Sunday 30 August 2015

Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (1)

Firanda Berdusta Atas Nama Konsesnsus Ulama Tentang Allah Berada di Langit

... Sekelumit Upaya Mengungkap Tipu Muslihat Firanda ...

Oleh: Ustadz Ahmad Syahid

Tulisan warna hitam adalah tanggapan dari Ahmad Syahid, sedangkan yang warna merah adalah tulisan Ustadz Firanda seorang aktifis Wahabi di Indonesia.

Silahkan simak dan teliti sendiri bagi anda yang punya ilmunya....

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.

Sungguh merinding tatkala membaca tulisan-tulisan tentang dimana Allah yang ditulis oleh Abu Salafy dan pemilik blog salafytobat. Karena tulisan-tulisan mereka penuh dengan tuduhan-tuduhan serta manipulasi fakta yang ada. Ternyata mulut-mulut mereka sangatlah kotor. Cercaan dan makian memenuhi tulisan-tulisan kedua orang ini yang pada hakekatnya mereka berdua takut menunjukkan hakekat mereka berdua. Begitulah kalau seseorang merasa berdosa dan bersalah takut ketahuan batang hidungnya. Allahul Musta’aan.

Sesungguhnya apa yang mereka berdua perjuangkan hanyalah lagu lama yang telah dilantunkan oleh pendahulu-pendahulu mereka yang bingung sendiri dengan aqidah mereka.

Maka pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengungkapkan manipulasi fakta yang telah mereka lakukan dan mengungkap kerancuan cara berpikir kedua orang ini.

Dan tulisan kali ini terkonsentrasikan pada pengakuan Abu Salafi cs bahwasanya aqidah mereka tentang dimana Allah adalah aqidah yang disuarakan oleh sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan juga sebagian ulama salaf. Sebagaimana pengakuan mereka ini tercantumkan dalam :http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/ (dalam sebuah artikel yang berjudul : Ternyata Tuhan itu tidak di langit).

Sebelum membantah pengakuan mereka tersebut maka kami akan menjelaskan tentang 3 point yang sangat penting yang merupakan muqoddimah (pengangtar) untuk membuktikan tipu muslihat mereka.

Point-point tersebut adalah :
1. Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa Allah berada di atas.
2. Perkataan para ulama Islam (dari kalangan sahabat, para tabi’iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas sangatlah banyak.
3. Penjelasan bahwa ternyata sebagian pembesar dari para ulama Asyaa’iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di atas langit.

Ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit

Keberadaan Allah di atas langit merupakan konsensus para ulama Islam. Bahkan telah dinukilkan ijmak mereka oleh banyak para ulama Islam. Diantara mereka: ...... dst.

————————

=================

Komentar Ustadz Ahmad Syahid:

Bismilahirohmanirohim, Al-hamdulillah wa sholatu wasalmu `ala Sayyidina wa Mawlana Muhammad Sallallahu alaihi wasallam, wa ala alihi wa shohbihi waman tabi`ahum bi Ihsanin ila yaumiddin, amma ba`du.

Tulisan ini ditulis semata–mata hanya untuk meluruskan pemahaman atas apa yang diklaim oleh Ustadz Firanda dalam situsnya. Andai tulisan ustadz Firanda ini tidak bisa diakses kecuali hanya oleh orang-orang tertentu , niscaya saya tidak akan capai–capai atau repot  membuat bantahan ini. Tulisan ini ditujukan untuk mengungkap apakah benar klaim dan dakwa'an (anggapan) Ustadz Firanda soal :

1.  Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa Allah berada di atas.

2.  Perkataan para ulama Islam (dari kalangan sahabat, para tabi’iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas sangatlah banyak.

3.  Penjelasan bahwa ternyata sebagian pembesar dari para ulama Asyaa’iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di atas langit.

Apakah klim ini benar  atau itu hanya sekedar Klaim kosong yang mengelabui Ummat? Atau sekedar tipu muslihat untuk menyesatkan Ummat? Mari kita lihat, baca dan kaji secermat mungkin agar mendapatkan kesimpulan yang benar,  yaitu kesimpulan yang mengedepankan aspek obyektifitas dan sportifitas demi menemukan kebenaran sejati.

Sebelum membahas lebih lanjut saya ingin menyampaikan beberapa kaidah penting yang digunakan oleh Ulama Ahlu Sunnah Wal-jama'ah ( Asya'irah ) dalam menetapkan Asma dan sifat Allah, sebagai sebuah manhaj atau metodologi dalam memahami kitab dan Sunnah. Hal ini juga untuk memberikan patokan bagi siapa pun yang ingin mengetahui Aqidah Ahlu Sunnah ( asy'ariyah) sehingga tidak menggunakan prasangka dalam memahami pernyataan-pernyataan Ulama asy'ariyah.

Seperti kita ketahui bersama Agama Islam yang kita anut ini, bersandarkan kepada apa yang diriwayatkan (Al-qur'an dan As-sunnah ), sama sekali tidak bersandar kepada akal-akalan, namun tentu saja tanpa membuang pentingnya akal dalam memahami apa yang diriwayatkan. Di samping itu Ulama Asy'ariyah memahami bahwa Agama ini terdiri dari tiga hal utama yang tidak bisa dipisahkan :

1. Masalah pokok/ushul ( Aqidah ) sebagai pondasi dasar.

2. Masalah Furu'  atau cabang atau yang biasa disebut dengan Mua'amalat baik antara hamba dengan Tuhan atau antara hamba itu sendiri.

3. Masalah kamaliyat atau kesempurnaan atau yang biasa disebut dengan Akhlak atau prilaku.

1). Dalam masalah ushul/pokok (Aqidah) Ulama Asy'ariyah hanya menerima riwayat (dalil-dalil) yang bersifat Pasti ( qoth'i) seperti hadist Mutawatir hadits Mustafidh dan Hadits Masyhur.

2). Dalam masalah Furu'  atau cabang atau Mu'amalat Ulama Asy'ariyah di samping menggunakan Riwayat yang Qoth'i juga menggunakan riwayat yang bersifat Dzonni seperti hadits Ahad.

3). Dalam masalah Kamaliyat atau kesempurnaan atau Akhlak dan prilaku di samping menggunakan dua jenis Hadits di atas, Ulama Asy'ariyah juga menggunakan Hadits Dha'if sebagai hujjah dan tentu ada syarat-syarat untuk digunakannya Hadits Dha'if tersebut sebagai Hujjah dalam masalah kamaliyyat.

Dengan kaidah–kaidah ini Ulama Ahlu Sunnah ( Asy'ariyah ) berjalan memahami dan mengamalkan Agama. Terkait dengan tulisan Ustadz Firanda tentang ”keberadaan Allah” Ulama Asy'ariyah hanya menerima Riwayat atau hadits – Hadist yang bersifat Qoth`i (pasti ) baik dari sisi periwayatan maupun dari sisi dalalah (petunjuk dari riwayat),  sebab tulisan Ustadz Firanda ini berkaitan dengan masalah pokok/ushul, masalah yang sangat esensi sebagai Pondasi yang dibangun di atasnya keyakinan-keyakinan.

Mungkin standar Ulama Asy'ariyah ini dibawah standar yang ditetapkan oleh Ulama-Ulama Salafi (Wahabi) dalam memahami Kitab dan Sunnah, karena standar mereka adalah: hanya menggunakan Hadits-Hadits  Shahih serta membuang jauh Hadits–haditst Dha'if meskipun hanya dalam masalah kamaliyyat.  Disamping itu Ulama Ahlu Sunnah (Asy'ariyah) juga berpegang kepada Prinsip ”Al-jam'u wa at-taufiq bainal adillah”  menggabungkan dan menselaraskan  antar dalil sepanjang masih bisa dilakukan penggabungan dan penselarasan (al-jam`u wa at-taufiq) antar dalil atau antar Riwayat sepanjang itu pulalah kewajiban penggabungan dan penselarasan antar dalil atau riwayat sesuai dengan Syarat-syarat yang tertera dalam kitab-kitab mereka.

Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bari:  

”Dan penggabungan (antar riwayat dalam masalah yang sama) dikedepankan daripada tarjih (pengguguran salah satu riwayat)", Fathul Bari juz 13 hal 421.  

Harus dilakukan hal senada juga dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam sarh Muslim :

"Tidak ada perbedaan antar ulama bahwa jika dimungkinkan penggabungan antar Hadist maka tidak boleh meninggalkan salah satunya tetapi Wajib penggabungan diantaranya (syarh muslim juz 3 hal. 155)

Hal ini penting saya sampaikan karena melihat cara atau metode Istidlal atau pendalilan Ustadz Firanda dalam Klaim Ijmaknya ini tidak berjalan di atas Manhaj atau metodologi yang digariskan dan digunakan oleh Ulama Ahlu Sunnah (Asy'ariyah). Sebagai contoh Ustadz firanda hanya membawakan perkataan Imam al-Awza'i yang mendukung tujuannya (Ustadz firanda) saja,  sementara Ucapan Imam Al-Auza'i yang lainnya tidak dia bawakan.  Cara pendalilan Ustadz firanda seperti ini bukanlah cara pendalilan yang dianut Ulama Ahlu Sunnah (asy'ariyah).  Ala Kulli Hal itulah metode yang digunakan Ustadz Firanda dalam tulisannya ini. Ustadz Firanda hanya menyebutkan riwayat yang hanya mendukung maksud yang ingin dicapainya saja tanpa melihat riwayat-riwayat lain yang lebih Shahih.

Baiklah, mari kita kaji dan cermati riwayat-riwayat yang disampaikan Ustadz Firanda yang dijadikannya sebagai Hujjah dan Sandaran dalam menetapkan Kosensus atau Ijmak bahwa: ”Allah berada dilangit."

Catatan :

1. Ketika saya sebutkan ” Ahlu Sunnah Wal-jama'ah ( Asy'ariyah ) ” maka yang saya maksud adalah (Asy'ariyah, Maturidiyah, Atsariyah dan Sufiyah al-hiqqoh), 4 kelompok inilah yang saya maksud dengan Ahlu Sunnah wal-jama'ah.

2.  Qoul atau perkataan para ulama bukanlah Hujjah Syariyah, Hujjah syar'iyah (sumber hukum) adalah Al-Qur'an al-Karim dan Hadits-hadits  yang Shahih.

Baik kita mulai dengan mengkaji sandaran-sandaran ustadz Firanda dalam klaim Ijmaknya :

Riwayat Pertama yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda untuk klaim adanya Ijmak tentang keberadaan Allah di langit :

1.    Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)

Al-Auzaa’i berkata :

“Ketika kami dahulu – dan para tabi’in masih banyak- kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsy-Nya, dan kita beriman dengan sifat-sifat-Nya yang datang dalam sunnah”  

(Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)

Tanggapan:

Tidak ada keraguan jika al-Imam al-Awza'i adalah Ulama besar panutan Ahlu Sunnah (asy`ariyah) yang wajib diikuti, hanya apakah riwayat ini bersifat Qoth'i  (pasti) atau riwayat ini bersifat Dzani ( tidak pasti) yang sama sekali tidak diterima oleh Ulama Ahlu Sunnah? Karena riwayat yang bersifat Dzani tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah aqidah, mari kita kenali rawi-rawi dalam riwayat ini:

Dalam sanad riwayat ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin katsir al-mashishi (urut 4).  al-Mashishi menurut Imam Ahmad hadistnya Mungkar atau meriwayatkan sesuatu yang mungkar hal ini disebutkan oleh ibnu Adi dalam al-Kamil, dan ibnu Adi mengatakan al-mashishi mempunyai riwayat-riwayat dari Ma'mar dan Al-aw-za'i khususnya Hadist-hadist A'dad yang tidak diikuti oleh seorang pun.

Demikian juga disebutkan dalam kitab al-jarh wa at-ta'dil juz 8 hal 69, al-mashishi di dha'ifkan oleh Imam ahmad, disifati sangat lemah. Jika para Imam Ahli jarh wa-ta'dil sudah melakukan Jarh seperti ini maka riwayatnya sama sekali tidak bisa diterima apalagi dijadikan Hujjah dalam Aqidah.

Terlebih Dalam riwayat ini al-Mashishi meriwayatkannya dari Ibrohim bin al-haitsam (urut 3), berkata al-Uqoili dalam kitab ad-Du'afa juz 1 hal 274:  

dia (Ibrohim al-haitsam) meriwayatkan Hadist yang dianggap Dusta oleh ahli Hadist dan ahlul Hadist menyerangnya dengan periwayatan Hadist yang dianggap dusta itu. Dengan demikian dua orang rawi dalam atsar ini jatuh, al-Mashishi tertuduh meriwayatkan yang Mungkar dan al-Haitsam tertuduh dusta, sehingga hukum atsar ini Maudhu'.  

Otomatis hal ini menggugurkan Sandaran pertama Ustadz Firanda dalam Klaim Ijmaknya ini. Ya, gugur!

Riwayat kedua yang dijadikan sandaran oleh Ustadz firanda

Kedua : Qutaibah bin Sa’iid (150-240 H)

Beliau berkata :

هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى

“Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama’ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman :

Ar-Rahmaan di atas ‘arsy beristiwa” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)

Adz-Dzahabi berkata, “Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103).

Tanggapan:

Qutaibah bin Said syeikh Khurosan tidak diragukan ke-imamannya, hanya saja riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Naqosy seorang Pemalsu hadist.  

Llihat Lisanul Mizan juz 5 hal 149, an-Naqosy juga disebutkan dalam al-Kasyf al-Hatsist tentang rawi-rawi yang tertuduh dengan pemalsuan dengan nomer 643,  meninggal tahun 351 hijriyah.  

Sementara Abu Ahmad al-Hakim meninggal tahun 398 hijriyah terpaut waktu 39 tahun, sehingga tidaklah benar jika dia meriwayatkan dari Abul abbas as-siraj, karena as-siraj lahir pada tahun 218 h meninggal tahun 313 sebagaimana disebutkan dalam Tarikh baghdad juz 1 hal 248.  Artinya ketika as-siraj meninggal al-hakim baru berusia 7 tahun bagaimana bisa shahih riwayatnya? Jelas ucapan ini adalah Dusta yang dibuat an-naqosy, terlebih an-naqosy terkenal sebagai pemalsu !

Saya jadi heran kenapa Ustadz Firanda sebagai salah satu tokoh Salafi (wahabi) Indonesia kok ber-Hujah dengan yang dusta alias Palsu? Dengan demikian Status Hujjah ini: gugur!

Qoul ketiga yang dijadikan sandaran dan Hujjah oleh Ustadz Firanda

Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :

“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran” (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)

Tanggapan:

Ibnu Qutaibah seorang Mujassim, lihatlah perkataannya dan
perhatikan :

“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran”.

Perkataan ini sama sekali tidak menunjukkan adanya Ijma'  sebagaimana yang di dakwakan Ustadz firanda. Terlebih Ulama Asy'ariyah hanya menerima Qur`an dan hadist yang bersifat qoth'i sebagai Hujjah dalam Aqidah.  Kalaupun ada Ijma'  ia harus bersandar kepada Qur'an dan hadist, bukan bersandar kepada perkataan seluruh Ummat.  Ibnu Qutaibah mencoba berdalil dengan omongan semua orang baik Hindu, Atheis,  Konghucu dan sebagainya dan ini Bathil. Dengan demikian Status hujjah menjadi Gugur!

Saya jadi semakin heran terhadap ustadz Firanda sampai-sampai igauan Bathil Ibnu Qutaibah pun dijadikan sandaran dalam Aqidah! Apakah Ibnu Qutaibah menganggap seorang Atheis pun ber-Aqidah-kan "Allah di langit"  sehingga berani mengatakan SELURUH UMMAT dst…?”  Apakah Ustadz Firanda pun mengigau seperti ini? Ya akhi jangan main-main lho ini Aqidah pondasi dasar keyakinan.

Qoul ke empat yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda

Keempat : Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)

Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod ‘alal Marriisi

“Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah”

(Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25)

Tanggapan :

1). Abu said Ustman bin said ad-darimi as-sajzi bermadzhab hanbali, dia seorang mujassim musyabih dari golongan Hasywiyah wafat tahun 282 Hijriyah. Konon wafat tahun 280 hijriyah, Tasybih yang jelas terlihat dari Ucapannya : ”bahwa orang yang berada di puncak gunung lebih dekat kepada Allah ketimbang orang yang berdiri di bawah gunung.”  Lihat al- Maqolat il Allamah al-Kautsari hal 282.

Saya Ahmad Syahid katakan:

Sungguh ucapan ini bertentangan dengan Hadist shahih di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rosulallah SAW bersabda:

” seorang Hamba Lebih dekat kepada Tuhannya ketika ia dalam keadaan Sujud",  dan bahkan bertentangan dengan Al- Qur'an:  

"Sujudlah dan mendekatlah. ” (qs. Al-alaq. 19).  

Dalam ayat ini posisi sujud digandengkan dan diidentikkan dengan kedekatan dengan Allah, ayat ini jelas bertentangan dengan perkataan dan keyakinan Abu said ad-darimi diatas.

2). Status Hujjah gugur karena dua hal:

1. Abu said ad-Darimi menyandarkan aqidahnya ini kepada ucapan ummat islam (entah ummat islam yang mana) dan ucapan Ummat Kafir ( yang tantu aqidahnya berbeda dengan muslimin ). Harusnya Abu Said Ustman ad-Darimi menyandarkan Aqidahnya kepada Qur'an dan Hadist yang shahih atau minmal kepada pernyataan Ulama Muslimin (ahlu Sunnah ), bukan kepada Ucapan orang Kafir.

2. Aqidah abu said ustman ad-darimi bertentangan dengan Qur'an dan Hadist sebagaimana saya sebutkan diatas.

3. Abu Said Ustman ad-Darimi bukanlah Imam Ahlu sunnah yang terkenal itu, sebab Imam ahlu sunnah adalah : Al-imam Al-hafidz Abu Muhammad abdullah bin Abdurohman bin Fadl bin Bahrom ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqondi, beliaulah penulis kitab Sunan ad-darimi wafat tahun 255 hijriyah.  Hati-hatilah jangan sampai tercapur aduk antara ad-darimi Imam ahlu sunnah dengan ad-darimi ahlu Bid`ah. Dengan demikian Status hujjah gugur, karena omongan ini keluar dari Ahlul Bid`ah Ustman ad-Darimi yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist diatas.

Qoul ke 5 yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda dalam klaim Ijma` nya

Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)

Beliau berkata :

القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”

“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami – dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai - bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya”

(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)

Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185)

Tanggapan:

Qoul ini diriwayatkan oleh ibn Bathoh al-U'kbari nama lengkapnya :

Abu Abdullah Ubaidillah ibn Muhammad ibn Bathoh al- U'kbari, seorang Mujassim bermadzhab Hanbali sekaligus seorang pemalsu hadist (wadho'). Dilahirkan tahun 304 dan wafat pada tahun 387 hijriyah. Konon dialah pencetus Aqidah Pembagian Tauhid.  Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Astqolani mengatakan dalam kitabnya Lisanul Mizan juz 4 hal 113: "Aku memikirkan Ibnu Bathoh atas sebuah perkara yang sangat besar hingga kulitku merinding darinya. Kemudian aku tetapkan bahwa dia adalah seorang pemalsu hadist (wadho') , dan dia mempunyai kebiasaan mencungkil nama-nama para imam ahli hadist. Kemudian dia letakkan Namanya ditempat nama Imam yang dicungkilnya. Begitu juga al-Khotib al-Baghdadi menyebutkan sebuah Hadist di mana sanad hadist tersebut terdapat Ibnu Bathoh, kemudian al-khotib al-baghdadi mengatakan Hadist ini palsu dengan jalur sanad ini, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Bathoh. Ibnu Bathoh meriwayatkan atsar ini dari Ahmad ibn as-Saji.  Al-Albani dalam Mukhtasor al-uluw hal. 223 mengakui bahwa Ahmad ini tidak dikenal alias majhul, status Hujjah GUGUR. Ustadz Firanda kok seneng yang palsu-palsu ya?

Qoul ke enam yang dijadikan Hujjah oleh Ustadz Firanda untuk klaim Ijma' keberadaan Allah dilangit

Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)

Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254

“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah”

Tanggapan :

Ibnu Khuzaimah Mujassim terkenal dan sangat sadis. Beliaulah yang berfatwa Kafirnya orang yang tidak mengakui Bahwa Allah berada di atas langit maka orang tersebut harus dibunuh jika tidak mau tobat dan mayatnya dibuang ke tempat sampah.  Namun al-hamdulillah akhirnya beliau tobat dari Aqidah tajsim ini seperti yang dinyatakan oleh Imam al-baihaqi dalam asma wa as-sifat hal. 269. Begitu juga dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul bari juz 13 hal 492.

Jadi rupanya Ustadz firanda belum tahu atau pura-pura tidak tahu jika penulis kitab ” at-Tauhid ” (ibnu khuzaimah) telah tobat dari aqidah yang tertulis dalam kitabnya itu. Sehingga gugur-lah sandaran ke-enam atas klaim Ijmaknya Ustadz Firanda ini, sebab penulisnya pun sudah Tobat.

Qoul ke tujuh yang dijadikan Hujjah atas klaim Ijma' Ulama bahwa Allah di Langit

Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah :

“باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”

أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه

ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى

“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”

Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)

Adz Dzahabi berkata,

“Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).

Tanggapan:

Lagi-lagi ustadz firanda ber-hujjah dengan seorang Wadho'  alias pemalsu, status Hujjah gugur lagi. Lihat tanggapan saya atas poin ke 5.

Qoul ke 8 yang dijadikan Ustadz firanda sebagai sandaran atas Klaim Ijma'-nya

Kedelapan: Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H)

Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul

” أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء”

وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.

“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”

Beliau juga mengatakan,

“Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315)

Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurroo` di Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315).

Tanggapan:

Tahukah Ustadz firanda jika Adz-Dzahabi juga mengatakan dalam Siar 'Alam an-Nubala juz 17 hal 567,  

Adz-Azahabi berkata:  

"Saya melihatnya ( at-Tholamanki , pent) menulis kitab yang diberi judul As-Sunnah dua jilid.  Secara umum kitab itu baik hanya saja dalam beberapa bab dalam kitab tersebut ada hal yang selamanya tidak akan sejalan (denganku-pent), seperti bab janb (lambung / sisi Allah ) dalam bab itu dia menyitir firman Allah :  

"Sungguh rugi atas apa yang aku lalaikan di sisi Allah, hal ini merupakan bentuk keterglinciran seorang Alim.  Orang ini Mujassim omongannya tidak perlu dianggap.  Sandaran ustadz firanda yang ke 8 pun gugur. Karena Imam Adz-Dzahabi pun tidak sejalan dengannya.

Qoul ke sembilan yang dijadikan sandaran klaim Ijma` ustadz firanda

Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H)

Beliau berkata,

“Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….

Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)

Adz Dzahabi berkata,

“Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317)

Tanggapan:

Yang shahih dari Ucapan Imam As-shobuni hanya :

“Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab (Al Qur’an) …. kata-kata setelah ini (para pemuka dst….) adalah tambahan yang entah Imam aDzahabi dapat dari mana? Silahkan rujuk ”Majmu`ah ar-Rosail al-Muniriyah juz 1 hal 109 risalah as-Shobuni, pernyataan al-imam as-Shobuni ini sama sekali tidak mendukung klaim Ijma'  tentang keberadaan Allah di langit sebagaimana yang di Klaim oleh Ustadz firanda. Inilah yang disebut dengan tafwidh yang juga ditolak oleh Salafi Wahabi. Status Hujjah salah alamat!

Qoul ke 10 yang dijadikan Hujjah untuk mendukung klaim Ijma'  sang ustadz

Kesepuluh : Imam Abu Nashr As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H)

Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) :

Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”

Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321

Tanggapan:

Kenapa Ustadz firanda tidak sekalian menyertakan perkataan Adz-Dzahabi dalam al-uluw ketika berbicara tentang As-Sajzi? Berkata adz-dzahabi:

bahwa lafadz ”Dzat” bukanlah pernyataan yang masyhur dan terjaga dari para Imam yang disebutkan oleh as-sijzi. Lafadz ”Dzat” itu dari kantongnya As-sijzi bukan dari para Imam.  As-Sijzi juga terkenal dengan Tahrif (merubah) hadist sebagai contoh As-Sijzi merubah Hadist ar-rohmah al-musalsal bil awliyah dari jalur Abi Qobus al-Majhul dengan Lafadz ”yarhamkum man fi as-sama” padahal lafadz hadist dari Abu Qobus al-Majhul dalam musnad Ahmad juz 2 hal. 160 ”yarhamkum Ahlu as-sama”. Begitu juga yang dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu hajar dalam Mu'jam al-Syaikhokh Maryam (makhtut) masih berupa manuskrip bahwa Aba Daud juga meriwayatkan dengan Lafadz  ”Yarhamkum Ahlu as-sama”.  Apakah menurut ustadz Firanda riwayat seorang Muharif ( tukang merubah) bisa diterima? Apakah riwayat (berita) yang telah dirubah isinya dapat dijadikan Hujjah? Mengingat riwayat–riwayat palsu pun dijadikan sandaran oleh Ustadz firanda seperti riwayat-riwayat  yang telah lalu, tidak aneh jika riwayat yang telah dirubah pun dijadikan sandaran oleh ustadz firanda.
Status Hujjah Gugur bagi orang yang berakal waras.

Kesebelas : Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)

Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod,

“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah…

dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-’Uluw 261)

Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306)

Tanggapan

Kitab al-I'tiqod karya Abu Nu`aim Al-ashfahani tidak ada wujudnya, ini merupakan kitab Majhul yang hanya diketahui oleh Imam Adz-dzahabi. Terlebih adz-Dzahabi sendiri telah meninggalkan faham yang dianutnya dalam kitabnya al-Uluw ini. Saya minta Ustadz Firanda untuk menunjukkan wujud asli kitab i'tiqod yang dinisbatkan kepada abu Nu'aim, atau kitab Majhul pun menurut Ustadz Firanda bisa dijadikan referensi? Status Hujjah gugur karena kitab al-I'tiqod Abu Nu'aim adalah kitab Majhul, terlebih dalam tulisan ini Ustadz Firanda banyak menyandarkan Hujjahnya pada para Pembohong dan Pemalsu seperti yang telah lewat diatas.

 
Qoul ke 12 yang dijadikan sandaran ustadz Firanda Untuk menguatkan Klaim Ijma'-nya

Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)

Berkata Ibnu Abi Hatim :

“Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:

Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang…

Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I’tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah karya Al-Laalikaai 1/198)

Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,

“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201.

Tanggapan:

Riwayat ini tidak sah dinisbatkan kepada Abu Zur'ah begitu juga jika dinisbatkan kepada Abu hatim. Riwayat ini diriwayatkan dari tiga jalur sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahzbi dalam Al-Uluw. Dua jalur pertama terdapat dua Rawi yang majhul, keduanya yaitu : Ali ibn Ibrohim meriwayatkan dari Ibn Jami' , rawi majhul yang satunya Al-hasan bin Muhammad bin Hubaisy Al Muqri tidak ada bioghrafi yang jelas tentangnya dan tidak ada seorangpun Ahli jarh wa ta'dil yang men-tsiqoh-kannya dan dia adalah Majhul. Sebagaimana riwayatnya terdapat dalam sarh Sunnah Al-Lalikai juz 1 hal 176 ,  jalur ketiga atsar ini diriwayatkan oleh Ibn Murdik jarak kematiannya dengan Abu Hatim 60 tahun sebagaimana disebutkan dalam Tarikh Baghdad juz 12 hal 30.

Seperti diketahui secara luas oleh ahli bahwa Abu Zur'ah dan Abu Hatim tidak dikenal berbicara dalam masalah seperti ini sebagaimana keduanya juga dikenal tidak mempunyai karya tulis dalam Bab Aqidah persis seperti teman keduanya yaitu Imam Ahmad Ibn Hambal yang juga mengatakan:

"Tidak ada yang melewati jembatan Baghdad orang yang lebih Hafidz dari Abu Zur'ah, beliau adalah termasuk salah satu Wali Abdal yang dengannya Bumi terjaga."

Saya Ahmad Syahid katakan:

Andai pernyataan sepert itu Muncul dari golongan Asy'ariyah atau Sufiyah Pasti kaum wahabiyyin akan menuduh Kafir, Musyrik, dan Ahli Bid'ah!

Status Hujjah gugur , karena rawi-rawinya Majhul.

Ketiga belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)

Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent),

“Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)

Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :

“Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…”" (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)

Beliau juga berkata :

“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)

Tanggapan: Inilah pentingnya menggabungkan antar riwayat sebagaimana saya sebutkan dalam awal Mukadimah, sehingga memberikan pemahaman yang utuh sesuai dangan maksud penulis, sebab Ibnu Abdil Bar dalam dalam At-Tamhid juga mengatakan :

Pertama:  "Bahwa Khobarul wahid (hadist ahad ) tidak memberikan keyakinan pasti (ilm) hanya mewajibkan untuk diamalkan ( hanya berlaku dalam furu', pent)."  Tentu hal ini bertentangan dengan kaum wahabiyyin, yang menjadikan khobarul wahid (hadist ahad) sebagai Hujjah dalam Aqidah , bahkan dalam tulisan ini Ustadz Firanda membawakan atsar – atsar Mungkar tidak sah bahkan Maudu'  untuk landasan Aqidah, sebagaimana yang telah lewat diatas.

Kedua: Ibnu Abdil Bar juga mengingkari pernyataan Nu'aim bin Hammad yang menyatakan bahwa ”Allah turun dengan Dzatnya sementara dia diatas kursinya ”, berkata Ibnu Abdil Bar : ” ucapan ini bukanlah sesuatu (yang dapat dipegang- pent.) di kalangan ahli, karena ini merupakan kaifiyah (membagaimanakan-pent) sementara Ahli Ilmu Lari dari pernyataan seperti ini karena pernyataan seperti itu tidak bisa difahami kecuali terhadap sesuatu yang terlingkupi penglihatan ( bersifat fisik-pent).

Ketiga: Ibnu Abdil Bar juga mengatakan : telah bersepakat Ulama shahabat dan tabi'in yang dari mereka dibawakan takwil dst..., menunjukkan jika takwil itu boleh dan dibenarkan karena datang dari para sahabat dan tabi`in, lalu kenapa Wahabiyyin dalam masalah istiwa pun melarang takwil? Lebih dari itu Wahabiyyin  menganggap sesat orang yang melakukan Takwil?

Ke empat: Ibnu Abdil Bar mengatakan: telah berkata Ahli Atsar (tentang Hadist Nuzul –pent) bahwa yang turun adalah Perintah dan rahmatnya, kemudian beliau menyebutkan riwayat hingga Imam Malik rodiuallahu anhu dan berkata: bisa jadi (pentakwilan ini -pent) seperti perkataan imam malik rohimahullah yang bermakna ”Turunnya Rohmat dan Qodhonya (ketetapan-pent) dengan pengampunan dan penerimaan, At-Tamhid 7/ 144 .

Ke lima: Dari pernyataan-pernyataan yang digabungkan ini , jelas-lah Aqidah sang Imam bahwa Beliau adalah seorang Mufawwidh, yang salah difahami oleh sang Ustadz Firanda sehingga dijadikan landasan dan Hujjah akan Klaim Ijmaknya.  Lihatlah sang Imam mengingkari istiwa dengan ”Dzatnya” dan sang Imam pun membolehkan Takwil.  Lalu mengikuti siapakah kawan-kawan wahabiyiin ini? Mereka dan juga Ustadz Firanda menolak Tafwidh dan takwil, padahal keduanya ( Tafwidh dan Takwil) adalah Manhaj atau metodologi yang dianut Ulama Ahlu Sunnah (Asy'ariyah) sepanjang masa, sehingga status Hujjah Ustadz Firanda Gugur karena Imam Ibnu Abdil Bar adalah seorang Mufawwidh.

ustadz Firanda mengatakan: "Para pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan ijmak para salaf."

Jawab: Para pembaca yang budiman ternyata setelah dilakukan pengecekan secara seksama semua riwayat yang ustadz Firanda jadikan sandaran adalah tidak sah , Mungkar bahkan maudu' sebagaimana tadi kita kupas satu per satu. Bukankah ustadz Firanda dan All wahabiyyin menolak Hadist-hadist dha'if meskipun hanya untuk Fadailul a'mal? Tetapi kenapa justru pada masalahushul/Pokok (Aqidah) sebagai Pondasi Iman seorang Muslim, justru Ustadz Firanda menyuguhkan dan bahkan menggunakan perkataan Ulama yang riwayatnya tidak sah , Mungkar bahkan maudhu'? Diletakkan di mana semboyan: ”hanya menggunakan hadist-hadist shahih-nya?"  Ijmak yang Ustadz Firanda klaim itu hanya berdiri di atas ketidak-absahan, kemungkaran dan kepalsuan!

Demikian kajian atas Klaim ijma tentang ”keberadaan Allah Di langit” telah gugur seiring dengan gugurnya para Rawi yang meriwayatkannya.  Dan sebenarnya masih banyak qoul –qoul lainnya yang dinisbatkan kepada para Ulama Ahlu Sunnah ( Asy'ariyah ) yang jika diteliti sanadnya akan menghasilkan hal yang sama dengan atsar-atsar yang ditampilkan Ustadz Firanda, statusnya akan sama (gugur) karena riwayat-riwayat itu 95 % adalah Tidak Sah , Mungkar , dan maudhu'. Adapun Ijmak yang benar di kalangan Ahlu Sunnah Wal-jama'ah adalah keyakinan Bahwa ”Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah ”.  Ijmak ini dinukil Oleh Al-imam Al-Hafidz An-Nawawi dalam Syarh Muslim juz 5 hal. 24 cet. Darul Fikr,  juga Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-atsqolani Al-Imam Al- Hafidz az-zabidi. Ijmak ini pun dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijmak halaman 167.

Wallohu a'lam....

Bersambung....

Saturday 29 August 2015

MENYEBARKAN RIWAYAT PALSU Tentang Aqidah yang Dinisbatkan Kepada al-Imam al-Syafi’i


WAHABI MENYEBARKAN HADITS PALSU

17 Juli 2013 pukul 14:15

SKANDAL PENYEBARAN HADITS DHA’IF DAN RIWAYAT PALSU DI KALANGAN ULAMA WAHABI

MUHAMMAD IDRUS RAMLI

SELAMA INI AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH SELALU DIPOJOKKANOLEH KAUM WAHABI, KARENA DIANGGAP PENGAMAL HADITS DHA’IF. PADAHAL DIAM-DIAM KAUM WAHABI JUGA MENYEBARKAN RIWAYAT PALSU SELAMA MENDUKUNG AJARAN WAHABI. BERIKUT DIALOGNYA.

SUNNI: “Mengapa Anda selalu membuat ,menebarkan permusuhan dan kebencian dengan mebid’ahkan ajaran kami AhlussunnahWal-Jama’ah yang sudah mengakar sejak masa-masa silam, bahkan sebagian mengakarsejak masa salaf dan ahli hadits? Dan semua ajaran kami memiliki landasan darial-Qur’an dan hadits.”

WAHABI: “Ajaran yang kalian amalkan selalu menggunakan hadits-hadits lemah dan palsu.”

SUNNI: “Ajaran yang mana yang menggunakan hadits palsu dan lemah??? Justru kaum Anda sendiri yang terjebak dalam kesalahan dalam menolak peran hadits dha’if secara total. Salah karena keluar dari manhaj ahlihadits dan salah karena menyalahi ulama Anda sendiri.”

WAHABI: “Lho, kok bisa kami dikatakan keluar dari manhaj ahli hadits dan menyalahi ulama kami sendiri? Bukankah yang berjuang menolak hadits dha’if itu ulama kami?”

SUNNI: “Lho, itu kan  berarti Anda hanya taklid buta kepada ustadz-ustadz Anda. Harus Anda ketahui, bahwa yang menolak peran hadits dha’if di kalangan Anda, itu Wahabi beberapa tahun kemarin, pengikut Syaikhal-Albani dari Yordania. Sementara ulama Wahabi sebelum Anda juga banyak menyebarkan hadits dha’if, sebagaimana yang dilakukan oleh ahli hadits.”

WAHABI: “Lho, maka buktinya bahwa sebelum Syaikhal-Albani, ulama kami yang kalian sebut Wahabi menerima dan menyebarkan hadits dha’if?”

SUNNI: “Anda ini lucu, ngakunya pengagum al-Albani,tapi tidak pernah mengerti kitab-kitab tulisan al-Albani sendiri. Coba Anda lihat, Ibnu Taimiyah menulis kitab berjudul al-Kalim al-Thayyib, yang isinya membolehkan tawasul, istighatsah dan jualan jimat. Lalu kitab tersebut di-ikhtishar oleh al-Albani, menjadi Shahih al-Kalim al-Thayyib, dengan membuang 59 hadits dari total 252, yang dianggap dha’if oleh al-Albani. Ini kan cukup membuktikan bahwa Ibnu Taimiyah tidak alergi hadits dha’if. Belum lagi Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi al-Qarni, menulis kitab al-Tauhid, sebagian hadits nya juga dha’if sebagaimana diakui oleh kaum Wahabi sendiri. Ini bukti bahwa pendiri Wahabi juga tidak alergi hadits dha’if. Kenapa kalian alergi hadits dha’if??

Kalian tahu, bahwa ulama kalian, yang sok anti hadits dha’if, diam-diam juga menyebarkan akidah palsu dan riwayat dusta??”

WAHABI: “Ah, Anda keterlaluan, menuduh ulama kami sebagai penyebar akidah palsu dan riwayat dusta. Mana buktinya??? Anda jangan asal ngomong. Berdosa lho, bohong itu.”

SUNNI: “Di antara riwayat palsu yang disebar luaskan oleh ulama Anda adalah akidah yang dinisbatkan kepada al-Imam al-Syafi’i.Ketika jamaah haji pulang dari Tanah Suci, mereka diberi hadiah kitab Akidah Imam Empat, karya al-Khumayyis, terjemahan dari kitab I’tiqad al-Aimmahal-Arba’ah, oleh Ali Mustafa Ya’qub. Di dalamnya ada akidah yang dinisbatkan kepada Imam al-Syafi’i, bahwa beliau berkata:

“Berbicara tentang Sunnah yang menjadi pegangan saya, shahib-shahib saya, begitu pula para ahli hadits yang saya lihat dan saya ambil ilmu mereka, seperti Sufyan, Malik, dan lain-lain adalah iqrar seraya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, serta bersaksi bahwa Allah itu diatas ‘arsy di langit, dan dekat dengan mahkluk-Nya terserah kehendak Allah, dan Allah itu turun ke langit terdekat kapan Allah berkehendak.” (Al-Khumayyis,Akidah Imam Empat, hal. 68.).

Akidah al-Imam al-Syafi’i tersebut telah disebar luaskan oleh kaum Wahabi dan pendahulu-pendahulu mereka seperti IbnuTaimiyah dalam al-Washiyyah al-Kubra, Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima’ al-Juyusyal-Islamiyyah, al-Albani dalam Mukhtashar al-‘Uluw, dan al-Khumayyis dalam bukunya Akidah Imam Empat.

WAHABI: “Apa alasan Anda mengatakan akidah tersebut palsu???”

SUNNI: “Para ulama ahli hadits telah menjelaskan bahwa akidah al-Imam al-Syafi’i yang disebar luaskan oleh kaum Wahabi adalah palsu. Akidah tersebut diriwayatkan melalui perawi yang bermasalah, yaitu Abual-Hasan al-Hakkari, seorang perawi yang tidak dapat dipercaya dan pemalsu hadits.

Al-Dzahabi berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَسَاكِرَ: لَمْ يَكُنْ مُوَثَّقًا فِيْ رِوَايَتِهِ.

“Ibnu Asakir berkata: “Al-Hakkari tidak dapat dipercaya dalam riwayatnya.” (Ibnu al-Najjar, Dzail Tarikh Baghdad, juz 3, hal.174; Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz 19 hal. 68, dan Mizan al-I’tidal,juz 3, hal. 112.)

Al-Hafizh Ibnu al-Najjar al-Baghdadi berkata:

وَكَانَ الْغَالِبُ عَلىَ حَدِيْثِهِ الْغَرَائِبَ وَالْمُنْكَرَاتِ وَلَمْيَكُنْ حَدِيْثُهُ يُشْبِهُ حَدِيْثَ أَهْلِ الصِّدْقِ، وَفِيْ حَدِيْثِهِمُتُوْنٌ مَوْضُوْعَةٌ مُرَكَّبَةٌ عَلىَ أَسَانِيْد َصَحِيْحَةٍ، وَرَأَيْتُبِخَطِّ بَعْضِ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ الْحَدِيْثَبِأَصْبِهَانَ، وَقَالَ أَبُوْ نَصْرٍ الْيُوْنَارْتِيُّ: لَمْ يَرْضَهُ الشَّيْخُأَبُوْ بَكْرٍ بْنُ الْخَاضِبَةِ.

“Biasanya haditsnya al-Hakkari adalah hadits-haditsyang aneh dan munkar. Haditsnya tidak menyerupai haditsnya perawi yang jujur.Dalam haditsnya terdapat matan-matan palsu yang disusun pada sanad-sanad yang shahih. Aku melihat tulisan sebagian ahli hadits, bahwa al-Hakkari telah memalsu hadits di Ashbihan. Abu Nashr al-Yunarti berkata: “Syaikh Abu Bakar binal-Khadhibah tidak ridha terhadap al-Hakkari.” (Ibnu al-Najjar, Dzail Tarikh Baghdad, juz 3, hal. 173; dan Ibnu Hajar, Lisan al-Mizan, juz 4, hal. 196.)

Sumber lain yang menjadi perawi akidah al-Imamal-Syafi’i adalah Abu Thalib al-‘Asysyari, seorang perawi yang jujur tetapi lugu sehingga buku-bukunya mudah disispi riwayat-riwayat palsu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Al-Dzahabi dan Ibnu Hajar berkata:

مُحَمَّدُ بْنِ عَلِيِّ بْنِ الْفَتْحِ أَبُوْ طَالِبٍ الْعَشَّارِيُّشَيْخٌ صَدُوْقٌ مَعْرُوْفٌ لَكِنْ اَدْخَلُوْا عَلَيْهِ أَشْيَاءَ فَحَدَّثَبِهَا بِسَلاَمَةِ بَاطِنٍ مِنْهَا حَدِيْثٌ مَوْضُوْعٌ فِيْ فَضْلِ لَيْلَةِعَاشُوْرَاءَ وَمِنْهَا عَقِيْدَةٌ لِلشَّافِعِيِّ.

“Muhammad bin Ali bin al-Fath Abu Thalibal-‘Asysyari, seorang guru yang jujur dan dikenal. Akan tetapi orang-orang memasukkan banyak hal (riwayat-riwayat palsu) kepadanya, lalu ia menceritakannya dengan ketulusan hati, di antaranya hadits palsu tentang keutamaan malam Asyura, dan di antaranya akidah al-Syafi’i.”

(Al-Dzahabi, Mizanal-I’tidal, juz 3, hal. 656 dan Ibnu Hajar, Lizan al-Mizan, juz 5 hal. 301.).

Pernyataan di al-Dzahabi dan Ibnu Hajar di atas menyimpulkan bahwa Abu Thalib al-‘Asysyari pada dasarnya seorang perawi yang jujur dan dikenal. Hanya saja orang-orang yang tidak bertanggung jawab menyisipkan riwayat-riwayat palsu ke dalam buku-bukunya tanpa ia sadari, lalu ia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain dengan ketulusan hati.

Paparan di atas menyimpulkan bahwa akidah al-Imamal-Syafi’i yang disebarluaskan oleh kaum Salafi-Wahabi dan pendahulu mereka,adalah palsu dan diriwayatkan melalui perawi yang lemah dan pemalsu hadits atau melalui perawi jujur dan lugu yang tidak menyadari bahwa riwayatnya telah disisipi riwayat palsu oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.”

WAHABI: “Tapi walaupun palsu, akidah tersebut mendukung perjuangan ajaran Wahabi. Gak papa walaupun palsu. Yang penting cocok. Lagi pula Cuma itu yang palsu. Yang lain shahih kok.”

SUNNI: “Anda ini lucu, sok anti dan alergi hadits dha’if, tapi riwayat palsu disebarluaskan. Tidak hanya itu riwayat palsu yang disebarkan oleh ulama Anda. Kaum Wahabi yang mengaku pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, juga menyebarkan kitab palsu yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, antara lain kitab Risalah al-Ishthakhri dan kitab al-Radd‘ala al-Jahamiyyah. Kedua kitab ini disebarluaskan oleh Salafi-Wahabi dan diklaim sebagai karangan Ahmad bin Hanbal. Padahal kitab tersebut bukan karangan Ahmad bin Hanbal, akan tetapi karang sebagin kaum Mujassimah dan dinisbatkan kepada Ahmad bin Hanbal.

Al-Hafizh al-Dzahabi berkata:

لاَ كَرِسَالَةِ اْلاِصْطَخْرِيِّ، وَلاَ كَالرَّدِّ عَلىَالْجَهَمِيَّةِ الْمَوْضُوْعِ عَلىَ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ، فَإِنَّ الرَّجُلَ كَانَتَقِيًّا وَرِعًا لاَ يَتَفَوَّهُ بِمِثْلِ ذَلِكَ.

“Tidak seperti Risalah-nya al-Ishthakhri, dan tidak seperti al-Radd ‘ala al-Jahamiyyah yang dipalsukan kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal), karena beliau seorang yang bertakwa, wara’ dan tidak berkata seperti itu.” (Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, juz 11, hal. 286.)

Pernyataan al-Dzahabi tersebut diperkuat oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Wazir al-Yamani, yang mengutip pernyataan al-Dzahabi tersebut bahwa kitab Risalah al-Ishthakhri dan al-Radd ‘alaal-Jahamiyyah adalah kitab palsu yang dinisbarkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal.(Ibnu al-Wazir al-Yamani, al-‘Awashim wa al-Qawashim, juz 4, hal. 340-241)

Kitab al-Radd ‘ala al-Jahamiyyah tersebut merupakan rujukan utama Syaikh IbnuTaimiyah dalam menulis kitabnya Bayan Talbis al-Jahamiyyah, padahal isinya terdiri dari hadits-hadits palsu, lemah dan munkar.”.

WAHABI: “Anda hanya menyebutkan tiga kitab palsu,yang kami sebarluaskan. Kan hanya tiga kitab. Lagi pula gak papa pakai kitab palsu, yang penting isinya mendukung perjuangan ajaran Wahabi.”

SUNNI: “Tidak hanya tiga kitab palsu yang disebarkan oleh ulama Anda. Syaikh al-Jumaizi dan Syaikh al-Raddadi, ulama Wahabi dari Saudi juga menyebarkan kitab Syarh al-Sunnah, dan dinisbatkan kepada al-Barbahari. Padahal dalam manuskrip yang menjadi satu-satunya sumber terbitnya kitab Syarh al-Sunnah tersebut, pada bagian awal disebutkan bahwa kitab Syarh al-Sunnah tersebut adalah karya Ahmad bin Muhammad bin Ghalibal-Bahili, yang populer dengan julukan Ghulam Khalil, wafat tahun 275 H. Hal ini juga diakui oleh ketiga ulama Salafi-Wahabi tersebut ketika melakukan autentisifikasi kitab tersebut kepada al-Barbahari. Dengan demikian, ketiga ulama Salafi-Wahabi tersebut sengaja menerbitkan kitab karya Ghulam Khalil dan menisbatkannya kepada al-Barbahari, salah seorang ulama Hanabilah ekstrem yang berpaham tajsim.”

WAHABI: “Maaf, walaupun al-Jumaizi dan al-Raddadi itu ulama Wahabi, tapi mereka bukan guru kami. Dalam Wahabi, kami berguru kepada ulama Madinah, Dr. Ali bin Nashir al-Faqihi, pakar hadits kaum kami yang Anda sebut Wahabi di Universitas Islam Madinah. Kalau beliau dijamin OK, antikitab lemah dan palsu.”

SUNNI: “Guru Anda, Dr Ali bin Nashir al-Faqihi,juga terlibat skandal yang sama, penyebar kitab tidak jelas sanadnya. Al-Imamal-Daraquthni termasuk salah satu ulama ahli hadits terkemuka dan bermadzhabal-Syafi’i. Al-Daraquthni adalah yang mengarahkan al-Hafizh Abu Dzar al-Harawi untuk mengikuti madzhab al-Asy’ari. Pada tahun 1411 Hijriah, Salafi-Wahabi diYordania menerbitkan kitab al-Ru’yah yang dinisbatkan kepada al-Daraquthni.Beberapa tahun sebelumnya Salafi-Wahabi Saudi Arabia menerbitkan kitabal-Shifat, yang dinisbatkan kepada al-Daraquthni dan di-tahqiq oleh Ali al-Faqihi.

Kedua naskah tersebut diriwayatkan melalui jalur Abu al-‘Izz bin Kadisy al-‘Ukbarawi dari Abu Thalib al-‘Asysyari.

Para ulama ahli hadits menilai Abu al-‘Izz bin Kadisy termasuk perawi yang tidak dapat dipercaya dan pendusta.

Al-Hafizh IbnuHajar berkata:

أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ أَبُو الْعِزِّ بْنُ كَادِشٍ أَقَرَّبِوَضْعِ حَدِيْثٍ وَتَابَ وَأَنَابَ انتهى قَالَ ابْنُ النَّجَّارِ: وَكَانَمُخَلِّطًا كَذَّابًا لاَ يُحْتَجُّ بِمِثْلِهِ وَلِلأَئِمَّةِ فِيْهِ مَقَالٌوَقَالَ أَبُوْ سَعْدٍ ابْنُ السَّمْعَانِيِّ كَانَ ابْنُ نَاصِرٍ سَيِّءَالْقَوْلِ فِيْهِ وَقَالَ ابْنُ اْلأَنْمَاطِيِّ كَانَ مُخَلِّطًا وَقَالَ ابْنُ عَسَاكِرَقَالَ لِيْ أَبُو الْعِزِّ بْنُ كَادِشٍ وَسَمِعَ رَجُلاً قَدْ وَضَعَ فِيْ حَقِّعَلِيٍّ حَدِيْثًا وَوَضَعْتُ أَنَا فِيْ حَقِّ أَبِيْ بَكْرٍ حَدِيْثًا بِاللهِأَلَيْسَ فَعَلْتُ جَيِّدًا. (الحافظ ابن حجر، لسان الميزان).

“Ahmad bin Ubaidillah Abu al-‘Izz bin Kadisy,mengaku memalsu hadits dan bertaubat.

Ibnu al-Najjar berkata: “Ia perawi yang membingungkan, pendusta, tidak dapat dijadikan hujjah, dan para imam membicarakannya.”

Abu Sa’ad bin al-Sam’ani berkata: “Ibnu Nashir berpendapat buruk tentang Ibnu Kadisy”.

Ibnu al-Anmathi berkata: “Ia perawi yang membingungkan”.
Ibnu Asakir berkata: “Abu al-‘Izz bin Kadiys berkata kepadaku, ia mendengar seseorang yang memalsu hadits tentang keutamaan Ali:

“Aku juga memalsu hadits tentang keutamaan Abu Bakar. Demi Allah, apakah aku tidak berbuat baik”. (Al-Hafizh Ibn Hajar, Lisan al-Mizan (1/218).).

Demikian pandangan ulama ahli hadits tentang Abual-‘Izz bin Kadisy. Sedangkan pernyataan al-Dzahabi bahwa Abu al-‘Izz bin Kadiys telah bertaubat dari memalsu hadits, tidak menjadikan riwayatnya diterima.

Al-Imam al-Nawawi berkata:

تُقْبَلُ رِوَايَةُ التَّائِبِ مِنَ الْفِسْقِ إِلاَّ الْكَذِبَ فِيأَحَادِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلاَ تُقْبَلُ رِوَايَةُالتَّائِبِ مِنْهُ أَبَدًا وَإِنْ حَسُنَتْ طَرِيْقَتُهُ كَذَا قَالَهُ أَحْمَدُبْنُ حَنْبَلٍ وَ أَبُوْ بَكْرٍ الْحُمَيْدِيُّ شَيْخُ الْبُخَارِيِّ وَ أَبُوْبَكْرٍ الصَّيْرَفِيُّ الشَّافِعِيُّ. (الحافظ السيوطي، تدريب الراوي).

“Riwayatnya perawi yang bertaubat dari kefasikan dapat diterima, kecuali berdusta dalam hadits-hadits Rasulullah , maka riwayat perawi yang bertaubat dari berdusta dalam hadits tersebut tidak dapat diterima,meskipun prilakunya telah baik. Demikian apa yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Humaidi –guru al-Bukhari-, dan Abu Bakar al-Shairafial-Syafi’i”. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh Taqribal-Nawawi (1/329).

Sementara Abu Thalib al-‘Asysyari juga perawi yang bermasalah, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya.

Paparan di atas menyimpulkan, bahwa kitab al-Ru’yah dan al-Shifat, yang dinisbatkan kepada al-Daraquthni sangat meragukan, karena riwayatnya melalui perawi yang memalsu hadits. Karena itu sebagian ulama menilai kitab tersebut palsu, bukan karya al-Daraquthni sendiri.”

WAHABI: “Ya bagaimana lagi, untuk memperjuangkan kebenaran apa tidak boleh dengan menyebarkan riwayat palsu???””

SUNNI: “Ya itu urusan Anda, yang sok anti dan alergi hadits dha’if, tapi diam-diam menyebarkan kitab palsu. Ulama Anda jugamenyebarkan kitab yang dipalsu kepada al-Imam al-Juwaini, al-Imam al-Nawawi danlain-lain. Itulah bukti bahwa ajaran Anda memang rapuh dan tidak kuat.”

Wassalam
MUHAMMAD IDRUS RAMLI
Kiriman dari Hamba Allah
 
 

Tuesday 25 August 2015

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi

Tuturan Golongan Salafi

Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan sesuai hawa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, karena Allah Swt. telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari syara’ sebagaimana firmanNya:

.وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ

1. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. al-An’am ayat 116).

Begitu juga suatu amalan yang diangap ibadah bahkan dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu. Diantara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran banyaknya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, dzikir, doa dan sebagainya, maka karenanya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا

2. “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah.” (QS. al-Jasiyah ayat 18-19).

Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dzann mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau banyaknya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan atsar yang shahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara’

Jawaban Bagi Golongan Salafi

Makna Ayat mengikut kebanyakan orang

Ayat Allah ini adalah ayat yang sangat populer di kalangan ahlul
golong an kolompok Salafi. Dengan ayat ini mereka meyakin-yakinkan diri mereka supaya jangan mengikuti “kebanyakan” orang, karena orang banyak itu adalah orang-orang sesat.

Golongan Salafi meyakini bahwa merekalah orang-orang yang benar yang jumlahnya hanya sedikit, sedangkan di luar mereka adalah orang banyak yang semuanya sesat. Keyakinan golongan ini ditentang keras oleh As Sunnah Wal Jama'ah.

Banyaknya orang memang bukan patokan suatu kebenaran.

As-Sa’di رحمه الله mengatakan di dalam tafsirnya :

“Ayat ini menjelaskan bahwa kebenaran itu bukan karena banyak pendukungnya, dan kebathilan itu bukan karena orang yang mengerjakannya sedikit. Kenyataannya (memang) yang mengikuti kebenaran hanya sedikit, sedangkan yang mengikuti kemungkaran banyak sekali. (Tetapi) kewajiban bagi umat Islam adalah mengetahui yang benar dan yang bathil, lihatlah jalan yang ditempuh.” (Tafsir Kariimir-Rahman 1/270)

Akan tetapi orang yang sedikit bukan pula jaminan bahwa itu sudah pasti berada di atas kebenaran.

Makna أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ (kebanyakan orang di muka bumi) adalah manusia kebanyakan (mayoritas) baik pada masa dahulu maupun yang terkemudian di muka bumi ini (bukan hanya dengan ukuran satu komplek perumahan atau satu kampung atau satu kaum atau satu negara).

Orang-orang terdahulu kebanyakannya sesat, orang-orang sekarang juga kebanyakannya sesat, dan orang-orang yang akan datang pun kebanyakannya sesat.

Ibnu Katsir رحمه الله di dalam tafsirnya menyebutkan :

“Allah memberitahukan perihal kebanyakan penduduk bumi dari kalangan bani Adam bahwa mereka dalam keadaan sesat, seperti yang disebut dalam ayat lain, yaitu firman-Nya (yang artinya) :

“Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) kebanyakan dari orang-orang yang terdahulu” (Qs.Ash-Shaffat : 71) dan firman Allah yang mengatakan (yang artinya) : “Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (Qs.Yusuf : 103)…” (Tafsir Ibnu Katsir Juz 8, Qs.Al-An’am:116)

Dari dulu hingga sekarang dan seterusnya, umumnya mayoritas penduduk bumi adalah bukan orang-orang beriman yang mengikut risalah kenabian (kecuali di masa-masa awal ummat manusia. Allahu A’lam). Mayoritas penduduk bumi selalu adalah orang-orang kafir (Pada masa sekarang seperti Nashrani, Yahudi, musyrikin, dan lain-lain adalah mayoritas penduduk bumi).

Jama'ah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan:

“Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda

“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).”

(HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Ibnu Mas’ud radhiallahuanhu mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri”

“Badaal islamu ghoriban wasaya’udu ghoriba kama bada’a fatuuba lil ghoroba“ ,

“Islam datang dalam keadaan asing dan akan akan kembali asing maka beruntunglah orang-orang yang asing itu”.. (Hr Ahmad)

Kalau asing ditengah-tengah orang kafir atau orang yang sesat, tentulah hal yang benar namun asing ditengah-tengah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim) maka itulah yang dimaksud keluar seperti anak panah yang meluncur dari busurnya menjadi khawarij atau orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi An Najdi yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham). Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda

“Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”.
[HR. Ibnu Majah dan Thabrani]

“Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”.
(HR. Ahmad)

Islam pada awalnya datang dengan asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah).

Monday 24 August 2015

BENARKAH IMAM ASY-SYAFI’I MENGHARAMKAN TAHLILAN ?!!


IMAM SYAFI'I -Rahimahullah
- MENGHARAMKAN TAHLILAN (SELAMATAN KEMATIAN, MAJLIS TAHLIL atau KENDURI ARWAH) ; BENARKAH ?

Tahlilan merupakan sebuah majelis yang berisi dzikir-dzikir yang masyru’, do’a, shalawat serta pembacaan al-Qur’an yang bertujuan untuk merahmati mayyit dengan pahala yang dihadiahkan kepada mayyit. Sangatlah tidak mungkin apabila Imam kita yakni Imam asy-Syafi’i mengharamkan tahlilan, tidak mungkin Imam asy-Syafi’i mengharamkan do’a, dzikir, shalawat dan bacaan al-Qur’an. Imam kita sangat bijaksana, ahli hadits dan luas ilmunya, penolong sunnah Nabi. Jadi, tidak akan mudah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sebagian orang telah mengutip dan memahaminya secara membabi buta terkait ucapan Imam asy-Syafi’ rahimahullah yang terdapat dalam kitab al-Umm berikut ini :

وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر

“aku menghukumi makruh Ma’tam, dan yakni sebuah kelompok, dan walaupun tidak ada tangisan bagi mereka sebab sesungguhnya itu memperbaharui kesedihan dan membebani biayai beserta apa yang pernah terjadi”.

Dari kutipan ini, sama sekali tidak ada ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan tahlilan. Jadi, darimana isu-isu yang mengharamkan tahlilan dengan berdalil ucapan Imam asy-Syafi’i ? Mana ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan mendo’akan muslim yang meninggal dunia, mana ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk muslim yang meninggal dunia, mana pula ucapan Imam asy-Syafi’i yang mengharamkan semua itu yang dilakukan dikediaman ahlul mayyit ? Jelas, ini salah satu bentuk untuk memecah belah umat Islam terutama untuk menghancurkan pondasi madzhab Syafi’i yang memang paling banyak di anut kaum Muslimin termasuk paling banyak di anut oleh Dzurriyah Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.

Pertama, sudah jelas bahwa Imam asy-Syafi’i memakruhkan (bukan mengharamkan) hal diatas, artinya adalah apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan akan mendapat pahala. Apa yang dimakruhkan ?

Kedua, al-Ma’tam berasal dari kata “atama – ya’timu” yang bermakna ‘apabila dikumpulkan antara dua perkara”. Ma’tam asalnya adalah setiap perkumpulan (perhimpunan) dari laki-laki atau perempuan baik dalam hal kesedihan maupun kegembiraan. Kemudian pakar-pakar lughah, hanya mengkhususkan pada perhimpunan perempuan pada orang mati. al-Jauhari mengatakan ; ma’tam menurut orang arab adalah perempuan-perempuan yang berkumpul (berhimpun) dalam hal kebaikan dan keburukan. Ibnu Barri - tidak bisa di cegah agar ma’tam dipahami dengan makna wanita yang meratap, kesedihan, ratapan dan tangisan sebab sesungguhnya wanita karena untuk itu mereka berkumpul, dan kesedihan itulah yang juga membuat mereka berkumpul.  [1]

Ketiga, Imam asy-Syafi’i menghukumi makruh atas illat yang beliau sebutkan sendiri yakni “yujaddidul huzn wa yukalliful mu’nah (memperbaharui kesedihan dan membebani biaya)",   apabila tidak ada illat maka hukum makruh itu juga tidak ada, sebab kaidah ushul fiqh mengatakan :

“al-‘Illatu tadillu ‘alaal Hukmi yakni illat itu menunjukkan atas hukum”.

Jadi, sekali lagi tidak ada pengharaman Tahlilan oleh Imam asy-Syafifi rahimahullah.

PENJELASAN HABIB MUNZIR AL-MUSAWA

Imam Syafii tak menghendaki orang berkumpul kumpul dirumah duka karena akan menambah dukanya, mereka membicarakan masa masa kehidupan si mayit, jasa baiknya, ujungnya mereka menyesali takdir Allah, menyesali kematian almarhum,

Itu yang dimaksud Imam Syafii', bukan kumpulan para tetangga dirumahnya untuk mendoakan si mayit, kumpulan dzikir kalimat tauhid, alqur'an, dan dzikir-dzikir lainnya untuk mendoakan si mayit dan itu sangat meringankan beban keluarga si mayit, mereka senang tetangganya masih meramaikan rumah mereka yg senyap sepeninggal si mayit., dan mereka berdoa untuk si mayit bersama sama, ini tak pernah ditentang oleh Imam Syafii, bahkan Rasul saw melakukan takziyah pada yg wafat dan mendoakannya, bedanya masa sekarang adalah ditentukan waktunya, tidak lain adalah karena muslimin mempunyai kesibukan masing masing, maka agar kumpul ramai ramai walau 15 menit / setengah jam, berdoa bersama lalu pulang kerumah masing masing dan selesai tanpa berdesakan tinggal dirumah duka hingga berjam jam menyibukkan keluarga si mayit.

Dan mengenai ucapan Imam Syafii itu sebagaimana diatas, itupun beliau tak mengharamkannya, hanya tak menyukai kumpul- dirumah almarhum dengan berbicara panjang lebar,

Imam Syafii tak pernah menentang kumpulan dzikir dirumah almarhum untuk mendoakannya, cuma wahaby saja yg mengharamkannya tanpa dalil dan mencari cari dalil yang bisa dicocok-cocokkan dan dimirip-miripkan lalu jadilah fatwa baru tanpa ilmu. [Majelis Rasulullah]

PERHATIAN : banyak tulisan di internet yang katanya ucapan Imam asy-Syafi’i namun ternyata sebagiannya bukan berasal dari kitab Imam asy-Syafi’i tetapi kitab ‘ulama Syafi’iyah (I’anatuth Thalibin karya Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi) dan apa yang ada dalam pembahasan kitab tersebut adalah dihukumi makruh (bukan haram) –tapi bukan tahlilan-.

[1]. Lihat ; Lisanul ‘Arab (4/12)

Fatwa Imam Syafi’i tentang Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan

NOV 19
Posted by wahonot

Oleh : ustadz Rasul dahri

Majlis kenduri arwah lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati.  Kebiasaannya diadakan sama ada pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati.  Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyedari bahawa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.

Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 146, tercatit pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:

وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْرِ
“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu.  Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.

Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar (ائمة العلماء الشافعية) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahawa yang sewajarnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran, kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:

وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.
“Aku suka kalau jiran si Mati atau saudara mara si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka.  Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.

Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)

“Abdullah bin Ja’far berkata:

Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: 

Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyebukkan (kesusahan)”.

Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.

Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar dan ramai.  Tentunya tidak dipertikaikan bahawa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. 

Telah dinyatakan juga di dalam kitab (اعانة الطالبين) jld. 2. hlm. 146:

وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ

“Imam Syafie berkata lagi: 

Dibenci bertetamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.

Seterusnya di dalam kitab (اعانة الطالبين)  juz. 2. hlm. 146 – 147,

Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:

وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat puluh harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.

Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie.  Oleh itu, mereka yang mendakwa bermazhab Syafie sewajarnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini sebagai mematuhi wasiat imam yang agung ini.

Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 145-146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:

وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .

“Dan tidak boleh diragukan lagi bahawa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terdedah (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.

Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul  .(خول)  Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:

مَا  يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ

“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”.

Lihat: اعانة الطالبين juz 2 hlm. 145.

Di dalam kitab fikh (حاشية القليوبي) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab  قليوبى - عميرة) -(حاشيتان  juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:

قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.

“Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: 

Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” iaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuklah (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.

Di dalam kitab (الفقه على المذاهب الاربعة)  jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:

وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ .

“Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, iaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan).  Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.

Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si Mati.  Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu', masalah cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi' (مبتدع) "pembuat atau aktivis bid'ah" sehingga amalan ini tidak mahu dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan tegahannya dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.

Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah.  Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka-suka (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berpandukan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta'ala telah memberi amaran yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang ramai yang tidak ada dalil atau suruhannya dari syara sebagaimana firmanNya:

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan (majoriti) orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah.  Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)".
Al-An'am, 6:116.      
           
Begitu juga sesuatu amalan yang disangkakan ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah.  Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil).  Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah".
Al-Jasiyah, 45:18-19.
           
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berpandukan kepada andaian mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang sahih untuk dinilai sama ada haram atau halal, sunnah atau bid'ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah.  Memandangkan polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan  dan ditanyakan kepada penulis, maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar. 

Dalam membincangkan isu ini pula, maka penulis tumpukan kepada kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana ramai mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahawa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.

Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan sahaja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasuklah mereka yang masih tersalah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

WASIAT IBN 'UMAR (Radhiallahu 'Anhuma)

Ada beberapa ulama menyangka bahawa pernah diriwayatkan dari Ibn 'Umar radhiallahu 'anhuma bahawasanya beliau berwasiat apabila beliau wafat (meninggal dunia) supaya dibacakan di atas kuburnya surah al-Fatihah dan beberapa ayat terakhir dari surah al-Baqarah. 

Athar Dari Ibn 'Umar

Athar dari Ibn 'Umar inilah antara yang dijadikan hujjah oleh mereka yang menghalalkan perbuatan menghadiahkan pahala bacaan al-Fatihah (al-Quran) atau bacaan bertahlil untuk arwah orang-orang yang telah mati.

Menurut penelitian para ulama hadis dan kalangan ulama Ahli sunnah wal Jamaah, ternyata athar dari Ibn ‘Umar ini adalah batil kerana bertentangan dengan amalan para sahabat radiallahu 'anhum.  Athar ini juga didapati terlalu lemah dan syaaz (bertentangan dengan hadis sahih), maka athar ini tidak dapat diterima untuk dijadikan hujjah, menghalalkan amalan menghadiahkan pahala bacaan al-Quran untuk arwah dan bertahlil beramai-ramai untuk orang mati sebagaimana yang diamalkan oleh sebahagian besar masyarakat Islam sejak sekian lama.

 Riwayat ini juga tidak pernah diterima walaupun oleh seorang sahabat dan para ulama Ahli Sunnah wal Jamaah sebagaimana keterangan di bawah ini:

وَاَمَّا مَا يَرْوِيْ عَنِ بْنِ عُمَرَ اَنَّهُ اُوْصِيَ بِقِرَاءَ ةِ الْفَاتِحَةِ وَخَوَاتِمَ الْبَقَرَةِ عَلَى قَبْرِهِ فَهُوَ اَثَرٌ شَاذٌ لَمْ يَصِحْ سَنَدُهُ وَلَمْ يُوَافِقهُ عَلَيْهِ اَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ.

"Dan apa yang telah diriwayatkan dari Ibn 'Umar bahawasanya beliau mewasiatkan agar dibacakan al-Fatihah dan ayat-ayat terakhir dari surah al-Baqarah di atas kuburnya, maka itu adalah athar yang syaaz (tidak sahih) dan tidak sahih pula sanadnya.  Dan tidak pernah dipersetujui (diterima) walaupun oleh seorang sahabat."[1]        

Hadis Da'if

Begitu juga tidak ada suruhan membacakan al-Quran kepada orang mati atau yang sedang nazak.  Adapun hadis yang menyuruh agar dibacakan ayat al-Quran kepada orang yang sedang nazak atau orang yang telah mati terutamanya surah Yasin adalah merupakan hadis lemah.  Di dalam sanad hadis ini terdapat seorang yang bernama Saad yang dikenali oleh ulama hadis sebagai Abu 'Uthman.  Dia telah dipastikan oleh ulama hadis sebagai orang yang tidak diketahui keadaannya (مجهول الحال).  Hadis yang dimaksudkan ialah:

اِقْرَؤُوْهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ.

"Bacakanlah oleh kamu (surah Yasin) ke atas orang yang hampir mati dari kalangan kamu". Hadith lemah.[2]           

Menurut hadis yang sahih, perkara yang sunnah dilakukan kepada orang nazak (bukan orang mati) ialah mengajarkan kalimah tauhid sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis di bawah ini:

لَقِّنُوْا عَلَى مَوْتَاكُمْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ

"Ajarkanlah oleh kamu orang-orang yang nazak di kalangan kamu dengan kalimah:  La ilaha illallah".[3]
               
Adapun membacakan al-Quran ke atas orang mati telah diketahui ia perbuatan yang diharamkan oleh Imam Syafie dan sama sekali tidak ada nas yang mengizinkan untuk melakukan perbuatan tersebut malah bertentangan dengan nas al-Quran sebagaimana di bawah ini:

اِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ الْمَوْتَى.

"Sesungguhnya engkau tidak boleh menjadikan orang-orang yang telah mati itu mendengar".[AN NAML, 27:80.]

Melalui hujah-hujah di atas adalah jelas bahawa kenduri tahlilan hanyalah merupakan amalan tradisi sesuatu bangsa.  Ia kemudian dianggap sebagai amalan agama kerana ramai yang mengamalkannya.  Tetapi pada hakikatnya ia bukanlah suruhan atau amalan sunnah sebagaimana yang disangka oleh sebahagian masyarakat yang tidak mengkaji asal usul kenduri tahlilan tersebut.

Ada juga beberapa riwayat mengenai suruhan bacaan surah al-Fatihah, surah al-Ikhlas, surah al-Falaq dan surah an-Nas kemudian pahalanya dihadiahkan kepada arwah orang yang telah mati.  Riwayat-riwayat tentang perkara ini juga tidak sah (batil) kerana ianya juga bertentangan dengan al-Quran, hadis yang sahih dan perbuatan (amalan) para sahabat, tabi'in dan tabi'ut at-tabi'in (para salaf asSoleh) dikurun al-mufadalah (kurun terbaik).  Antara hujjah untuk menguat dan menghalalkan perbuatan mereka ialah hadis berikut:

مَنْ قَرَاَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ اَلْفَ مَرَّةٍ فَقَدْ اشْتَرَى نَفْسَهُ مِنَ النَّاسِ (حديث موضوع)

"Barangsiapa yang membaca Qulhuwallahu Ahad sebanyak seribu kali, maka sesungguhnya ia telah membebaskan dirinya dari api neraka".  (Hadis Palsu).

[1].  Lihat:  شرح المهذب Jld. 10.  Hlm. 429.  Ali as-Subki.

[2].  H/R Abu Daud (2714).  Al-Janaiz.  Ibn Majah (1438).Hadis Lemah.

[3].  H/R Muslim (1527), al-Janaiz.  Turmizi (18980).  al-Janaiz.  Abu  Daud (2710) al-Janaiz.  Nasaii (1803).  al-Janaiz,  Ibn Majah (1430).  Ahmad (10570P)

Sumber: http://www.rasuldahri.com
Diupload kembali oleh : http://www.wahonot.wordpress.com