Friday 31 July 2015

Pendapat para ulama mengenai ulama Al Albani

Pendapat para ulama mengenai ulama Al Albani

“Al-Albani tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam menetapkan nilai suatu hadis, baik shahih ataupun dhaif. la telah mengubah hadis-hadis dengan sesuatu yang tidak boleh menurut ulama hadis…” (Al-Muhaddits Prof. Dr. Abdullah al-Ghimari, Guru Besar llmu Hadis di universitas-univesitas Maroko)

“Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu“. Tengku zulkarnain

“Di kalangan salafi (wahabi), lelaki satu ini dianggap muhaddis paling ulung di zamannya. Itu klaim mereka. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadis terdahulu. Fantastis. Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.“ Forsan salaf

“Kaum Salafi & Wahabi menganggap sepertinya al-Albani adalah ahli hadis yang sangat menguasai bidangnya, sehingga bagi sebagian mereka seperti ada kepuasan hati ketika sudah mengetahui pendapat al-Albani tentang hadis yang mereka bahas, dan seolah mereka sudah mencapai hasil penilaian final saat menyebutkan “hadis ini dishahihkan al-Albani” atau “al-Albani mendha’ifkan hadis ini”.Daarul mukhtar

“Seorang Al-Albani ketika membaca Quran dan Sunnah, lalu dia pun berjtihad dengan pendapatnya. Apa yang dia katakan tentang Quran dan Sunnah, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu dia sendiri. Sumbernya memang Quran dan Sunnah, tapi apa yang dia sampaikan semata-mata lahir dari kepalanya sendiri. Sayangnya, para pendukung Al-Albani diyakinkan bahwa yang keluar dari mulut Al-Albani itulah isi dan makna Quran yang sebenarnya. Lalu ditambahkan bahwa pendapat yang keluar dari mulut para ulama lain termasuk pada imam mazhab dianggap hanya meracau dan mengada-ada. Naudzu billahi min dzalik“.Mutiara zuhud.pent

Perhatikan Wahabi !!

Sebetulnya, kapasitas pria yang lahir di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M ini sangat meragukan. Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10 hadis beserta sanadnya, ia dengan enteng menjawab, “Aku bukan ahli hadis sanad, tapi ahli hadis kitab.”

Berarti dia diragukan kelayakannya disebut sebagai Muhaddits, karena yang disebut Muhaddits adalah orang yang mengumpulkan hadits dan menerima hadits dari para rawi hadits. Albani tidak hidup di masa itu, ia hanya menukil dari sisa buku-buku hadits yang ada di masa kini.

Kita bisa lihat Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal sejuta hadits berikut sanad dan hukum matannya, hingga digelari huffadhuddun-ya (salah seorang yg paling banyak hafalan haditsnya di dunia). Sedangkan Al bani hanya sempat menulis sekitar 20.000 hadits dari hadits sebanyak itu. Maka 980.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman.(ingat, ia menulis bukan menghapal !!)

Imam Bukhari hafal 600.000 hadits berikut sanad dan hukum matannya dimasa mudanya, namun beliau hanya sempat menulis sekitar 7.000 hadits saja pada shahih Bukhari dan beberapa kitab hadits kecil lainnya, dan 593.000 hadits lainnya sirna ditelan zaman. Demikian muhaddits-muhadits besar lainnya, seperti An-Nasa’i, At-Tirmidziy, Abu Dawud, Muslim, Ibn Majah, Imam As-Syafi’i, Imam Malik dan ratusan muhaddits lainnya.

Muhaddits adalah orang yang berjumpa langsung dengan perawi hadits, bukan berjumpa dengan buku buku. Albani hanya berjumpa dengan sisa-sisa buku hadits yang ada masa kini.!!

Tuesday 21 July 2015

Purification of the heart

 Hadis #6                   

                                        Purification of the heart

On the authority of Abu 'Abdullah al-Nu'man bin Bashir, radiyallahu 'anhu, who said: I heard the Messenger of Allah, sallallahu 'alayhi wasallam, say:

"Truly, what is lawful is evident, and what is unlawful is evident, and in between the two are matters which are doubtful which many people do not know. He who guards against doubtful things keeps his religion and honour blameless, and he who indulges in doubtful things indulges in fact in unlawful things, just as a shepherd who pastures his flock round a preserve will soon pasture them in it. Beware, every king has a preserve, and the things Allah has declared unlawful are His preserves. Beware, in the body there is a flesh; if it is sound, the whole body is sound, and if it is corrupt, the whole body is corrupt, and behold, it is the heart."

[Al-Bukhari & Muslim]

background

The first thing to note is that Imam al-Bukhari recorded this hadith in the beginning of the Book of Trading (Kitab al-Buyu'), i.e. the kitab started off with this hadith. Some scholars say that Imam al-Bukhari was not only a muhadith who memorized, collected, recorded and compiled the hadith, but he was also a faqih (jurist) and his fiqh (jurisprudence) can be noted in so many ways. One is the tabwib, or the way that he gave the title for each chapter of his book. He would choose a certain statement which he would then use for the title of the chapter. This title reflects his fiqh. Also the way the hadith is recorded, where it is placed, under which chapter, and the fact that sometimes a hadith is repeated in many chapters - all these reflect the fiqh of Imam al-Bukhari.

But why did Imam al-Bukhari start Kitab al-Buyu' with this hadith? What does this imply?
There are many implications. One of them is that these doubtful matters are related to the things that we buy and sell, that we trade in. It is also said that his father once mentioned to him that for forty years he never brought anything doubtful into their home.

It can be observed that Imam al-Bukhari was influenced by his father's attitude in two ways:

1. His father brought only halal things into the house. Whatever the family ate, drank, wore or used was halal. There were no doubts. This is the environment Imam al-Bukhari was brought and raised up in. It is also said that whenever his father made du'a to Allah subhanallahu ta'ala, Allah answered his du'a because of the fact that he never dealt with anything which was doubtful. This is reflected in the behaviour and attitude of Imam al-Bukhari. Hence like in this hadith where he chose to record it at the beginning of the chapter Kitab al-Buyu'.

2. Imam al-Bukhari is also known as a great muhadith. One of the things that a muhadith is involved in is al-Jarh wat-Ta`dil, the status of narrators of hadith - whether they can be taken as saadiq, the one who is truthful and trustworthy, or as those who lie and cannot be taken as true narrators of hadith. The muhadithun uses specific terms to indicate the status of a narrator. When it comes to the status of the liars, or those who cannot be relied on, Imam al-Bukhari used a very astonishing style of al-Jarh wat-Ta`dil. He would not use direct terms - rather, he would use indirect ones. This also reflects his piety and righteousness. He would not simply label a narrator a liar. Instead he would say: "He has been labelled a liar".

Another matter which is related to Imam al-Bukhari is that whenever there was controversial issues or the clashing of views, he would follow the cautious approach. For example, whenever there was conflicting opinions whether something is an obligation or not, such as the recitation of Al-Fatihah in prayers, he would be in favour of the view that treats it as an obligation. Another school of thought has a different approach where some scholars follow whatever the evidence leads them to - provided it is sound and authentic.

lessons

The Scholars are of the view that the vast majority of acts fall into one of the first two categories: either it is evidently lawful or unlawful. Only a minority number of acts fall into the third category, that which is doubtful.

It can be noted here that the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, is using a metaphor, or analogy, twice in this hadith. As mentioned before, using metaphors or analogies in communicating ideas is very effective and powerful. From the metaphor and the way it is worded ("just as a shepherd who pastures his flock round a preserve will soon pasture them in it"), we can say that the doubtful things are closer to the unlawful things.

This hadith emphasizes the importance of glorifying Allah subhanallahu ta'ala. If we want to glorify Allah, we have to glorify His injunctions, commandments, whether they are obligations (so we perform them), or whether they are prohibitions (so we don't perform them). A Salaf once narrated: "Don't look at how minor the sin is that you committed, but look at the glory of the One you disobeyed, i.e. Allah subhanallahu ta'ala." A sin, even if it is a minor one, means disobedience to Allah, hence defying the Glorification of Allah. And the glorification of Allah is actually one of the principles of Tawhid.

We mentioned before that the great actions or the principles of Tawhid are done by the heart. That is why the heart is mentioned at the end of this hadith. Looking at the hadith at first glance, we might have asked what the heart has to do with the rest of the hadith. It is in the heart that we glorify Allah. It is the action of heart when we refrain from the unlawful. If the heart is strong, sound, has no weaknesses, and is full of iman (faith), then this would lead us to refrain ourselves from muharramat and makruhah (undesirable acts). Therfore only those with a strong and sound heart, i.e. the heart that is full of love for Allah, fear of Allah and glorification of Allah, will refrain from the doubtful matters. But those whose hearts are diseased and whose iman is weak, may go around the doubtful matters. Little by little they will indulge in the makruhah, delaying things and eventually getting into the muharram or delaying or even negating the wajib. It has to do with the status of the heart. That is why the scholars talk about the life of the heart. For example, when you see Muslims praying in the masjid (mosque), you see hundreds of people praying together. But what distinguishes them is the status of their hearts, whether it is devoted to Allah or not. How strong and pure is the heart? How sound is the heart? That's where people differ. This is what we should concern ourselves with, and compete - taking care of our hearts, purifying them, taking away any diseases from our hearts, to activate iman in the heart in order to make it alive.

The Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, mentioned about Abu Bakr as-Sidiq where he said that If you put the iman of all the Muslim ummah on one scale and the iman of Abu Bakr as-Sidiq on the other scale, the iman of Abu Bakr as-Sidiq would outweigh the iman of the whole ummah. The Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, also said that there is something in the heart of Abu Bakr as-Sidiq that distinguished it from others, and as it is known he was called as-Sidiq. The Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, once said about Abu Bakr: "When I call someone to Islam, he will have some hesitation...except Abu Bakr as-Sidiq. The minute I talked to him about Islam, straight away he believed in me, he believed in Allah and that I am the Messenger of Allah." So it has to do with the heart that distinguished Abu Bakr as-Sidiq to be al-Khalifatul-Awal, and to be the first Sahabi (Companion). From this, it can be said that every Muslim should care about his/her heart, purify it and activate iman in the heart, and practise the great principles of Tawhid, such as to love Allah, to fear Him, to rely on Him, to have hope in Him, to seek help fro Him and to seek refuge in Him so that the heart is alive, activated and full of iman. And at the same time we have to make sure that there should be no diseases or anything bad within our hearts, e.g. greediness, envy, arrogance, etc. Only then will the heart be sound.

In another related hadith the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, mentioned that: "The heart will be exposed to fitan (trials) again and again. The heart which is influenced by fitnah will have a black spot placed on it. And if the heart avoids the fitnah, there will be a white spot on it." The heart then is either a pure one, or a heart that has been sealed after being affected by fitan or prohibited or doubtful matters again and again. Even though the heart pumps out blood and the person is alive, the heart in reality is not alive, because the iman is weak, making the heart unsound. Hence avoiding and getting away from the fitan is important in order to have a pure heart, especially in these contemporary times where it is full of evil that attracts the heart.

The evil doers promote evil and impose it on others. So if a Muslim is not careful, his/her heart might be stolen. As mentioned by the great contemporary scholar, Sheikh Abdur Rahman ad-Dusari, there are many thieves today who steal the hearts, sometimes without the owner even being aware of it.

If you read any hadith of the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, it talks about a matter, whether it is something good that we should do, or something bad that we should not do. And then in the hadith the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, will mention a principle. Usually, the principle, which is the main point of the hadith, is the last words or sentence. The hadith above mentions about the lawful and unlawful being evident, and then there is the doubtful matter. And then there is the last sentence of the hadith. This is the bottom-line of the hadith, the main thing, the main issue. If we want to get away from the muharramat (unlawful), and also from the doubtful matters, we have to care about our heart. We have to purify our heart and make sure it is sound and alive, and it is not lost from us.

One wisdom we can learn from the hadith is from the way the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, tells us about something: he will discuss a concept and then give us the principle. This principle helps us not only with the concept mentioned in the hadith, but it actually helps us, if we use it in the right way with the right understanding, in other similar matters and situations. If we care about our heart, not only will we be able to avoid the doubtful matters, we can apply the same principle to other similar concepts or issues, e.g. in avoiding bad manners for there are also doubtful matters in the concept of akhlaq (values).

It was mentioned earlier that Imam al-Bukhari recorded this hadith in Kitab ul-Buyu' (Trading). When it comes to trading there are many matters that are doubtful, matters which existed then and even now, e.g. where cheating is done professionally. Therfore we have to be careful if the matter related to trading is clear and evident, permissible or not permissible, or if it is doubtful, in which case we have to avoid it.

Related to the above issue is the issue of al-ma'kulat (food) where there are many doubtful matters about what we eat. If we check the ingredients that are used in many manufactured food today, e.g. biscuits, canned food and preserved food, there are ingredients that might raise the question of doubtfulness of what we eat. For example, lecithin is used in the manufacture of foodstuff especially in the west and Muslim countries import a lot of food from the west. If it is not specified otherwise then there is a high probability that the lecithin is derived from khanzir (pig) because it is cheaper to produce. Otherwise, it should be mentioned whether it is derived from soya or plants or from halal production.

Another ingredient is emulsifier. Emulsifiers are labelled as the letter 'E' followed by a series of numbers. Some emulsifers contain things that are not permissible. There are efforts done by some Muslim scientists where they try to identify such ingredients. This can then be used as a checklist to check against when we buy food for our family. We should be very careful when we read the ingredients of foodstuff if we want to ensure that what we eat is halal. It is mentioned in a hadith that if what we eat is haram, even our du'a / supplication is not accepted by Allah.

We should take care of our health. A lot of what we eat today or what is in the market is not fresh. There are so many preservatives, colouring and chemicals which, if used excessively, might affect our health. We have to be careful in the sense that although it is in general permissible, if it is used excessively it will affect our health - then we are not doing good for our health as a Muslim.

Some of the interpreters of the collection of the Forty Hadiths try to identify or pinpoint some matters that are doubtful in general. Sometimes they mention matters or controversial issues where the related evidences from the Qur'an and Sunnah are conflicting and there is no apparent way to resolve the conflict. They mention general matters where views of scholars may also be conflicting. Some permissible matters might lead a person to do what is forbidden or lead him to fail to do what is obligatory. For example, the issue of staying up late. According to the view of some scholars, it is makrooh to stay up late for no valid reason, just chatting or doing nothing or just wasting time. Even though in general it is permissible, this might lead to other consequences where it might cause the delaying or failing to do the wajib or it might lead us into doing muharram. The scholars also say that there are matters which were inferred or concluded based on certain hadiths where the authenticity of the hadith is questionable. They say this can also be treated as doubtful matters.

The main key to the issue that the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, gave us, again, is the heart. If we care about our heart, we will be more sensible. If the heart is sound, strong, full of iman (faith), we will be more responsible, and we will care more about what we do and what we don't do. This becomes the measure to those matters which are doubtful.

Even though some interpreters gave some principles by which we can distinguish those doubtful matters, it can still be debated or questioned. But if the heart is good, strong and full of iman, the person will be able to distinguish between the doubtful matters and other clear evident matters, where he would also be able to refrain from the doubtful matters. Sometimes people may know something is haram and not just doubtful, but yet they still get involved in it because of the weak status of their hearts.

So here again we would like to emphasize the main key to dealing with the problem of doubtful matters is the heart. If we all care about the heart, make sure it is in a good status, then insha-Allah we will be able to be saved by the help of Allah. We will be guided by Allah, because the heart will be full of light. When we say the heart is full of light or guided by light, there are things that we can do that help us to identify and avoid doubtful matters:

•Al-Muhasabah - self accountability

•Al-Muraqabah - self reckoning

•Dzikrullah - the remembrance of Allah. Imam Nawawi himself compiled another book, the Book of Azkar, where he recorded the hadith about azkar. It is mentioned by the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, that remembering Allah will purify the heart. However, we have to do it regularly and on a continuous basis. We should do the azkar after prayers.

Another thing is as-Salatu 'ala an-Nabi (the sending of prayers and blessings to the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam). This is also an important matter. We don't train ourselves to practice this Salatu 'ala an-Nabi, sallallahu 'alayhi wasallam. We just write SAW or an alphabet after mentioning the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam. We even abbreviate the phrase "subhanahu wata'ala". These are mistakes because du'a cannot be abbreviated. This is commonsense. Why do we abbreviate? Is it to save our time? Or to save ink? We have to practice saying/writing "sallallahu 'alayhi wasallam" in full because we are encouraged to do so. The Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, said: "Do you know the greedy? The one whom my name is mentioned in front of him or her, and he does not say "sallallahu 'alayhi wasallam".

In another hadith the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, said that if we practice as-Salatu 'ala an-Nabi, Allah will send His "prayers" and blessings upon us (yusalli 'alaih). What does this mean? The scholars explain this by saying that Allah will guide the person who practices as-Salatu 'ala an-Nabi and gives him the light by which to distinguish between the good and the bad. It is a light that will be in the heart. This is termed as as-solatu minallah 'ala al-'abd. Moreover each time we say "sallallahu 'alayhi wasallam" we will be rewarded ten times. Hence we should strive to not lose out on obtaining all these good things. We should love the Prophet, sallallahu 'alayhi wasallam, more than ourselves, our families, our parents or our children.

conclusion

There are doubtful matters that a Muslim might face in his/her everyday dealings and activities. This hadith helps the Muslim in dealing with such matters. There is an early ongoing preparation which is needed in such a case - to purify one's heart. There are some actions that can help us achieve this task, like: hayya' (modesty), murakabah (self reckoning), muhasabah (self accountability), dzikr (remembrance of Allah), and as-Salatu 'ala an-Nabi, sallallahu 'alayhi wasallam. These are things that, insha Allah, can help us and enlighten and purify our heart, and also help us to identify and avoid the doubtful matters - this is the main point, the key, the principle of the hadith.

"Beware; in the body there is a flesh; if it is sound, the whole body is sound, and if it is corrupt, the whole body is corrupt, and behold, it is the heart."

Sunday 19 July 2015

Mengenali Keilmuan al-Qur’an dan al-Sunnah Imam al-Ghazali (2)

Mengenali Keilmuan al-Qur’an dan al-Sunnah Imam al-Ghazali (2)

Sambungan artikel PERTAMA

Oleh: Kholili Hasib

ADAPUN hadits-hadits dhaif dalam kitab Ihya Ulumuddin, bukanlah suatu masalah besar. Kitab Ihya bukanlah kitab hukum, tapi termasuk kitab akhlak dan adab  dan penggunaan hadits-hadits dhaif dalam kitab seperti ini tidak tercela. Bahkan hadits-hadits shahih dan hasan dalam kitab Ihya’ lebih banyak daripada hadits dhaif. Kitab-kitab para ulama lainnya pun tidak sepi dari hadits-hadits dhaif. Imam Bukhari (w. 256 H.) mempunyai kitab Adab al-Mufrad yang juga memuatkan hadits-hadits dhaif. Sebab, hadits dhaif untuk masalah akhlak tidak bermasalah dan tidak dipermasalahkan oleh para ulama.

Imam al-Ghazali pada masa-masa sebelum wafat ternyata menekuni ilmu hadits lebih dalam lagi, melebihi pengkajian ilmu hadits pada masa sebelumnya. Ini semata didasarkan pada prinsip kebutuhan pada zaman itu dimana beliau telah terangkan tentang ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Dimana fardhu ‘ain mendahului fardhu kifayah. Beliau memang tidak terlalu menonjol dalam ilmu hadits tapi adalah salah jika dikatakan beliau tidak faham ilmu hadits. Jika beliau tidak faham ilmu hadits para ulama sudah pasti tidak memberinya gelar al-faqih. Ada yang menyebut, umpama beliau lebih dipanjangkan ilmunya kemungkinan beliau menjadi ahli hadits yang meriwayatkan hadits.

Hari ini umat kita dirasuki kesombongan. Menyamakan keadaan dirinya dengan para ulama. Termasuk menyamakan terminologi yang melekat pada para ulama dahulu dengan diri kita yang masih miskin ilmu. Jika dikatakan Syaikh fulan tidak menonjol dalam suatu ilmu, tidak serta merta itu berarti sama dengan kita yang juga tidak menonjol dalam suatu ilmu tersebut. Imam al-Ghazali pernah mengajar ilmu hadits, lalu disamakan dengan kita yang juga mengajar ilmu hadits. Inilah yang dinamakan loss of adab. Pembandingan yang jauh dari sifat adil.

Terhadap keilmuan imam al-Ghozali ini para ulama banyak yang memujinya. Syaikh al-Habib Abullah al-Aidarus mengatakan para ulama sepakat bahwa kitab-kitab imam la-Ghazali merpakan inti dari al-Qur’an dan al-Sunnah serta inti dari manqul dan ma’qul (Zain bin Sumaith,al-Manhaj al-Sawiy,hal. 407). Imam Nawawi pun memuji Ihya Ulumuddin, katanya hampir-hampir kitab Ihya itu seperti al-Qur’an. Semata-mata dikarenakan kelengkapan kandungan dari kitab Ihya Ulumuddin.

Imam al-Ghazali pernah mendapatkan tuduhan tidak baik karena konon katanya tidak menyerukan jihad. Imam al-Ghazali lebih menekankan jihad al-nafs bukan berarti beliau menganggap jihad qital (perang) tidak penting. Posisi ini dijelaskan oleh Adian Husaini, dia menulis: “Posisi al-Ghazali dalam soal jihad – bahwa ia juga sangat menekankan pentingnya jihad dalam makna qital – menjadi jelas jika menelaah Kitab Jihad yang ditulis oleh Syeikh Ali al-Sulami. Dalam naskah kitab yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa jihad adalah fardhu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara-negara terdekat, seperti Suriah, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Suriah dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Suriah untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai” (Baca: Adian Husaini dalam Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi,13).

Kita sebenarnya bisa menyimpulkan bahwa titik tolak reformasi Imam al-Ghazali ini tidak berangkat dari politik dan militer. Melainkan memulainya dengan islah al-dzati, reformasi pemikiran internal dan akidahnya.

Hari ini, kerusakan umat muara sebenarnya berasal dari kerusakan pemikiran yang ditimbulkan oleh kerusakan hati. Inilah yang menyebabkan faktor kerusakan ilmu dan adab.

Di masa saat ini, umat Islam membutuhkan imam al-Ghazali. Dr. Majid Irsan Kilani dalam bukunya, Hakadza Dzahara Jil Shalah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds (Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib) mengatakan sejumlah ulama yang tidak boleh disingkarkan perannya yang signifikan dalam kemenangan merebut al-Quds pada perang Salib adalah; imam al-Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Qudamah al-Maqdisi dan lain-lain.

Imam al-Ghazali, patut dicontoh metode islahnya (reformasi). Keduanya tidak hanya konsentrasi kepada menyerang virus eksternal, namun juga melakukan reformasi internal. Keduanya mengikis virus yang menggerogoti imunitas internal umat Islam. Memang, tidak Nampak keduanya menyiapkan pasukan militer. Tapi justru kekuatan  terbentuk berkat keberhasilan membersihkan ‘penyakit’ yang ada di dalam umat Islam. untuk mengoreksi keilmuan umat Islam seperti itu, jelas saja tidak mungkin Imam al-Ghazali tidak menguasai al-Qur’an dan al-Sunnah.*

Penulis adalah pengurus MIUMI Jawa Timur

 

Rep: Admin Hidcom
Editor:

Mengenali Keilmuan al-Qur’an dan al-Sunnah Imam al-Ghazali [1]

Mengenali Keilmuan al-Qur’an dan al-Sunnah Imam al-Ghazali [1]

Oleh: Kholili Hasib

HUJJATUL Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali (450-550 H) merupakan tokoh sentral Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada abad ke-5 H yang dikenal ulung dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Imam al-Subki dalam Thabaqat al-Syafi’iyah memujinya dengan mengatakan, dia adalah pribadi yang cerdas, berpandangan jitu, pikirannya kuat, cerdik dan mendalam dalam ilmu-ilmu ma’ani (al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah,VI hal. 96).

Beliau hidup pada masa umat Ahlus Sunnah mengalami berbagai macam tantangan dan kemunduran yang serius. Ia dikenang para ulama setelahnya setelah membangkitkan umat Islam dengan mengajarkan karya monumental Ihya Ulumuuddin menyeru untuk diamalkan. Dengan modal keahlian dalam berbagai displin ilmu keilsaman yang ia kuasai, karya-karyanya menjadi pilar kebangkitan Islam. Imam al-Suyuthi menulis, al-Ghazali adalah mujaddid (pembaharu) abad ke-lima.

Pembaharuan yang dilakukan oleh Imam al-Ghazal dimulai dengan perbaikan ilmu pengetahuan. Inilah ciri khas beliau. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin II beliau mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.” (Imam al-Ghazali,Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).

Sebagai seorang mujaddid, tingkat keilmuan imam al-Ghazali tidak bisa dipandang remeh. Al-Manawi berpendapat bahwa, sebagian ulama salaf mengatakan bahwa seorang mujaddid harus pula seorang mujtahid (al-Manawi,Faidhul Qadhir Juz I, hal. 10). Seorang mujtahid tentunya diharuskan menguasai berbagai ilmu-ilmu alat dalam berijtihad, khususnya ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah.

Dalam kapasitasnya sebagai ulama, ia berusaha mengungkapkan kebenaran dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang perlu ditempuh dan mana yang perlu dihindari. Ia menunjukkan kesalahan-kesalahan mendasar pada paham-paham tertentu yang berkembang di dunia Islam. Seperti mengoreksi falafah Yunani, kebatinan kaum Bathiniyah (Syiah), Kalam Mu’tazilah dan penyimpangan tasawwuf.

Dalam mengkritik ilmu kalam kaum Mu’tazilah, imam al-Ghazali telah meletakkan landasan fundamental, yaitu metode yang benar untuk menganalisis masalah-masalah akidah dan dalil-dalinya, seperti metode al-Qur’an. Imam al-Ghazali menandaskan bahwa argumentasi-argumentasi logis dalam al-Qur’an cukup bagai akal dan fitrah yang sehat. Ia menggambarkan, ayat al-Qur’an itu bagaikan air yang dimanfaatkan oleh baik bayi maupun orang dewasa.  Beliau berhasil mematahkan logika-logika falsafah Yunani dan kalam Mu’tazilah dengan baik. Para ulama setelahnya banyak yang mengambil faidah dari metode mantiq-nya.

Tentang interaksi dengan al-Qur’an, imam al-Ghazali memberi masukan-masukan agar umat Muslim tidak tertipu dalam mu’amalah dengan al-Qur’an. Bahwa al-Qur’an itu bukan sekedar huruf-huruf namun makna-maknanya. Melafadzkan huruf harus benar dan sekaligus memahami makna di dakandungnya.

Anjuran untuk memperbanyak bacaan al-Qur’an juga beliau sampaikan dalam kitab Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali menulis contoh para Sahabat Nabi Saw ada yang mengkhatamkan al-Qur’an sekali setiap pekan, seperti Sahabat Ustman bin Affan, Zain bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, dan Ubay bin Ka’ab. Beliau mengajurkan untuk menghkatamkan al-Qur’an tiap pekan sekali atau dua kali. Bagi beliau khatam sekali sepekan ini merupakan tengah-tengah (Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin I, hal. 325).

Kedalaman tentang ilmu al-Qur’an dapat disimak dari nasihatnya.Beliau berpendapat bahwa ada sekeompok orang yang tertipu dengan bacaan al-Qur’an. Mereka membanggakan dengan kehebatan melafadzkan huruf namun lalu atau lupa maksud ayat yang dikandungnya.

Menurut imam al-Ghazali, mereka  tidak memikirkan makna-makna ayat al-Qur’an, tidak memahami ayat-ayat tentang perintah dan larangan serta tidka mengambil ibrah dari tempat-tempat yang memberikan pelajaran (Imam al-Ghazali,al-Kasyf wa al-Tabyin fi Ghururi al-Khalqi Ajma’in, 305).

Imam al-Ghazali sangat mengecam orang secara sembarangan menafsirkan al-Qur’an tanpa ilmu dan metode ulama. Dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin beliau menulis bab Fi Fahmi al-Qur’an wa Tafsirihi bil Ra’yi min Ghairi Naqli. Di dalamnya diterangkan dua larangan ketika menafirkan al-Qur’an. Pertama, menafsirkan ayat al-Qur’an mengikuti pikiran dan hawa nafsunya dengan tujuan membenarkan pendapatnya dan bid’ahnya. Seseorang telah memiliki suatu pikiran lalu mencari-cari landasan al-Qur’an agar supaya pemikirannya yang mengandung bid’ah diterima orang. Dipaksakan untuk dicocok-cocokkan. Kedua, tidak terburu-buru menafsirkan dzahir ayat al-Qur’an. Khususnya, ayat-ayat gharib (lafadz asing) yang tidak bisa langsung dimaknai secara literal (Imam al-Ghazali,Ihya Ulumuddin juz I, hal. 343).

Secara khusus beliau juga menulis kitab Qanun al-Takwil (Kaidah Menakwilkan). Di dalam kitab ini imam al-Ghazali menyeimbangkan antara manqul (teks) dan ma’qul (akal) dalam memahami al-Qur’an. Banyak orang yang terjebak pada ekstrimisme untuk memasung teks demi rasionya. Atau memasung teks demi rasionya. Di sinilah imam al-Ghazali menjelaskan kaidah-kaidah yang tepat sesuai al-Qur’an dan al-Sunnah. Keseimbangan antara manqul dan ma’qul inilah kelebihan kitab ini. Tulisan-tulisan tersebut sudah cukup menunjukkan kedalaman ilmu al-Qur’an imam al-Ghazali.

Dalam ilmu hadits, ada beberapa yang meremahkan. Sebagai seorang mujtahid, mustahil rasanya beliau tidak memahami ilmu hadits. Beliau dikenal seorang faqih, menulis kitab Al-Mustashfa fi ilmil Ushul. Salah satu perangkat dasar dalam ijtihad bidang fikih adalah penguasaan ilmu hadits.

Memang, beliau tidak menulis tentang ilmu hadits, dan dikatakan relative kurang menonjol dalam bidang hadits. Peniliaian ini lebih tepat jika dibandingkan dengan penguasaan beliau terhadap ilmu-ilmu lain dan dibandingkan dengan para pakar ahli hadi seperti imam Syafii, imam Maliki dan imam Bukhari.

Namun, jika kita perhatikan beliau punya guru-guru hadits yang berisnad. Sedang sanad dalam ilmu hadits ini merupakan sesuatu yang niscaya untuk menguasai ilmu hadits. Sanadnya bersambung kepada para perawi-perawi terdahulu. Sedangkan, hari ini sanad ilmu hadits merupakan sesuatu yang tidak mudah didapat. Dikhabarkan juga bahwa beliau pernah mengajar hadits di madrasah Nidzamiyah.

Dalam menyikapi hadits palsu beliau berpendapat bahwa banyak orang menyangka dibolehkan membuat hadits palsu untuk fadhilah amal atau untuk menakut-nakuti agar tidak bermaksiat, dan mereka berpendapat bahwa hal ini dapat dibenarkan padahal, kata imam al-Ghazali, ancaman membuat hadits palsu itu berar seperti sabda Nabi Saw: “Barangisapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka”.  * (bersambung)

Penulis adalah pengurus MIUMI Jawa Timur

Rep: Admin Hidcom
Editor:

Sikap Syeikh Ali Jumah terhadap Syiahisasi di Negeri Sunni

Sikap Syeikh Ali Jumah terhadap Syiahisasi di Negeri Sunni

Syeikh Ali Jumah
Oleh: Mahmud Budi Setiawan

“اتَّقُوا اللهَ فِيْنَا وَفِيْ أَنْفُسِكُمْ…أَنَّنَا نُحِبُّ أَهْلَ الْبَيْتِ…خُطَطُكُمْ لِتَحْوِيْلِ أَهْلِ السُّنَّةِ إِلَى شِيْعَة فِي مِصْرَ لَنْ تُفْلِحَ أَبَدًا”.

 “Bertakwalah pada Allah baik pada diri kita maupun kalian. Kita sama-sama mencintai Ahlul Bait. (Namun)Usaha kalian dalam menyebarkan ideologi Syi`ah di Mesir, tidak akan berhasil selamanya.”

Begitulah petikan dari Syeikh Ali Jum`ah ketika masih menjadi Mufti Mesir, yang penulis dapat dari situs resmi Dār Al Iftā` Mesir.

Syeikh Ali Jumah  mengingatkan, ‘penyebaran idielogi Syiah di wilayah Sunni hanya akan membuat stabilitas keamanan masyarakat terganggu.

Statemen ini beliau katakan dalam Aula Muhammad Abduh, ketika sedang menyampaikan kuliah yang diselenggarakan Majma` Buhuts Al Islami di Al-Azhar sebagai peringatan atas bahaya pemikiran Syi`ah(9 Oktober 2012).

Ada lima poin penting yang beliau paparkan mengenai perbedaan mendasar Syiah dengan Sunni.

Pertama, akidah al-badā` (idiologi Syi`ah yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan sesuatu kemudian mengubah pendapatnya dan menarik kembali keputusannya. Pendapat ini sangat ditentang Ahlu Sunnah).

Kedua, tahrīf (penyimpangan) Al Qur`an. Syiah meyakini, dalam Al Qur`an yang diyakini oleh Ahlus Sunnah ada tahīf-nya. Ada ulama Syi`ah yang bernama Syaikh An-Nuri sampai mengarang kitab yang berjudul: “Fashlu al-Khithāb fī Tahrīfi Kitābi Rabbi al-Arbāb (Penjelasan tentang penyimpangan dalam Kitab Al Qur`an)”. Pandangan ini sangat ditolak oleh Sunni.

Ketiga, perbedaan terkait mengenai keadilan sahabat serta celaan mereka terhadap sahabat-sahabat yang mulia.

Banyak sekali bukti tertulis dalam kitab-kitab mereka yang mencela para sahabat. Ada sekitar 110 jilid kitab rujukan inti Syi`ah yang lima di antaranya mencela para sahabat nabi, yang kemudian berusaha dilenyapkan agar mereka tidak mendapat pertentangan dari yang lain.

Keempat, perbedaan terkait masalah taqiyah.

Menurut Syeikh Ali Jumah, Syiah tidak segan-segan melakukan kebohongan demi membela pendapatnya. Sedangkan Ahlus Sunnah mengecam keras hal itu.

Kelima, Ahlus Sunnah tidak mengakui kemaksuman seorang pun kecuali para nabi. Adapun Imam Ahlul Bait mereka memang takwa dan berilmu, namun tidak sampai maksum dan bukan sebagai sumber hukum. Demikianlah beberapa poin penting yang disampaikan beliau dalam kuliahnya.

Sebenarnya banyak sekali usaha yang menginginkan terjadinya rekonsiliasi antara paham Ahlus Sunnah dan Syiah.

Di antara ulama yang berusaha mewujudkannya: Syeikh. Mahmud Syaltut, Syeikh, Manshur Rajab, Syaikh. Abdul Aziz Isa, Syeikh Al-Baquri, bahkan Syeikh Yusuf Al-Qardhawi dan masih banyak yang lainnya.

Hanya saja usaha ini menjadi sia-sia lantaran dilanggar sendiri oleh Syiah yang jelas-jelas memiliki ideologi berbeda dengan Ahlus Sunnah.

Kalau antara Syiah dan Sunni memang bisa benar-benar menyatu, maka tidak mungkin dalam sejarah pahlawan sekaliber Nuruddin Mahmud Zanki, Asaduddin Syirkuh, Imam Al-Ghazali dengan madrasah Nidhamiyahnya, Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang notabene merupakan bagian dari Ahlus Sunnah –secara bertahap dan bijak- mengubah ideologi Al-Azhar (atau Mesir) dari Syiah menjadi Sunni kembali (baca: Muhammad Shallābi, Shalāhuddīn al-Ayyūbi wa juhūduhu fī al-Qaḍā `ala al-Daulah al-Fāṭimiyah wa Tahrīri Baiti al-Maqdis).

Sikap ulama Mesir terhadap Syiah –baik tempo dulu maupun sekarang- semestinya bisa menjadi pelajaran berharga bagi Bangsa Indonesia untuk mewaspadai ideologi Syiah.

Bagaimana mungkin minyak dan air bisa menyatu? Kalau ideologi ini dibiarkan berkembang, maka sangat mungkin terjadi apa yang dipaparkan oleh Syaikh Ali Jum`ah bahwa penyebaran Syi`ah dalam komunitas Sunni hanya akan merusak stabilitas keamanan. Semoga kita bisa terhindar dari fitnah besar ini. Wallāhu a`lam.*

Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang notabene merupakan bagian dari Ahlus Sunnah –secara bertahap dan bijak- mengubah ideologi Al-Azhar (atau Mesir) dari Syiah menjadi Sunni

Penulis alumni PKU VIII UNIDA Gontor 2014

Rep: Admin Hidcom
Editor:

Sya’ban Bulan yang Dilalaikan Manusia

Sya’ban Bulan yang Dilalaikan Manusia

Oleh: Salim A Fillah

Sya‘ban adalah bulan ke-8 dalam Hijriah, terletak antara 2 bulan yang dimuliakan yakni Rajab & Ramadhan. Tentangnya RasuluLlah bersabda:

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاس عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ

Sya‘ban; bulan yang sering dilalaikan insan; antara Rajab dan Ramadhan.

 وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Sya‘ban adalah bulan di mana amal-amal diangkat kepada Rabb Semesta Alam; maka aku suka jika amalku diangkat, sedang aku dalam keadaan puasa. ” (HR. Ahmad dan Nasa’i)

Karena itu, berdasar riwayat shahih disebutkan bahwa RasuluLlah SAW berpuasa pada sebagian besar hari di bulan Sya‘ban. ‘Aisyah berkata:

 فَما رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Tak kulihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam menyempurnakan puasanya dalam sebulan penuh, selain di bulan Ramadhan. Dan tidak aku lihat bulan yang beliau paling banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya‘ban“. (HR Al Bukhari & Muslim).

Dalam Shahih Al Bukhari (1970) ada tambahan dari ‘Aisyah: “Tidak ada bulan yang Nabi SAW lebih banyak berpuasa di dalamnya selain bulan Sya‘ban. Sesungguhnya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” Maksud hadits: beliau berpuasa pada sebagian besar hari-hari bulan Sya‘ban, sebagaimana banyak riwayat lain yang menyatakan demikian.

Dalam ungkapan bahasa Arab, seseorang bisa mengatakan ‘berpuasa sebulan penuh’ padahal yang dimaksud adalah berpuasa pada sebagian besar hari di bulan itu.’ Demikian keterangan Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dalam Fathul Bari, 4/213.

Maka berpuasa di bulan Sya‘ban adalah utama, karena: ’Amal-’amal manusia (secara tahunan) sedang diangkat ke hadapan Allah Subhanahu Wata’ala.  Sya‘ban ialah bulan yang disepelekan; beramal dan  menghidupkan syi’ar di saat manusia lain lalai memiliki keutamaan tersendiri. Selain kedua hal itu, puasa di bulan Sya‘ban juga dimaknai sebagai: Penyambutan dan pengagungan terhadap datangnya bulan Ramadan.

Karena ibadah-ibadah yang mulia, umumnya didahului oleh pembuka yang mengawalinya; Haji diawali persiapan Ihram di Miqat, Shalat juga diawali dengan bersuci, berwudhu’, dan persiapan-persiapan lainnya yang dimasukkan dalam syarat-syarat shalat.

Hikmah lain: puasa di bulan Sya‘ban akan membuat tubuh mulai terbiasa untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan dengan optimal. Sebab sering di awal Ramadhan banyak daya dan  waktu habis untuk penyesuaian diri; padahal tiap detik bulan mulia sangat berharga.

Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim mencantumkan pendapat: puasa Sya‘ban seumpama sunnah Rawatib (pengiring) bagi puasa Ramadhan. Untuk shalat; ada rawatib qabliyah dan ba’diyah. Untuk Ramadhan, qabliyahnya; puasa Sya‘ban dan  ba’diyahnya; puasa 6 hari di bulan Syawal. Keutamaan Sya‘ban bisa kita lihat di: Tahdzib Sunan Abu Dawud, 1/494, Latha’iful Ma’arif, 1/244.

Nah, bagaimana tentang Nishfu Sya’ban?

Hadits-hadits terkait Nishfu  Sya‘ban ini sebagian dikategorikan dha’if (lemah), bahkan sebagian lagi dikategorikan maudhu’ (palsu). Utamanya hadits yang mengkhususkan ibadah tertentu atau yang menjanjikan jumlah dan  bilangan pahala atau balasan tertentu.

Tetapi, ada sebuah hadits yang berisi keutamaan malam Nisfhu Sya‘ban yang bersifat umum, tanpa mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu.

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allah memeriksa pada setiap malam Nisfhu Sya‘ban. Lalu Dia mengampuni seluruh makhluk-Nya, kecuali yang berbuat syirik atau yang bertengkar dengan saudaranya.” (HR Ibnu Majah (1390)).

Dalam Zawa’id-nya, riwayat ini dianggap dha’if karena adanya perawi yang dianggap lemah. Tetapi, Ath Thabrani juga meriwayatkannya dari Mu’adz ibn Jabal dalam Mu’jamul Kabir (215) . Ibnu Hibban juga mencantumkan hadits ini dalam Shahihnya (5665), begitu pula Imam Ahmad mencantumkan dalam Musnadnya (6642). Al-Arna’uth dalam ta’liqnya pada dua kitab terakhir berkata, “SHAHIH dengan syawahid (riwayat-riwayat semakna yang mendukung).”

Al-Albani juga menilai hadits Nishfu Sya‘ban ini SHAHIH {Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1144), Shahih Targhib wa Tarhib (1026)} Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun malam Nishfu Sya’ban, di dalamnya terdapat KEUTAMAAN.” (Mukhtashar Fatawa Mishriyah, 291)

Karena itu, ada sebagian ulama salaf dari kalangan TABI’IN di negeri Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan  Luqman bin Amir yang menghidupkan malam tersebut dengan berkumpul di masjid-masjid untuk melakukan ibadah tertentu pada malam Nishfu Sya‘ban.

Dari merekalah kaum muslimin mengambil kebiasaan itu. Imam Ishaq ibn Rahawayh menegaskannya dengan berkata, “Ini BUKAN BID’AH!”.‘Ulama Syam lain, di antaranya Al-Auza’i, TIDAK MENYUKAI perbuatan berkumpul di masjid untuk shalat dan berdoa bersama di Nishfu Sya‘ban.

Tetapi beliau -dan ‘ulama yang lain- MENYETUJUI keutamaan shalat, baca Al Quran dll. pada Nishfu Sya‘ban jika dilakukan sendiri-sendiri. Pendapat ini yang dikuatkan Ibn Rajab Al-Hanbali (Latha’iful Ma’arif, 151) dan  Ibn Taimiyah (Mukhtashar Fatawa Al Mishriyah, 292)

Adapun ‘ulama Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Mulaikah, dan  para pengikut Imam Malik menganggap hal terkait Nishfu Sya‘ban sebagai bid’ah.

Tapi kata mereka; qiyamullail sebagaimana tersunnah pada malam lain dan  puasa di siangnya sebab termasuk Ayyamul Bidh ialah baik.

Demikian agar perbedaan pendapat ini difahami dan  tak menghalangi kita untuk melaksanakan segala ‘amal ibadah utama pada bulan Sya‘ban. Bulan Sya‘ban adalah juga kesempatan tuk meng-qadha’ hutang puasa Ramadhan kemarin sebelum datangnya Ramadhan berikut. ‘Aisyah berkata:

كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فما أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شعبَان، الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ

“Aku punya hutang puasa Ramadan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya‘ban, karena sibuk melayani Nabi”. (HR Al Bukhari-Muslim)

Imam An Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 8/21) & Ibn Hajar (Fathul Bari, 4/189) menjelaskan; dari hadits ‘Aisyah ini disimpulkan: Jika ada ‘udzur, maka qadha’ puasa bisa diakhirkan sampai bulan Sya‘ban. Tanpa ‘udzur, menyegerakannya di bulan Syawal dst lebih utama.

Sya‘ban: Bagaimana jika lalai; tanpa ‘udzur, hutang puasa belum terbayar, tapi Ramadhan baru telah datang? Jumhur ‘ulama berpendapat:

Dia harus beristighfar atas kelalaiannya pada kewajiban itu dan harus bertekad untuk segera meng-qadha’-nya setelah Ramadhan ini.

Menurut mereka, tiada kewajiban khusus selain hal itu. Tetapi sebagian ‘ulama berpendapat agar si lalai menambahkan 1 hal lagi.  Yakni mengeluarkan 1/2 Sha’ makanan pokok (+/- 1,5 kg) untuk tiap hari yang terlalai belum dibayar hutang puasanya tahun lalu.

Ini sebagai pengingat atas kelalaiannya dan dia harus tetap mengganti puasa yang terlalai diganti tahun ini pada tahun depannya. Ini berdasar ijtihad beberapa sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Tak ada nash khususnya, tetapi ijtihad ini dianggap baik. (Fathul Bari, 4/189)

Jika masuk bulan Sya‘ban, hendaknya kita saling mengingatkan (juga terutama pada kaum wanita) yang punya hutang puasa agar ditunaikan.

Sehari atau 2 hari terakhir Sya‘ban dinamakan Yaumusy-Syakk (hari keraguan), sebab ketidakjelasan apa sudah masuk Ramadhan atau belum.

Nabi bersabda: لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إلاَّ رَجُلاً كَانَ يَصُومُ صَوْماً فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali seseorang yang (memang seharusnya/biasanya) melakukan puasanya pada hari itu. Maka hendaklah ia berpuasa.” {HR Al Bukhari & Muslim}

Maknanya; terlarang tuk sengaja mengkhususkan berpuasa pada Yaumusy Syakk. Tetapi boleh bagi yang HARUS (nadzar, qadha’, dll) dan boleh juga yang BIASA (karena puasa Dawud, bertepatan Senin/Kamis, dll). Hikmah pelarangan itu sekedar sebagai pemisah antara puasa Ramadhan yang fardhu dengan puasa sebelum/sesudahnya yang sunnah. (Syarh Muslim 7/194, Latha’iful Ma’arif 151)

Demikian Shalihin dan shalihat bincang kita tentang Sya‘ban.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَعْبَانَ وَوَفِّقْنَا فِيهِ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah; berkahi kami di bulan Sya’ban, karuniakan taufiq pada kami di dalamnya, & sampaikan kami ke bulan Ramadhan.”

Salim A Fillah adalah penulis buku Lapis Lapis Berkah. Twitter @salimafillah

 

Rep: Admin Hidcom
Editor: Huda Ridwan

AMALAN UTAMA BULAN SYAWWAL

AMALAN UTAMA DI BULAN SYAWAL

Oleh

DR.H.Achmad Zuhdi Dh, M.Fil I

         Mempertahankan kebiasaan baik amaliah Ramadhan, pada bulan Syawwal dan bulan-bulan seterusnya adalah tanda-tanda berhasilnya amalan ibadah selama Ramadhan. Allah Swt berfirman:

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا

 “Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapatkan petunjuk, dan amal-amal salih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik sesudahnya. (QS.Maryam,76).

Beberapa amalan positif selama Ramadhan yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan adalah (1) amalan shalat, dalam hal ini adalah membiasakan shalat berjamaah lima waktu di masjid, membiasakan shalat malam (tahajjud) setiap hari, dan membiasakan shalat-shalat sunnah lainnya; (2) amalan puasa (shaum), dalam hal ini adalah membiasakan berpuasa sunnah, seperti puasa Syawwal, puasa Arafah, puasa Asyura, puasa Senin-Kamis, dan puasa-puasa sunnah lainnya; (3) amalan sedekah; (4)  amalan tilawah al-Qur’an; dan (5) amalan thalabul ilmi, gemar menghadiri majelis ilmu.

Khusus di bulan Syawal, beberapa amalan yang disyariatkan antara lain (1) Membayar zakat fitrah sebelum shalat Idul fitri; (2)  Bertakbir dan bertahmid; (3) Melaksanakan Shalat Idul Fitri; (4) Mengucapakan tahni’ah dengan ucapan “taqabbalallahu minna wa minkum”; (5) membantu orang susah, menyantuni anak yatim dan orang miskin; dan (6) Puasa Syawal enam hari.
           
Tentang puasa Syawal, adalah berpuasa selama enam hari setelah tanggal satu Syawwal. Dalam hal ini bisa dimulai dari tanggal dua dan seterusnya selama di bulan Syawwal. Di antara keistimewaan puasa pada bulan Syawwal adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW sebagai berikut:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan  berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia akan dapat pahala seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim dari Abu Ayub al-Anshari)

Pada hadis ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang sependapat dengan mereka. (al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VIII/56). Tentang bagaimana cara melaksanakannya, lebih lanjut al-Nawawi  mengatakan, “Para ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa yang paling afdhol (utama) dalam melakukan puasa syawal adalah secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa Ramadhan.”

Tentang hikmah melakukan puasa enam hari di bulan Syawal, Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya: (1) Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh; (2) Puasa Syawal dan puasa Sya’ban adalah seperti halnya shalat rawatib qabliyah dan ba’diyah (shalat sunnah sebelum atau seudah shalat wajib lima waktu). Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti akan menyempurnakannya; (3) Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik pada amalan shalih selanjutnya. Allah Swt berfirman:

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
 
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk,  Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya (QS. Muhammad, 17)

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan. Karena Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang telah lalu,  maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan puasa sunnah setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Ibn Rajab, Latho’if Al Ma’arif, I/244).

Wallahu a'lam bishshawab !

Diposkan oleh zuhdidh di 09.38

Wednesday 15 July 2015

FADHILAH SHOLAT TARAWIH

4374. SHOLAT : FADHILAH SHOLAT TARAWIH

Rabu, 03 Juni 20150 komentar

Oleh: Yai Em Baiquni & Yai Moh. Ilhamudin

FADHILAH SHOLAT TARAWIH
=====================

malam pertama

عن على بن ابى طالب رضى الله تعالى عنه انه قال سئل النبى عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح فى شهر رمضان فقال يخرج المؤمن من ذنبه فى اول ليلة كيوم ولدته امه

diriwayatkan dari ali bin abi tholib Ra.bahwa sesungguhnya ali berkata
Nabi alaihis sholatu was salamu ditanya tentang keutamaan tarowih dibulan romadlon.
maka Nabi menjawab
"pada malam pertama kluarlah dosa orang mukmin (yang melakukan tarawih)
sebagaimana ibunya melahirkan ia didunia
------

malam ke 2

وفى الليلة الثانية يغفر له ولأبويه ان كان مؤمنين

pada malam yang ke 2
orang yang sholat tarawih akan diampuni dosanya dan dosa ke-2 orang tuanya jika keduanya mukmin

-----

malam ke 3

وفى الليلة الثالثة ينادي ملك من تحت العرش استأنف العمل غفر الله ما تقدم من ذنبك

pada malam yang ke 3
malaikat dibawah arasy berseru,mulailah melakukan amal kebaikan (sholat tarawih)
maka ALLOH akan mengampuni dosamu
------

malam ke 4

وفى الليلة الرابعة له من الاجر مثل قراءة التورات والانجيل والزبور والفرقان

pada malam yg ke 4
bagi yg melakukan tarawih dapat pahala sebagaimana pahala orang yg membaca kitab taurot,injil,zabur dan alqur'an
-----

malam ke 5

وفى الليلة الخامسة اعطاه الله تعالى مثل من صلى فى المسجد الحرام و المسجد المدينة والمسجد الاقصى

pada malam yg ke 5
ALLOH memberikan pahala bagi yg tarawih sebagaimana pahalanya orang yg sholat
dimasjidil harom,masjid madinah/nabawi dan masjidil aqsho
-----

malam ke 6

وفى الليلة السادسة اعطاه الله تعالى ثواب من طاف بالبيت المعمور ويستغفر له كل حجر ومدر

pada malam yg ke 6
ALLOH memberikan pahala pada yg bertarawih sebagaimana pahalanya orang yg thowaf dibaitul makmur dan setiap batu dan tanah memintakan ampunan padanya
------

malam ke 7

وفى الليلة السابعة فكأنما ادرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان

pasa malam yg ke 7
yg melakukan tarawih seakan-akan menemui zaman nabi Musa as dan menolongnya dari serangan fir'aun dan haman
-------

malam ke 8

وفى الليلة الثامنة اعطاه الله تعالى ما اعطى ابراهيم عليه السلام

pada malam yg ke 8
ALLOH akan memberi anugrah sebagaimana anugrah yg diberikan pada Nabi Ibrohim alaihis salam
-------

malam ke 9

وفى الليلة التاسعة فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبى عليه الصلاة والسلام

pada malam yg ke 9
seolah2 orang yg tarawih beribadah pada ALLOH sebagaimana ibadahnya para Nabi alaihis sholatu was salam
-------

malam ke 10

وفى اليلة العاشرة يرزقه الله تعالى خيرى الدنيا والآخرة

pada malam yg ke 10
ALLOH akan memberi rizki yg lebih bagus didunia maupun akhirat bagi yg tarawih
-------

malam ke 11

وفى الليلة الحادى عشرة يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن امه

pada malam yg ke 11

orang yg tarawih kelak ia akan keluar dari dunia (mati) seperti hari dimana ia baru dilahirkan dari perut ibunya
-------

malam ke 12

وفى الليلة الثانية عشرة جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر

pada malam yg ke 12

pada saat hari kiamat datang wajahnya orang yg tarowih bersinar bagaikan rembulan dimalam purnama
-----

malam ke 13

وفى الليلة الثالثة عشرة جاء يوم القيامة أمنا من كل سوء

Pada malam yang ke 13

pada saat hari kiamat tiba orang yg tarawih akan selamat dari segala macam keburukan
------

malam ke 14

وفى الليلة الرابعة عشرة جاءت الملائكة يشهدون له انه قد صلى التراويح فلا يحاسبه الله يوم القيامة

pada malam yg ke 14

malaikat pada menjadi saksi bagi yg tarawih bahwa ia sudah melakukan sholat tarawih maka ALLOH tidak menghisabnya besok dihari kiamat
------

malam ke 15

وفى الليلة الخامسة عشرة تصلى عليه الملائكة وحملة العرش والكرسى

pada malam yg ke 15

para malaikat dan para malaikat penyangga arasy dan para malaikat penjaga kursi kerajaan langit pada memintakan ampunan pada orang yg sholat tarawih
-------

malam ke 16

وفى الليلة السادسة عشرة كتب الله له براءة النجاة من النار وبراءة الدخول من الجنة

pada malam yg ke 16

ALLOH akan mencatat kebebasan selamat dari neraka dan kebebasan masuk surga bagi yg tarawih
-----

malam ke 17

وفى الليلة السابعة عشرة يعطى مثل ثواب الانبياء

pada malam yg ke 17

yg tarawih akan diberi pahala sebagaimana pahalanya para nabi
-----

malam ke 18

وفى الليلة الثامنة عشر نادى ملك ياعبد الله ان الله رضى عنك وعن والديك

pada malam yg ke 18

malaikat telah berseru (pada yg tarawih) wahai hamba ALLOH,sesungguhnya ALLOH telah meridloimu dan ke-2 orang tuamu
------

malam ke 19

وفى الليلة التاسعة عشرة يرفع الله درجاته فى الفردوس

pada malam yg ke 19

ALLOH akan mengangkat derajat-derajat yg tarowih disurga firdaus
-------

malam ke 20

وفى الليلة العشرين يعطى ثواب الشهداء والصالحين

pada malam yg ke 20

orang tarawih akan diberi pahala seperti pahala orang-orang yg mati shahid dan orang-orang sholih
--------

malam ke 21

فى الليلة الحادية والعشرين بنى الله له بيتا فى الجنة من النور

pada malam yg ke 21

ALLOH akan membangunkan rumah disurga yg terbuat dari cahaya untuk yg tarawih
--------

malam ke 22

وفى الليلة الثانية والعشرين جاء يوم القيامة امنا من كل غم وهم

pada malam yg ke 22

jika hari kiamat tiba maka yg tarawih akan selamat dari segala bentuk kesusahan dan kebingungan
---------

malam ke 23

وفى الليلة الثالثة والعشرين بنى الله له مدينة فى الجنة

pada malam yg ke 23

ALLOH akan membangunkan kota didalam surga bagi yg tarawih
-------

malam ke 24

وفى الليلة الرابعة والعشرين كان له اربع وعشرون دعوة مستجابة

pada malam yg ke 24

orang yg tarawih akan memperoleh 24 doa yg mustajab/manjur
------

malam ke 25

وفى الليلة الخامسة والعشرين يرفع الله تعالى عنه عذاب القبر

pada malam yg ke 25
ALLOH akan menghilangkan siksa kubur dari orang yg tarawih
------

malam ke 26.

وَفِى اللَّيْلَةِ السَّادِسَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ يَرْفَعُ اللهُ لَهُ ثَوَابَهُ اَرْبَعِيْنَ عَامًا.

pada malam yg ke 26
ALLOH meningkatkan baginya pahala selama empat puluh tahun.
-----

malam ke 27

وَفِى اللَّيْلَةِ السَّابِعَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ جَازَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ عَلَى الصِّرَاطِ كَاْلبَرْقِ اْلخَاظِفِ.

pada malam yg ke 27
dihari qiyamat dia melewati jembatan (syirathal mustaqiim) dengan mudah lagi cepat laksana halilintar menyambar.
------

malam ke 28

. وَفِى اللَّيْلَةِ الثَّامِنَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ يَرْفَعُ اللهُ لَهُ اَلْفَ دَرَجَةٍ فِى اْلجَنَّةِ.

pada malam yg ke 28
ALLOH mengangkat seribu derajat baginya didalam surga.
-------

malam ke 29

. وَفِى اللَّيْلَةِ التَّاسِعَةِ وَاْلعِشْرِيْنَ أَعْطَاهُ اللهُ ثَوَابَ اَلْفِ حِجَّةٍ مَقْبُوْلَةٍ.

pada malam yg ke 29
ALLOH memberikan kepadnya pahala seribu ibadah haji yang diterima.
------

malam ke 30

. وَفِى اللَّيْلَةِ الثَّلاَثِيْنَ يَقُوْلُ اللهُ " يَاعَبْدِى كُلْ مِنْ ثِمَارِ اْلجَنَّةِ وَاغْتَسِلْ مِنْ مَاءِ السَّلْسَبِيْلِ وَاشْرَبْ مِنَ اْلكَوْثَرِ مِنَ اْلكَوْثَرِ اَنَارَبُّكَ وَاَنْتَ عَبْدِى.

pada malam yg ke 30
ALLOH berfirman :”makanlah buah-buahan surga, mandilah dengan air salsabil dan minumlah dari telaga kautsar, aku adalah Tuhanmu dan Engkau adalah hambaku”.

(Durrotun Nashihin)

walloohu a'lam

ORANG YANG TELAH WAFAT MENDO'AKAN YANG MASIH HIDUP

ORANG YANG TELAH WAFAT MENDO'AKAN YANG MASIH HIDUP
PERTANYAAN

> Ali Fazry

Assalamu'alaikum para ustad dan santri Piss-KTB.Jika salah satu atau keduanya dari orang tua kita meninggal dunia dan kita berziarah kemakamnya dengan tujuan agar orang tua yang sudah meninggal tersebut mendoakan kita yang masih hidup.
Pertanyaannya: bisakah orang yang sudah meninggal mendoakan kita yang masih hidup ?
Mohon pencerahan & refrensi nya.
Terimakasih

JAWABAN

> Santrialit

Wa'alaikum salam

Betul,orang tua yang telah meninggal masih bisa mendo'akan anak cucunya

Rosulalloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda :

إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)

Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.
(HR. Ahmad dalam musnadznya).

Hadits tersebut dimuat diantaranya dalam
- Musnad Imam Ahmad
- Al Hawiy Fatawi Imam Suyuthi

الكتاب : الحاوي للفتاوي للسيوطي

وأما المسألة الثانية وهي علم الأموات بأحوال الأحياء وبما هم فيه فنعم أيضا، روى الإمام أحمد في مسنده ثنا عبد الرزاق عن سفيان عمن سمع أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا وإن كان غير ذلك قالوا اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا" وقال أبو داود الطيالسي في مسنده حدثنا الصلت بن دينار عن الحسن عن جابر ابن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إن أعمالكم تعرض على عشائركم وعلى أقربائكم في قبورهم فإن كان خيرا استبشروا به وإن كان غير ذلك قالوا اللهم ألهمهم أن يعملوا بطاعتك، وروى الطبراني في الأوسط من طريق مسلمة بن علي وهو ضعيف عن زيد بن واقد وهشام بن الغاز عن مكحول عن عبد الرحمن بن سلامة عن أبي رهم عن أبي أيوب الأنصاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أن نفس المؤمن إذا قبضت تلقاها أهل الرحمة من عباد الله كما تلقون البشير من أهل الدنيا فيقولون أنظروا صاحبكم ليستريح فإنه في كرب شديد ثم ليسألونه ما فعل فلان وفلانة هل تزوجت فإذا سألوه عن الرجل قد مات قبله فيقول أيهات قد مات ذاك قبلي فيقولون إنا لله وإنا إليه راجعون ذهبت به إلى أمه الهاوية فبئست الأم وبئست المربية، وقال إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من أهل الآخرة فإن كان خيرا فرحوا واستبشروا وقالوا اللهم هذا فضلك ورحمتك فأتمم نعمتك عليه وأمته عليها ويعرض عليهم عمل المسيء فيقولون اللهم ألهمه عملا صالحا ترضى به وتقربه إليك، ورواه ابن أبي الدنيا في كتاب المنامات عن محمد بن الحسين عن محمد بن إسحاق عن عبد الله ابن المبارك عن ثور بن يزيد عن أبي رهم عن أبي أيوب قال تعرض أعمالكم على الموتى فإن رأوا حسنا فرحوا واستبشروا وإن رأوا سواء قالوا اللهم راجع به، وروى الترمذي الحكيم في نوادر الأصول من حديث عبد الغفور بن عبد العزيز عن أبيه عن جده قال

http://islamport.com/w/ftw/Web/904/840.htm

- Tafsir Ibnu Katsir

{ وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (105) }
قال مجاهد: هذا وَعيد، يعني من الله تعالى للمخالفين أوامره بأن أعمالهم ستعرَضُ عليه تبارك وتعالى، وعلى الرسول، وعلى المؤمنين. وهذا كائن لا محالة يوم القيامة، كما قال: { يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ } [الحاقة: 18]، (1) وقال تعالى: { يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ } [الطارق: 9]، وقال { وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ } [العاديات: 10] وقد يظهر ذلك للناس في الدنيا، كما قال الإمام أحمد:
حدثنا حسن بن موسى، حدثنا ابن لَهِيعة، حدثنا دَرَّاج، عن أبي الهيثم، عن أبي سعيد، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: "لو أن أحدكم يعمل في صخرة صَماء ليس لها باب ولا كُوَّة، لأخرج الله عمله للناس كائنًا ما كان". (2) .
وقد ورد: أن أعمال الأحياء تُعرَض على الأموات من الأقرباء والعشائر في البرزخ، كما قال أبو داود الطيالسي: حدثنا الصلت بن دينار، عن الحسن، عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إن أعمالكم تعرض على أقربائكم وعشائركم في قبورهم، فإن كان خيرًا استبشروا به، وإن كان غير ذلك قالوا: "اللهم، ألهمهم أن يعملوا بطاعتك". (3)
وقال الإمام أحمد: أخبرنا عبد الرزاق، عن سفيان، عمَّن سمع أنسًا يقول: قال النبي صلى الله عليه وسلم: "إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات، فإن كان خيرًا استبشروا به، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم، لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا". (4)
وقال البخاري: قالت عائشة، رضي الله عنها: إذا أعجبك حُسن عمل امرئ، فقل: { اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ } (5) .
وقد ورد في الحديث شبيه بهذا، قال الإمام أحمد:
حدثنا يزيد، حدثنا حُمَيد، عن أنس، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "لا عليكم أن تعجبوا بأحد حتى تنظروا بم يختم له؟ فإن العامل يعمل زمانًا من عمره -أو: بُرهَة من دهره -بعمل صالح لو مات عليه لدخل الجنة، ثم يتحول فيعمل عملا سيئًا، وإن العبد ليعمل البرهة من دهره بعمل سيئ، لو مات عليه دخل النار، ثم يتحول فيعمل عملا صالحًا، وإذا أراد الله بعبد خيرًا استعمله قبل موته". قالوا: يا رسول الله وكيف يستعمله: قال: "يوفقه لعمل صالح ثم يقبضه عليه" (1) تفرد به أحمد من هذا الوجه.

http://quran.ksu.edu.sa/tafseer/katheer/sura9-aya105.html

sumber http://arh789.blogspot.com/.../taushiyah-abah-kh-ahmad...

Wallohu a'lam

LINK ASAL
https: //web.facebook.com/groups/ 196355227053960?view= permalink&id=990958820926926
https://www.facebook.com/notes/pustaka-ilmu-sunni-salafiyah-ktb-piss-ktb/4387-orang-yang-telah-wafat-mendoakan-yang-masih-hidup/991089917580483