Monday, 24 August 2015

BENARKAH IMAM ASY-SYAFI’I MENGHARAMKAN TAHLILAN ?!!


IMAM SYAFI'I -Rahimahullah
- MENGHARAMKAN TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN, MAJLIS TAHLIL atau KENDURI ARWAH) ; BENARKAH ?

Tahlilan merupakan sebuah majelis yang berisi dzikir-dzikir yang masyru’, do’a, shalawat serta pembacaan al-Qur’an yang bertujuan untuk merahmati mayyit dengan pahala yang dihadiahkan kepada mayyit. Sangatlah tidak mungkin apabila Imam kita yakni Imam asy-Syafi’i mengharamkan tahlilan, tidak mungkin Imam asy-Syafi’i mengharamkan do’a, dzikir, shalawat dan bacaan al-Qur’an. Imam kita sangat bijaksana, ahli hadits dan luas ilmunya, penolong sunnah Nabi. Jadi, tidak akan mudah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sebagian orang telah mengutip dan memahaminya secara membabi buta terkait ucapan Imam asy-Syafi’ rahimahullah yang terdapat dalam kitab al-Umm berikut ini :

وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر

“aku menghukumi makruh Ma’tam, dan yakni sebuah kelompok, dan walaupun tidak ada tangisan bagi mereka sebab sesungguhnya itu memperbaharui kesedihan dan membebani biayai beserta apa yang pernah terjadi”.

Dari kutipan ini, sama sekali tidak ada ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan tahlilan. Jadi, darimana isu-isu yang mengharamkan tahlilan dengan berdalil ucapan Imam asy-Syafi’i ? Mana ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan mendo’akan muslim yang meninggal dunia, mana ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk muslim yang meninggal dunia, mana pula ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan semua itu yang dilakukan dikediaman ahlul mayyit ? Jelas, ini salah satu bentuk untuk memecah belah umat Islam terutama untuk menghancurkan pondasi madzhab Syafi’i yang memang paling banyak di anut kaum Muslimin termasuk paling banyak di anut oleh Dzurriyah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Pertama, sudah jelas bahwa Imam asy-Syafi’i memakruhkan (bukan mengharamkan) hal diatas, artinya adalah apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan akan mendapat pahala. Apa yang dimakruhkan ?

Kedua, al-Ma’tam berasal dari kata “atama – ya’timu” yang bermakna ‘apabila dikumpulkan antara dua perkara”. Ma’tam asalnya adalah setiap perkumpulan (perhimpunan) dari laki-laki atau perempuan baik dalam hal kesedihan maupun kegembiraan. Kemudian pakar-pakar lughah, hanya mengkhususkan pada perhimpunan perempuan pada orang mati. al-Jauhari mengatakan ; ma’tam menurut orang arab adalah perempuan-perempuan yang berkumpul (berhimpun) dalam hal kebaikan dan keburukan. Ibnu Barri - tidak bisa di cegah agar ma’tam dipahami dengan makna wanita yang meratap, kesedihan, ratapan dan tangisan sebab sesungguhnya wanita karena untuk itu mereka berkumpul, dan kesedihan itulah yang juga membuat mereka berkumpul.  [1]

Ketiga, Imam asy-Syafi’i menghukumi makruh atas illat yang beliau sebutkan sendiri yakni “yujaddidul huzn wa yukalliful mu’nah (memperbaharui kesedihan dan membebani biaya)",   apabila tidak ada illat maka hukum makruh itu juga tidak ada, sebab kaidah ushul fiqh mengatakan :

“al-‘Illatu tadillu ‘alaal Hukmi yakni illat itu menunjukkan atas hukum”.

Jadi, sekali lagi tidak ada pengharaman Tahlilan oleh Imam asy-Syafifi rahimahullah.

PENJELASAN HABIB MUNZIR AL-MUSAWA

Imam Syafii tak menghendaki orang berkumpul kumpul dirumah duka karena akan menambah dukanya, mereka membicarakan masa masa kehidupan si mayit, jasa baiknya, ujungnya mereka menyesali takdir Allah, menyesali kematian almarhum,

Itu yang dimaksud Imam Syafii', bukan kumpulan para tetangga dirumahnya untuk mendoakan si mayit, kumpulan dzikir kalimat tauhid, alqur'an, dan dzikir-dzikir lainnya untuk mendoakan si mayit dan itu sangat meringankan beban keluarga si mayit, mereka senang tetangganya masih meramaikan rumah mereka yg senyap sepeninggal si mayit., dan mereka berdoa untuk si mayit bersama sama, ini tak pernah ditentang oleh Imam Syafii, bahkan Rasul saw melakukan takziyah pada yg wafat dan mendoakannya, bedanya masa sekarang adalah ditentukan waktunya, tidak lain adalah karena muslimin mempunyai kesibukan masing masing, maka agar kumpul ramai ramai walau 15 menit / setengah jam, berdoa bersama lalu pulang kerumah masing masing dan selesai tanpa berdesakan tinggal dirumah duka hingga berjam jam menyibukkan keluarga si mayit.

Dan mengenai ucapan Imam Syafii itu sebagaimana diatas, itupun beliau tak mengharamkannya, hanya tak menyukai kumpul- dirumah almarhum dengan berbicara panjang lebar,

Imam Syafii tak pernah menentang kumpulan dzikir dirumah almarhum untuk mendoakannya, cuma wahaby saja yg mengharamkannya tanpa dalil dan mencari cari dalil yang bisa dicocok-cocokkan dan dimirip-miripkan lalu jadilah fatwa baru tanpa ilmu. [Majelis Rasulullah]

PERHATIAN : banyak tulisan di internet yang katanya ucapan Imam asy-Syafi’i namun ternyata sebagiannya bukan berasal dari kitab Imam asy-Syafi’i tetapi kitab ‘ulama Syafi’iyah (I’anatuth Thalibin karya Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi) dan apa yang ada dalam pembahasan kitab tersebut adalah dihukumi makruh (bukan haram) –tapi bukan tahlilan-.

[1]. Lihat ; Lisanul ‘Arab (4/12)

Fatwa Imam Syafi’i tentang Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan

NOV 19
Posted by wahonot

Oleh : ustadz Rasul dahri

Majlis kenduri arwah lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati.  Kebiasaannya diadakan sama ada pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati.  Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyedari bahawa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.

Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 146, tercatit pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:

وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْرِ
“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu.  Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.

Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar (ائمة العلماء الشافعية) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahawa yang sewajarnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran, kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:

وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.
“Aku suka kalau jiran si Mati atau saudara mara si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka.  Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.

Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)

“Abdullah bin Ja’far berkata:

Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: 

Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyebukkan (kesusahan)”.

Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.

Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar dan ramai.  Tentunya tidak dipertikaikan bahawa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. 

Telah dinyatakan juga di dalam kitab (اعانة الطالبين) jld. 2. hlm. 146:

وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ

“Imam Syafie berkata lagi: 

Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.

Seterusnya di dalam kitab (اعانة الطالبين)  juz. 2. hlm. 146 – 147,

Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:

وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat puluh harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.

Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie.  Oleh itu, mereka yang mendakwa bermazhab Syafie sewajarnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini sebagai mematuhi wasiat imam yang agung ini.

Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 145-146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:

وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .

“Dan tidak boleh diragukan lagi bahawa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terdedah (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.

Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul  .(خول)  Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:

مَا  يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ

“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”.

Lihat: اعانة الطالبين juz 2 hlm. 145.

Di dalam kitab fikh (حاشية القليوبي) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab  قليوبى - عميرة) -(حاشيتان  juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:

قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.

“Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: 

Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” iaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuklah (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.

Di dalam kitab (الفقه على المذاهب الاربعة)  jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:

وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ .

“Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, iaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan).  Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.

Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si Mati.  Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu', masalah cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi' (مبتدع) "pembuat atau aktivis bid'ah" sehingga amalan ini tidak mahu dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan tegahannya dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.

Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah.  Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka-suka (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berpandukan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta'ala telah memberi amaran yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang ramai yang tidak ada dalil atau suruhannya dari syara sebagaimana firmanNya:

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan (majoriti) orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah.  Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)".
Al-An'am, 6:116.      
           
Begitu juga sesuatu amalan yang disangkakan ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah.  Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil).  Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah".
Al-Jasiyah, 45:18-19.
           
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berpandukan kepada andaian mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang sahih untuk dinilai sama ada haram atau halal, sunnah atau bid'ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah.  Memandangkan polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan  dan ditanyakan kepada penulis, maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar. 

Dalam membincangkan isu ini pula, maka penulis tumpukan kepada kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana ramai mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahawa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.

Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan sahaja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasuklah mereka yang masih tersalah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

WASIAT IBN 'UMAR (Radhiallahu 'Anhuma)

Ada beberapa ulama menyangka bahawa pernah diriwayatkan dari Ibn 'Umar radhiallahu 'anhuma bahawasanya beliau berwasiat apabila beliau wafat (meninggal dunia) supaya dibacakan di atas kuburnya surah al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir dari surah al-Baqarah. 

Athar Dari Ibn 'Umar

Athar dari Ibn 'Umar inilah antara yang dijadikan hujjah oleh mereka yang menghalalkan perbuatan menghadiahkan pahala bacaan al-Fatihah (al-Quran) atau bacaan bertahlil untuk arwah orang-orang yang telah mati.

Menurut penelitian para ulama hadis dan kalangan ulama Ahli sunnah wal Jamaah, ternyata athar dari Ibn ‘Umar ini adalah batil kerana bertentangan dengan amalan para sahabat radiallahu 'anhum.  Athar ini juga didapati terlalu lemah dan syaaz (bertentangan dengan hadis sahih), maka athar ini tidak dapat diterima untuk dijadikan hujjah, menghalalkan amalan menghadiahkan pahala bacaan al-Quran untuk arwah dan bertahlil beramai-ramai untuk orang mati sebagaimana yang diamalkan oleh sebahagian besar masyarakat Islam sejak sekian lama.

 Riwayat ini juga tidak pernah diterima walaupun oleh seorang sahabat dan para ulama Ahli Sunnah wal Jamaah sebagaimana keterangan di bawah ini:

وَاَمَّا مَا يَرْوِيْ عَنِ بْنِ عُمَرَ اَنَّهُ اُوْصِيَ بِقِرَاءَ ةِ الْفَاتِحَةِ وَخَوَاتِمَ الْبَقَرَةِ عَلَى قَبْرِهِ فَهُوَ اَثَرٌ شَاذٌ لَمْ يَصِحْ سَنَدُهُ وَلَمْ يُوَافِقهُ عَلَيْهِ اَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ.

"Dan apa yang telah diriwayatkan dari Ibn 'Umar bahawasanya beliau mewasiatkan agar dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat terakhir dari surah al-Baqarah di atas kuburnya, maka itu adalah athar yang syaaz (tidak sahih) dan tidak sahih pula sanadnya.  Dan tidak pernah dipersetujui (diterima) walaupun oleh seorang sahabat."[1]        

Hadis Da'if

Begitu juga tidak ada suruhan membacakan al-Quran kepada orang mati atau yang sedang nazak.  Adapun hadis yang menyuruh agar dibacakan ayat al-Quran kepada orang yang sedang nazak atau orang yang telah mati terutamanya surah Yasin adalah merupakan hadis lemah.  Di dalam sanad hadis ini terdapat seorang yang bernama Saad yang dikenali oleh ulama hadis sebagai Abu 'Uthman.  Dia telah dipastikan oleh ulama hadis sebagai orang yang tidak diketahui keadaannya (مجهول الحال).  Hadis yang dimaksudkan ialah:

اِقْرَؤُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ.

"Bacakanlah oleh kamu (surah Yasin) ke atas orang yang hampir mati dari kalangan kamu". Hadith lemah.[2]           

Menurut hadis yang sahih, perkara yang sunnah dilakukan kepada orang nazak (bukan orang mati) ialah mengajarkan kalimah tauhid sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis di bawah ini:

لَقِّنُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ

"Ajarkanlah oleh kamu orang-orang yang nazak di kalangan kamu dengan kalimah:  La ilaha illallah".[3]
               
Adapun membacakan al-Quran ke atas orang mati telah diketahui ia perbuatan yang diharamkan oleh Imam Syafie dan sama sekali tidak ada nas yang mengizinkan untuk melakukan perbuatan tersebut malah bertentangan dengan nas al-Quran sebagaimana di bawah ini:

اِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى.

"Sesungguhnya engkau tidak boleh menjadikan orang-orang yang telah mati itu mendengar".[AN NAML, 27:80.]

Melalui hujah-hujah di atas adalah jelas bahawa kenduri tahlilan hanyalah merupakan amalan tradisi sesuatu bangsa.  Ia kemudian dianggap sebagai amalan agama kerana ramai yang mengamalkannya.  Tetapi pada hakikatnya ia bukanlah suruhan atau amalan sunnah sebagaimana yang disangka oleh sebahagian masyarakat yang tidak mengkaji asal usul kenduri tahlilan tersebut.

Ada juga beberapa riwayat mengenai suruhan bacaan surah al-Fatihah, surah al-Ikhlas, surah al-Falaq dan surah an-Nas kemudian pahalanya dihadiahkan kepada arwah orang yang telah mati.  Riwayat-riwayat tentang perkara ini juga tidak sah (batil) kerana ianya juga bertentangan dengan al-Quran, hadis yang sahih dan perbuatan (amalan) para sahabat, tabi'in dan tabi'ut at-tabi'in (para salaf asSoleh) dikurun al-mufadalah (kurun terbaik).  Antara hujjah untuk menguat dan menghalalkan perbuatan mereka ialah hadis berikut:

مَنْ قَرَاَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ اَلْفَ مَرَّةٍ فَقَدْ اشْتَرَى نَفْسَهُ مِنَ النَّاسِ (حديث موضوع)

"Barangsiapa yang membaca Qulhuwallahu Ahad sebanyak seribu kali, maka sesungguhnya ia telah membebaskan dirinya dari api neraka".  (Hadis Palsu).

[1].  Lihat:  شرح المهذب Jld. 10.  Hlm. 429.  Ali as-Subki.

[2].  H/R Abu Daud (2714).  Al-Janaiz.  Ibn Majah (1438).Hadis Lemah.

[3].  H/R Muslim (1527), al-Janaiz.  Turmizi (18980).  al-Janaiz.  Abu  Daud (2710) al-Janaiz.  Nasaii (1803).  al-Janaiz,  Ibn Majah (1430).  Ahmad (10570P)

Sumber: http://www.rasuldahri.com
Diupload kembali oleh : http://www.wahonot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment