Mengenali Keilmuan al-Qur’an dan al-Sunnah Imam al-Ghazali [1]
Oleh: Kholili Hasib
HUJJATUL Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-550 H) merupakan tokoh sentral Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada abad ke-5 H yang dikenal ulung dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Imam al-Subki dalam Thabaqat al-Syafi’iyah memujinya dengan mengatakan, dia adalah pribadi yang cerdas, berpandangan jitu, pikirannya kuat, cerdik dan mendalam dalam ilmu-ilmu ma’ani (al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah,VI hal. 96).
Beliau hidup pada masa umat Ahlus Sunnah mengalami berbagai macam tantangan dan kemunduran yang serius. Ia dikenang para ulama setelahnya setelah membangkitkan umat Islam dengan mengajarkan karya monumental Ihya Ulumuuddin menyeru untuk diamalkan. Dengan modal keahlian dalam berbagai displin ilmu keilsaman yang ia kuasai, karya-karyanya menjadi pilar kebangkitan Islam. Imam al-Suyuthi menulis, al-Ghazali adalah mujaddid (pembaharu) abad ke-lima.
Pembaharuan yang dilakukan oleh Imam al-Ghazal dimulai dengan perbaikan ilmu pengetahuan. Inilah ciri khas beliau. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin II beliau mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Imam al-Ghazali,Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Sebagai seorang mujaddid, tingkat keilmuan imam al-Ghazali tidak bisa dipandang remeh. Al-Manawi berpendapat bahwa, sebagian ulama salaf mengatakan bahwa seorang mujaddid harus pula seorang mujtahid (al-Manawi,Faidhul Qadhir Juz I, hal. 10). Seorang mujtahid tentunya diharuskan menguasai berbagai ilmu-ilmu alat dalam berijtihad, khususnya ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam kapasitasnya sebagai ulama, ia berusaha mengungkapkan kebenaran dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang perlu ditempuh dan mana yang perlu dihindari. Ia menunjukkan kesalahan-kesalahan mendasar pada paham-paham tertentu yang berkembang di dunia Islam. Seperti mengoreksi falafah Yunani, kebatinan kaum Bathiniyah (Syiah), Kalam Mu’tazilah dan penyimpangan tasawwuf.
Dalam mengkritik ilmu kalam kaum Mu’tazilah, imam al-Ghazali telah meletakkan landasan fundamental, yaitu metode yang benar untuk menganalisis masalah-masalah akidah dan dalil-dalinya, seperti metode al-Qur’an. Imam al-Ghazali menandaskan bahwa argumentasi-argumentasi logis dalam al-Qur’an cukup bagai akal dan fitrah yang sehat. Ia menggambarkan, ayat al-Qur’an itu bagaikan air yang dimanfaatkan oleh baik bayi maupun orang dewasa. Beliau berhasil mematahkan logika-logika falsafah Yunani dan kalam Mu’tazilah dengan baik. Para ulama setelahnya banyak yang mengambil faidah dari metode mantiq-nya.
Tentang interaksi dengan al-Qur’an, imam al-Ghazali memberi masukan-masukan agar umat Muslim tidak tertipu dalam mu’amalah dengan al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar huruf-huruf namun makna-maknanya. Melafadzkan huruf harus benar dan sekaligus memahami makna di dakandungnya.
Anjuran untuk memperbanyak bacaan al-Qur’an juga beliau sampaikan dalam kitab Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali menulis contoh para Sahabat Nabi Saw ada yang mengkhatamkan al-Qur’an sekali setiap pekan, seperti Sahabat Ustman bin Affan, Zain bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab. Beliau mengajurkan untuk menghkatamkan al-Qur’an tiap pekan sekali atau dua kali. Bagi beliau khatam sekali sepekan ini merupakan tengah-tengah (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin I, hal. 325).
Kedalaman tentang ilmu al-Qur’an dapat disimak dari nasihatnya.Beliau berpendapat bahwa ada sekeompok orang yang tertipu dengan bacaan al-Qur’an. Mereka membanggakan dengan kehebatan melafadzkan huruf namun lalu atau lupa maksud ayat yang dikandungnya.
Menurut imam al-Ghazali, mereka tidak memikirkan makna-makna ayat al-Qur’an, tidak memahami ayat-ayat tentang perintah dan larangan serta tidka mengambil ibrah dari tempat-tempat yang memberikan pelajaran (Imam al-Ghazali,al-Kasyf wa al-Tabyin fi Ghururi al-Khalqi Ajma’in, 305).
Imam al-Ghazali sangat mengecam orang secara sembarangan menafsirkan al-Qur’an tanpa ilmu dan metode ulama. Dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin beliau menulis bab Fi Fahmi al-Qur’an wa Tafsirihi bil Ra’yi min Ghairi Naqli. Di dalamnya diterangkan dua larangan ketika menafirkan al-Qur’an. Pertama, menafsirkan ayat al-Qur’an mengikuti pikiran dan hawa nafsunya dengan tujuan membenarkan pendapatnya dan bid’ahnya. Seseorang telah memiliki suatu pikiran lalu mencari-cari landasan al-Qur’an agar supaya pemikirannya yang mengandung bid’ah diterima orang. Dipaksakan untuk dicocok-cocokkan. Kedua, tidak terburu-buru menafsirkan dzahir ayat al-Qur’an. Khususnya, ayat-ayat gharib (lafadz asing) yang tidak bisa langsung dimaknai secara literal (Imam al-Ghazali,Ihya Ulumuddin juz I, hal. 343).
Secara khusus beliau juga menulis kitab Qanun al-Takwil (Kaidah Menakwilkan). Di dalam kitab ini imam al-Ghazali menyeimbangkan antara manqul (teks) dan ma’qul (akal) dalam memahami al-Qur’an. Banyak orang yang terjebak pada ekstrimisme untuk memasung teks demi rasionya. Atau memasung teks demi rasionya. Di sinilah imam al-Ghazali menjelaskan kaidah-kaidah yang tepat sesuai al-Qur’an dan al-Sunnah. Keseimbangan antara manqul dan ma’qul inilah kelebihan kitab ini. Tulisan-tulisan tersebut sudah cukup menunjukkan kedalaman ilmu al-Qur’an imam al-Ghazali.
Dalam ilmu hadits, ada beberapa yang meremahkan. Sebagai seorang mujtahid, mustahil rasanya beliau tidak memahami ilmu hadits. Beliau dikenal seorang faqih, menulis kitab Al-Mustashfa fi ilmil Ushul. Salah satu perangkat dasar dalam ijtihad bidang fikih adalah penguasaan ilmu hadits.
Memang, beliau tidak menulis tentang ilmu hadits, dan dikatakan relative kurang menonjol dalam bidang hadits. Peniliaian ini lebih tepat jika dibandingkan dengan penguasaan beliau terhadap ilmu-ilmu lain dan dibandingkan dengan para pakar ahli hadi seperti imam Syafii, imam Maliki dan imam Bukhari.
Namun, jika kita perhatikan beliau punya guru-guru hadits yang berisnad. Sedang sanad dalam ilmu hadits ini merupakan sesuatu yang niscaya untuk menguasai ilmu hadits. Sanadnya bersambung kepada para perawi-perawi terdahulu. Sedangkan, hari ini sanad ilmu hadits merupakan sesuatu yang tidak mudah didapat. Dikhabarkan juga bahwa beliau pernah mengajar hadits di madrasah Nidzamiyah.
Dalam menyikapi hadits palsu beliau berpendapat bahwa banyak orang menyangka dibolehkan membuat hadits palsu untuk fadhilah amal atau untuk menakut-nakuti agar tidak bermaksiat, dan mereka berpendapat bahwa hal ini dapat dibenarkan padahal, kata imam al-Ghazali, ancaman membuat hadits palsu itu berar seperti sabda Nabi Saw: “Barangisapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka”. * (bersambung)
Penulis adalah pengurus MIUMI Jawa Timur
Rep: Admin Hidcom
Editor:
No comments:
Post a Comment