir di kalangan sahabat, tabi'in dan selanjutnya, terutama pengikut Ahl al-Sunnah meyakini bahwa lafad tersebut adalah berdiri sendiri و adalah harf ibtida' dan terpisah dari kalimat sebelumnya.

Berkaitan dengan ini, terdapat dua golongan yang berbeda didalam metode penafsiran ayat-ayat mutashabihat, mereka adalah golongan salaf dan golongan khalaf.19

Golongan salaf (ada yang menyebut sebagai madhhab al-mufawwidah, aliran yang menyerahkan permasalahan kepada Allah) berpendapat bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutashabihat yang hanya berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab hanyalah akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat zanni (tidak pasti). Padahal sebagian dari ayat-ayat mutashabihat termasuk persoalan akidah yang dasar pijakannya tidak cukup hanya dengan argumen yang bersifat zanni tetapi harus bersifat qat'i (pasti). Karena untuk mendapatkan dasar yang bersifat qat'i tidak ada jalannya, maka mereka bersikap tawaqquf (tidak mengambil keputusan dan menyerahkannya kepada Allah).20

Mereka berpegangan pada sebuah hadis yang berarti:

Al-Darimi meriwayatkan hadith dari Sulayman bin Yasar bahwa seorang laki-laki yang bernama Ibn Subaygh datang ke Madinah, kemudian bertanya tentang mutasyabih dalam al-Qur'an maka Umar datang seraya menyediakan sebatang pelepah kurma untuk (memukul) orang tersebut.

Umar bertanya:
"Siapakah anda?"
Ia menjawab:
"Saya adalah 'Abd Allah b. Subaygh".
Kemudian 'Umar mengambil pelepah kurma dan memukulkannya hingga kepalanya berdarah.
Dalam riwayat lain dikatakan:

Kemudian 'Umar memukulnya dengan pelepah kurma hingga mengakibatkan punggungnya terluka. Kemudian 'Umar meninggalkannya hingga sembuh. Kemudian 'Umar mendatanginya kembali dan meninggalkannya lagi hingga sembuh. Kemudian 'Umar memanggilnya supaya kembali. Maka orang itu berkata kalau anda hendak membunuhku, maka bunuhlah aku dengan cara yang baik". Maka 'Umar membolehkannya untuk pulang ke negerinya. Dan 'Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Ash'ari agar tidak seorangpun dari kalangan muslimin bergaul dengan orang itu".21

Golongan khalaf (biasa disebut juga dengan madhhab al-Mu'awwilah, golongan yang melakukan pentakwilan terhadap ayat-ayat mutashabihat) beranggapan bahwa sikap yang harus diambil dalam hal ini adalah menghilangkan dari keadaan "kegelapan" yang apabila dibiarkan ayat-ayat mutashabihat tidak bermakna, akan menimbulkan kebingungan manusia. Sehingga selama dimungkinkan untuk diadakannya penakwilan terhadapnya maka akalpun mengharuskan untuk melakukannya. Mereka menyandarkan pada hadis yang diriwayatkan Ibn 'Abbas.22

Golongan al-Mutawassitin kemudian muncul dan mengambil posisi ditengah dua golongan ini (salaf dan khalaf). Diantara yang termasuk didalamnya adalah Ibn al-Daqiq al-'Id. Ia berpendapat apabila penakwilan ayat-ayat mutashabihat itu berada "dekat" dengan wilayah ilmu bahasa Arab, maka penakwilan tersebut bisa diterima. Tetapi bila berada "jauh" darinya maka kita bersikap tawaqquf.23

Dengan melihat kondisi di atas maka dapat dipahami bahwa hanya sebagian kecil dari golongan ulama yang memandang bahwa ayat-ayat mutashabihat bisa diketahui maksudnya secara pasti.24 Sedang sebagian besar dari para ulama tetap meyakini bahwa yang mengetahui secara pasti tentang ayat-ayat mutashabihat adalah Allah sendiri, sementara orang-orang yang mendalam ilmunya dengan mantap mengimaninya.

Tinjauan Kritis Ayat-Ayat Mutashabihat
Membicarakan masalah pro dan kontra pendapat para ulama terhadap ayat-ayat mutashabihat adalah merupakan persoalan yang rumit. Diperlukan pendekatan takwil dan tafsir dan penguasaan semua ilmu pokok al-Qur'an untuk menilai pandangan dan pendapat para ulama berkaitan dengan ayat-ayat ini. Namun membiarkannya lewat begitu saja bukan merupakan solusi terbaik.

Penulis meyakini bahwa bentuk-bentuk tashbih memang sengaja digunakan Allah dalam sebagian kecil kalam-Nya. Dengan pola ini, Allah menjelaskan sesuatu yang konsepsional kepada kehidupan yang aktual. Bentuk semacam ini pula dipergunakan dalam al-Qur'an sebagai upaya mendekatkan penjelasan ajaran-ajarannya melalui ilustrasi yang mampu ditangkap akal dan indra manusia. Pola seperti ini sekaligus membuat susunan redaksi al-Qur'an jauh lebih indah, sehingga nikmat untuk dibaca, disimak dan dihayati sekaligus menjadi bukti bahwa al-Qur'an adalah bener-benar kalamullah. Sebagimana sikap yang telah ditunjukkan oleh golongan al-Mutawassitin terhadap ayat-ayat mutashabihat di atas.

Keyakinan bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah pastilah tidak mungkin tidak mengandung sebuah nilai dan hanya bersifat sia-sia. Ketersia-siaan ini justru akan menjadikan kita terjerumus dalam pandangan yang bersifat apatis dan acuh tak acuh. Dalam beberapa kesempatan, Allah malah "sengaja" memberikan ruang dan kesempatan pada manusia untuk berusaha sekuat mungkin menyingkap tabir-tabir rahasia yang memang sengaja ditutupi oleh-Nya. Terlebih-lebih dalam menyingkap dan mengungkap ayat-ayat yang tidak bersentuhan oleh akidah yang hanya didasarkan oleh adanya rasa ketakutan akan berbuat dosa karena menyalahi dari makna dan maksud sebenarnya.

Hanya saja penggunaan akal yang berlebih-lebihan dengan tanpa didasari oleh kemampuan yang mencukupi, tentu bukanlah perbuatan yang dianjurkan. Ijtihad tetap diperlukan dengan segala ilmu, syarat dan batasan-batasannya. Bukankah mengambil manfaat dan pelajaran dari segala yang masih bersifat "setengah terbuka", bukan dengan cara menduga-duganya? Keberagaman pendapat terhadap ayat-ayat mutashabihat justru malah memberikan khazanah dan peluang yang semakin lebar pada manusia untuk selalu berusaha dan memacu dalam membuka rahasia-rahasia ayat-ayat mutashabihat.

Hikmah Ayat-Ayat Mutashabihat
Perbedaan dan perdebatan dalam memahami ayat-ayat mutashabihat, tetaplah memberikan keyakinan bahwa ayat-ayat mutashabihat ini memberikan banyak manfaat kepada manusia. Diantaranya:

Ayat-ayat mutashabihat menjadi dalil betapa lemah dan terbatasnya kemampuan manusia. Betapa luas dan mahirnya manusia tetaplah Tuhan sendirilah yang mengetahui hakekat sebuah kebenaran.
Keberadaannya menjadi cobaan dan ujian bagi manusia (khususnya ayat mengenai hari kiamat, siksa neraka, nikmat surga, datangnya dajjal, dabbah). Mereka mau percaya atau tidak terhadap hal-hal yang gaib sebagai pembuktian atas kualitas iman mereka.

Menambah wawasan, karena dengan sendirinya seorang peneliti didorong untuk membandingkan pandangannya atau pandangan madhhab-nya mengenai maksud ayat-ayat mutashabihat tersebut dengan pandangan orang lain atau madhhab lain, sehingga ia akan menyimpulkan atau sampai pada pendapat yang dekat dengan kebenaran.

Sebagai isyarat bahwa secara umum kandungan al-Qur'an mencakup kalangan Khawas (orang-orang tertentu) dan awam. Sifat orang awam adalah sulit untuk memahami esensi sesuatu. Misalnya, mereka sulit memahami suatu wujud yang tidak mempunyai materi atau dimensi. Dalam hal ini bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sederhana yang sesuai dengan kemampuan mereka agar mereka dapat mencernanya, akan tetapi di balik itu terkandung makna yang sebenarnya.

Sebagai rahmat bagi manusia yang lemah dan tidak tahu segala-galanya, agar meraka tidak malas dan dan berusaha untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sebagaimana ayat-ayat tentang kematian dan hari kiamat.
Dengan terkandungnya muhkam dan mutashabih dalam al-Qur'an, maka memaksa orang untuk meneliti dan menggunakan argumen-argumen akal. Dengan dekian ia akan terbebas dari kegelapan taqlid. Hal ini merupakan indikasi atas kedudukan akal dan keabsahan untuk memeganginya. Sekiranya seluruh ayat al-Qur'an adalah muhkam, maka tentu tidak memerlukan argumen akal dan tetaplah akal akan terabaikan.

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, terdapat beberapa kesimpulan berkaitan dengan ayat-ayat mutashabihat yang dapat dijadikan pelajaran:

Bahwa ayat-ayat mutashabihat adalah ayat-ayat yang dapat menimbulkan ambiguitas dalam makna dan maksudnya dan masih memerlukan penjelasan-penjelasan. Para ulama mempunyai pandangan yang berbeda terhadap ayat-ayat mutashabihat ini karena perbedaan ulama dalam menafsirkan Qur'an Ali 'Imran ayat 7.
Dalam menyikapi dan menafsirkannya, hanya sebagian kecil ulama yang mentakwilkannya. Sedang sebagian besar lainnya menggunakan cara dengan menyerahkan sepenuhnya maksud dari ayat-ayat tersebut kepada Allah.
Dalam memahami dan menyikapi ayat-ayat mutashabihat diperlukan keahlian dan kemahiran dalam segala ilmu pokok al-Qur'an agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah.
Bagaimanapun hebatnya kontroversi yang terjadi terhadap ayat-ayat mutashabihat, ia tetap memberikan manfaat yang sangat besar bagi manusia.
Bibliografi
Ash-ashiddieqy, T. M. Hasbi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Denffer, Ahmad Von,
'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989.
al-Kirmani, Mahmud b. Hamzah b. Nasr,
Al-Burhan fi Tawjih Mutashabih al-Qur'an, Beirut: Dar al-Kutub al 'Ilmiyyah, 1986.
al-Qattan, Manna' Khalil,
Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, terj., Jakarta: Litera Antar Nusa. 2001.
al-Sabbagh, Muhammad b. Lutfi,
Lamahat fi 'Ulum wa Ittijahat al-Tafsir, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1990.
al-Salih, Subhi,
Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, Beirut: Dar al-'Ilm fi al-Malayin, 1988
al-Suyuti, Jalal al-Din,
Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol. II, Beirut: Muassasat al-Kutub al-Thaqafiyyah, 1996.
Shalthut, Mahmud,
Al-Islam Aqidah wa Syari'at, Mesir: Dar al-Qalam, 1986.
Shihab, Quraish M. dan tim,
Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Tim Penerjemah Depag RI,
al-Qur'an dan Terjemahannya, Surabaya: Jaya Sakti, 1997.
Ushama, Thameem,
Methodologies of the Qur'anic Exegesis, Kuala Lumpur, Pustaka Hayathi, 1995.
Watt, W. Montgomery, Bell, Richard
Pengantar al-Qur'an, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1998.
al-Zarqani, Muhammad 'Abd al-'Azim,
Manahil al-'Urfan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol II, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
1 Muhammad abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an Vol II (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), 19.

2 Thamem Ushama, Methodologies of The Qur'anic Exegisis (Kuala Lumpur; Pustaka Hayathi, 1995),1.

3 Mahmud Shalthut, al-Islam Aqidah wa Syari'at (Mesir: Dar al-Qalam, 1986), 507.

4 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 102-107.

5 Al-Kirmani, menjelaskan terdapat 594 ayat (9,5%) mutashabihat dari 6236 ayat dalam al-Qur'an. Dan al-Shanqiti mengatakan, terdapat 525 ayat muhkamat yang membahas tentang tauhid, ibadah dan mu'amalah. Baca Mahmud b. Hamzah b. Nasr al-Kirmani, al-Burhan fi Tawjih Mutashabih al-Qur'an (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1986).

6 Subhi al-Salih, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Bairut: Dar al-'Ilm, 1988), 281.

7 Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, terj. (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), 303.

8 Qur'an surah al-Baqarah: 70.

9 Al-Zarqani, Manahil, 270.

10 M. Quraish Shihab dan tim, Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 120.

11 Depag RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Bumi Restu, 1976), 76.

12 Depag RI., Al Qur'an dan Terjemahnya (Semarang, Toha Putra, 1989), 326.

13 Ibid, 749.

14 Ibid, 76.

15 Al-Zarqani, Manahil, 271.

16 Ibid, 275-276.

17 Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to the Sciences of the Qur'an (Liecester: the Islamic Foundation, 1980), 81. Mengenai al-ahruf al-muqatta'ah, para sarjana barat menggambarkannya sebagai huruf-huruf misterius, meskipun banyak diantara mereka yang berusaha untuk meraba-raba makna yang terkandung. Mereka memandang huruf-huruf tersebut sebagai singkatan dari nama-nama para pengumpul al-Qur'an sebelum Zayd Ibn Thabit. Kelompok surat yang diawali dengan "Ha-Mim" diduga bersal dari orang-orang yang singkatan namanya menjadi "Ha-Mim". Hirschfeld, misalnya mencoba memandang huruf "Sad" sebagai kependekan dari nama Hafsah, "Kaf" sebagai Abu Bakr dan "Mim" sebagai 'Uthman, sedang "Alif-Lam-Mim" kependekan dari nama al-Mughirah. Sedang Eduard Gussens menduga bahwa huruf-huruf tersebut merupakan judul dari surat-surat yang tidak digunakan. Meski demikian pada akhirnya tetaplah huruf-huruf tersebut menjadi misteri. Tidak ada argumen yang cukup valid dari mereka untuk mendukung hipotesa mereka. Lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur'an, terj. Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), 55-56.

18 Al-Zarqani, Manahil ..., 280-281. Ulama berpeda pendapat dalam memandang pengklasifikasian golongan ke-dua ini. Al-Sabbagh memandang bahwa hanya jenis pertama (dalam klasifikasi ke-2) yang termasuk mutashabihat. Sedang lainnya termasuk muhkamat, sebab muhkamat terbagi menjadi 2, yaitu ayat yang bisa diketahui oleh siapa saja dan yang diketahui oleh orang-orang tertentu. Lihat Muhammad b. Lutfi al-Sabbagh, Lamahat fi "Ulum al-Qur'an wa Ittijahat al-Tafsir (Bairut: Al-Maktab al-Islami, 1990), 157-158.

19 Al-Salih, Mabahith, 218.

20 Al-Zarqani, Manahil, 287.

21 Mushtafa Zayd, Dirasat fi al-Tafsir (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1970), 63.

22 Ketika membaca ayat 7 surat Ali 'Imran ini, Ibn 'Abbas mengatakan, "Saya termasuk orang yang mengetahui ta'wilnya...". Ini adalah sebagai bukti dari do'a nabi kepadanya. Lihat al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an. Vol. II (Bairut: Muassasah al-Kutub al-Thaqafiyah, 1996), 7.

23 Al-Zarqani, Manahil, 289. 23 Diantara golongan ini adalah golongan Mu'tazilah, Syiah dan beberapa tokoh 'Asy'ariyah seperti Imam al-Haramain al-Juwaini. Lihat Tim, Ensiklopedi Islam vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993). 315.

24 Di antara golongan ini adalah golongan Mu'tazilah, Syiah dan beberapa tokoh 'Asy'ariyah seperti Imam al-Haramain al-Juwaini. Lihat Tim, Ensiklopedi Islam vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993). 315.

Penulis: M. Aqim Adlan

Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

Hak mencipta adalah kekuasaan Allah SWT.
Ketikan dan rancangan: pesantrennuha@gmail.com

No comments:

Post a Comment