Sunday 27 October 2019

Agama adalah nasihat


Rasulullah SAW bersabda: "Agama adalah nasihat."

Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa?''

Beliau menjawab, ''Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan manusia pada umumnya.'' (HR Muslim).

Nasihat secara bahasa berasal dari kata an-nushu yang berarti al-khulush (murni). 

Secara istilah, nasihat ialah suatu ungkapan untuk menyatakan keinginan berbuat baik kepada orang yang dinasihati.

Demikian tulis Imam Ibnul Atsir. Allah SWT mensyariatkan kaum Muslimin untuk saling menasihati, sebagaimana tertulis dalam firman-Nya: 

''... dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al-Ashr [103]: 3).

Ayat-ayat lain tentang nasihat juga terdapat dalam Alquran, misalnya, dalam QS Al-A'raf [7] ayat 62 dan 69.

"Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” ―QS. 7:62



Tafsir QS. Al A’raaf (7) : 62. 

Oleh Kementrian Agama RI 

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Nuh menegaskan kepada kaumnya bahwa dia mendapat tugas dari Allah untuk menyampaikan perintah-perintah Tuhannya agar manusia beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada hari kemudian, kepada Rasul-rasul yang diutus Allah, kepada malaikat-malaikat Allah dan menyampaikan juga hukum-hukum yang Allah tentukan baik yang berkenaan dengan ibadat maupun yang berkenan dengan muamalat. Nabi Nuh dalam menyampaikan tugasnya disertai dengan ancaman halus berupa nasihat-nasihat kepada kaumnya agar takut kepada siksaan Allah sebagai balasan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepadanya, serta mendustakan Rasul-rasul-Nya. Nabi Nuh menegaskan pula bahwa ia benar-benar mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh kaumnya, semuanya itu diketahuinya dari Allah. Demikian gigihnya Nabi Nuh dalam meyakinkan kaumnya.


Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk memberi peringatan kepadamu? Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung. ” ―QS. 7:69


Tafsir QS. Al A’raaf (7) : 69. 

Oleh Kementrian Agama RI 

Dalam ayat ini, Allah menerangkan kecaman Nabi Hud kepada pemuka-pemuka kaumnya, bahwa tidak patut mereka merasa heran dan ragu-ragu terhadap kedatangan peringatan dan pengajaran dari Tuhan yang dibawa oleh seorang laki-laki di antara mereka. Pengajaran Allah itu datang kepada mereka justru pada saat mereka berada dalam kesesatan. Semestinya mereka tidak perlu ragu kepada pribadi orang yang membawa seruan. Hendaknya mereka mempergunakan akal pikiran untuk memperhatikan seruan yang dibawa kepada mereka itu yaitu seruan yang benar, seruan yang menyelamatkan diri mereka dari azab Allah. Ia juga mengingatkan mereka akan nikmat dan rahmat Allah, bahwa mereka bukan saja sebagai ahli waris kaum Nuh yang diselamatkan Allah dari topan karena keimanan mereka kepada-Nya, tetapi juga Allah melebihkan mereka dengan kekuatan fisik serta tubuh yang besar. Oleh sebab itu hendaklah mereka bersyukur kepada Allah dengan bertakwa kepada-Nya. Kalau mereka tidak bersyukur, Allah akan menjatuhkan azab-Nya sebagaimana Allah menjatuhkan azab kepada kaum Nuh yang ingkar dan menggantikan kedudukannya dengan bangsa lain. Mereka diingatkan kepada nikmat Allah itu agar mereka bersyukur dengan menyembah-Nya seikhlas-ikhlasnya sehingga mereka menjauhi kemusyrikan dengan meninggalkan penyembahan berhala. Dengan demikian mereka harus meninggalkan penyembahan berhala untuk mencapai kebahagiaan pada hari kemudian dan mendapat tempat pada sisi Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur kepada nikmat-Nya.


Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tamim bin Aus ad-Daryra, 

Rasulullah SAW bersabda: "Agama adalah nasihat."

Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa?''

Beliau menjawab, ''Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan manusia pada umumnya.'' (HR Muslim).

Hadis ini sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar, karena di dalamnya terkandung bahwa tiang agama Islam dan penopangnya adalah nasihat. Dengan adanya nasihat maka agama Islam akan senantiasa termanifestasi dalam jiwa kaum Muslimin, namun apabila nasihat itu tidak ada, maka kekurangan akan menimpa kaum Muslimin dalam setiap aspek kehidupannya.

Bila kita perhatikan pula, dalam hadis di atas terdapat lima peruntukan nasihat, yaitu nasihat untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan manusia pada umumnya.

Pertama, nasihat untuk Allah. 

Maksudnya adalah beriman kepada-Nya, mengesakan-Nya, menjadikan niat ikhlas semata karena-Nya di dalam mengamalkan perbuatan baik, dan beribadah kepada-Nya dengan penuh ketaatan dan pengagungan.

Kedua, nasihat untuk kitab-Nya. 

Maksudnya adalah beriman kepada semua kitab-kitab samawi (langit) yang diturunkan dari sisi Allah SWT secara global.

Ketiga, nasihat untuk Rasul-Nya (Muhammad). 

Maksudnya adalah membenarkan kenabiannya, menaati perintahnya, menjauhi segala larangannya, menghidupkan sunahnya, memahami, mempraktikkan dan menyiarkannya, serta berakhlak sesuai dengan akhlak beliau yang mulia.

Keempat, nasihat untuk pemimpin kaum Muslimin. 

Maksudnya adalah membantu mereka atas kewajiban yang mereka emban, memberikan masukan, dan mengingatkan tatkala mereka lupa. Juga mencegah mereka dari perbuatan zalim dengan cara yang baik.

Dan terakhir, nasihat untuk manusia pada umumnya. 

Maksudnya adalah dengan mengajak pada kebaikan, menutup aib mereka, dan tidak berbuat ghibah (menggunjing) kepada sesama manusia. Wallahu a'lam.

sumber : Pusat Data Republika

Saturday 19 October 2019

Kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa


Nasihat Imam al-Ghazali untuk Penguasa 

Jumat 17 Maret 2017 17:0 WIB Share: 

Banyak sudah para pemikir klasik yang memberi nasihat kepada penguasa. Kita mengenal Nicolo Machiavelli (1469-1527) yang menulis buku The Prince berisikan saran-saran bagaimana mendapat dan mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara: berbohong, memfitnah, bahkan menghabisi lawan politiknya. Terjadi pro-kontra mengenai karya Machiavelli ini. Yang jelas karya ini membuka kedok betapa menggiurkannya kekuasaan itu bagi yang mencari atau hendak mempertahankannya.

Sekitar 3 abad sebelum Machiavelli, Imam al-Ghazali telah lebih dulu menuliskan nasihatnya untuk penguasa. Berbeda dari Machiavelli yang menyarankan untuk menghalalkan segala cara dan menafikan moralitas dalam kekuasaan, Imam al-Ghazali menekankan pesan keadilan kepada para penguasa. Yang menakjubkan beliau lebih dahulu mengkritik para ulama sebagai biang kerusakan rakyat dan penguasa. Paling tidak dua kali beliau menyebutkannya dalam kitab Ihya’ Ulumid Din. 

Pertama, Ihya’ Juz 2 halaman 238: 

ما فسدت الرعية إلا بفساد الملوك وما فسدت الملوك إلا بفساد العلماء 

"Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama." 

Kedua, Ihya’ Juz 2 halaman 357: ‎ففساد الرعايا بفساد الملوك وفساد الملوك بفساد العلماء وفساد العلماء باستيلاء حب المال والجاه ومن استولى عليه حب الدنيا لم يقدر على الحسبة على الأراذل فكيف على الملوك والأكابر والله المستعان على كل حال 

"Maka kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu karena kecintaan pada harta dan kedudukan. Sesiapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal." 

Imam al-Ghazali melakukan introspeksi kepada dirinya dan para sejawatnya: sudahkah para ulama menjalankan fungsi dengan benar sehingga tidak rusak penguasa dan rakyat? 
Dalam kitab al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk, terhadap penguasa Imam Ghazali menasihati dengan mengutip riwayat Nabi: 

"Keadilan penguasa meski hanya satu hari lebih aku senangi ketimbang beribadah selama 70 tahun". 

Imam al-Ghazali mengutip sejumlah hadits Nabi soal keadilan penguasa hingga tibalah beliau menulis sesuatu yang sangat mengejutkan (halaman 44):

 ‎والسلطان العادل من عدل بين العباد، وحذر من الجور والفساد، والسلطان الظالم شؤم لا يبقى ملكه ولا يدوم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم) . وفي التواريخ أن المجوس ملكوا العالم أربعة آلاف سنة وكانت المملكة فيهم وإنما دامت المملكة بعدلهم في الرعية، وحفظهم بالسوية، وإنهم ما كانوا يرون الظلم والجور في دينهم وملتهم جائز وعمروا بعدلهم البلاد، وأنصفوا العباد. وقد جاء في الخبر أن الله جلّ ذكره أوحى إلى داود عليه السلام أن آنْهِ قومك عن سب ملوك العجم فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادي. فينبغي أن تعلم أن عمارة الدنيا وخرابها من الملوك فإذا كان السلطان عادلاً عمرت الدنيا وأمنت الرعايا كما كانت عليه في عهد أزدشير وأفريدون وبهرام كور وكسرى أنو شروان. وإذا كان السلطان جائراً خربت الدنيا كما كانت في عهد الضحاك وافراسيان وبرزدكنها الخاطىء وأمثال هؤلاء، وهكذا إلى أن استولى أهل الإسلام وغلبوا العجم وأزاحوهم عن بلادهم وعن الملك وقويت دولة دين الإسلام، ببركة نبينا محمد عليه الصلاة والسلام، وذلك في عهد خلافة عمر بن الخطاب رضي الله عنه. 

"Penguasa adil itu yang memberikan keadilan dan kepada sesama hamba dan tidak melakukan hal sebaliknya, karena penguasa zalim tidak akan bertahan lama berdasarkan Hadits Nabi: 

"kekuasaan itu bertahan bersama kekufuran tapi tidak bersama kezaliman". 

"Dalam sejarah tercatat bahwa Majusi bertahan selama 4 ribu tahun menguasai dunia. Ini karena mereka mempertahankan keadilan bersama rakyatnya. Sistem keagamaan mereka tidak membolehkan kezaliman dan melalui keadilan mereka mengembangkan peradaban dan kesejahteraannya." 
"Dalam satu riwayat Allah berfirman kepada Nabi Daud: ‘Wahai Daud, beritahu bangsamu untuk tidak bicara hal-hal negatif tentang Persia. Merekalah yang membangun peradaban dunia hingga hambaKu bisa hidup di dalamnya’." 

"Anda mesti paham bahwa maju atau mundurnya itu tergantung penguasa; kalau penguasa adil maka semuanya nyaman dan aman seperti yang terjadi pada masa Raja Azdasyir, Afridun, Bahram Kur, Kisra dan Raja lainnya yang seperti mereka. Namun di tangan penguasa zalim yang terjadi kebalikannya seperti bisa kita lihat pada masa Dahhak dan Afrasiyan. Maka kekuasaan negeri Islam kemudian menaklukkan Persia dengan barakah Nabi Muhammad, pada masa Khalifah Umar bin Khattab." 

Saya ingin akhiri dengan kutipan kisah menarik ini yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk halaman 20:

 حضر بعض الزهاد بين يدي خليفة، فقال له: عظني فقال: يا أمير المؤمنين إني سافرت الصين وكان ملك الصين قد أصابه الصمم وذهب سمعه فسمعته يقول يوماً وهو يبكي: والله ما أبكي لزوال سمعي وإنما أبكي لمظلوم يقف ببابي يستغيث فلا أسمع استغاثته، ولكن الشكر لله إذ بصري سالم. وأمر منادياً ينادي ألا كل من كانت له ظلامة فليلبس ثوباً أحمر. فكان يركب الفيل فكل من رأى عليه ثوباً أحمر دعاه واستمع شكواه وأنصفه من خصمائه. فانظر يا أمير المؤمنين إلى شفقة ذلك الكافر على عباد الله وأنت مؤمن من أهل بيت النبوة فأنظر كيف تريد أن تكون شفقتك على رعيتك. 

"Sejumlah orang zuhud datang ke Khalifah yang meminta saran dari mereka. Salah seorang berkata: 

"Wahai Amirul Mu'minin, saya pernah mengunjungi negeri Cina. Raja mereka menjadi tuli pendengarannya dan Raja sangat bersedih. Namun Raja Cina ini berkata bahwa "aku bersedih bukan karena hilangnya pendengaranku, tapi boleh jadi ada pencari keadilan yang dizalami yang berhenti di depan pintu istanaku tapi aku tidak bisa mendengarnya. Tapi syukurlah mataku masih bisa melihat." 

"Kemudian Raja memberi perintah siapa yang hendak protes atas kezaliman yang menimpanya harus memakai baju merah (agar diketahui oleh Raja). Raja kemudian blusukan menemui rakyatnya dengan mengendarai gajah, dan menemui mereka yang berbaju merah." 

"Orang zuhud yang bercerita kisah ini kepada Khalifah kemudian berkata: "Wahai Amirul Mu'minin, ini tindakan bijak penguasa kafir kepada rakyatnya, bagaimana dengan anda yang orang beriman dan keturunan Nabi Muhammad? Sudahkan anda memperhatikan rakyat anda?" 

Maaf, anda jangan marah sama saya kenapa Imam al-Ghazali justru menjadikan contoh penguasa adil itu dari golongan orang kafir baik di Persia maupun di Cina. Saya hanya mengutip apa adanya. Mari sama-sama kita ambil pelajaran saja. Ngaji itu lebih enak daripada ngomongin politik sambil ngomel gak karuan. Jadi, pertanyaannya kita mau mengikuti nasihat Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi kekuasaan, atau mau mengikuti al-Ghazali yang menekankan prinsip keadilan dalam kekuasaan? 

Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/76217/nasihat-imam-al-ghazali-untuk-penguasa
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Sunday 6 October 2019

Obat hati


Ayat-Ayat Al Qur’an Sebagai Penyembuh

Semua ayat Al-Qur`an adalah obat yang bisa menyembuhkan. Namun, ada beberapa ayat atau surat dari Al-Qur`an yang lebih dikhususkan karena memiliki keutamaan sebagai obat penyembuh, misalnya surat Al-fatihah. Allah berfirman

ﻭَﻧُﻨَﺰّﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺂﺀٌ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻟّﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻭَﻻَ ﻳَﺰِﻳﺪُ ﺍﻟﻈّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ﺇَﻻّ ﺧَﺴَﺎﺭﺍً

Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. Al-Israa’: 82).
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqith menjelaskan bahwa maksud obat dalam ayat ini adalah obat untuk penyakit fisik dan jiwa. Beliau berkata

ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻳَﺸْﻤَﻞُ ﻛَﻮْﻧَﻪُ ﺷِﻔَﺎﺀً ﻟِﻠْﻘَﻠْﺐِ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮَﺍﺿِﻪِ ; ﻛَﺎﻟﺸَّﻚِّ ﻭَﺍﻟﻨِّﻔَﺎﻕِ ﻭَﻏَﻴْﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ، ﻭَﻛَﻮْﻧَﻪُ ﺷِﻔَﺎﺀً ﻟِﻠْﺄَﺟْﺴَﺎﻡِ ﺇِﺫَﺍ ﺭُﻗِﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺑِﻪِ ، ﻛَﻤَﺎ ﺗَﺪُﻝُّ ﻟَﻪُ ﻗِﺼَّﺔُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺭَﻗَﻰ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﺍﻟﻠَّﺪِﻳﻎَ ﺑِﺎﻟْﻔَﺎﺗِﺤَﺔِ ، ﻭَﻫِﻲَ ﺻَﺤِﻴﺤَﺔٌ ﻣَﺸْﻬُﻮﺭَﺓٌ

“Obat yang mencakup obat bagi penyakit hati/jiwa, seperti keraguan, kemunafikan, dan perkara lainnya. Bisa menjadi obat bagi jasmani jika dilakukan ruqyah kepada orang yang sakit. Sebagaimana kisah seseorang yang terkena sengatan kalajengking diruqyah dengan membacakan Al-Fatihah. Ini adalah kisah yanh shahih dan masyhur” (Tafsir Adhwaul Bayan).

Kisah Pengobatan Penyakit Jasmani Menggunakan Al Qur’an

Berikut kisah pengobatan penyakit fisik/jasmani dengan menggunakan Al-Fatihah. Kisah ini berasal dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri yang sedang mengobati dengan membacakan bacaan ruqyah kepada orang yang hampir lumpuh karena terkena sengatan kalajengking. Beliau menggunakan Al-Fatihah sebagai bacaan ruqyah dan ternyata atas izin Allah hal tersebut berhasil menyembuhkannya.
Berikut kisahnya dalam hadits,

ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻰ ﺳَﻌِﻴﺪٍ ﺍﻟْﺨُﺪْﺭِﻯِّ ﺃَﻥَّ ﻧَﺎﺳًﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻓﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻤَﺮُّﻭﺍ ﺑِﺤَﻰٍّ ﻣِﻦْ ﺃَﺣْﻴَﺎﺀِ ﺍﻟْﻌَﺮَﺏِ ﻓَﺎﺳْﺘَﻀَﺎﻓُﻮﻫُﻢْ ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﻀِﻴﻔُﻮﻫُﻢْ . ﻓَﻘَﺎﻟُﻮﺍ ﻟَﻬُﻢْ ﻫَﻞْ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﺭَﺍﻕٍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺳَﻴِّﺪَ ﺍﻟْﺤَﻰِّ ﻟَﺪِﻳﻎٌ ﺃَﻭْ ﻣُﺼَﺎﺏٌ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻧَﻌَﻢْ ﻓَﺄَﺗَﺎﻩُ ﻓَﺮَﻗَﺎﻩُ ﺑِﻔَﺎﺗِﺤَﺔِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻓَﺒَﺮَﺃَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻓَﺄُﻋْﻄِﻰَ ﻗَﻄِﻴﻌًﺎ ﻣِﻦْ ﻏَﻨَﻢٍ ﻓَﺄَﺑَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻘْﺒَﻠَﻬَﺎ . ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺫْﻛُﺮَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟِﻠﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .- ﻓَﺄَﺗَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰَّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﺬَﻛَﺮَ ﺫَﻟِﻚَ ﻟَﻪُ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪِ ﻣَﺎ ﺭَﻗَﻴْﺖُ ﺇِﻻَّ ﺑِﻔَﺎﺗِﺤَﺔِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ . ﻓَﺘَﺒَﺴَّﻢَ ﻭَﻗَﺎﻝَ ‏« ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺩْﺭَﺍﻙَ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺭُﻗْﻴَﺔٌ ‏» . ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ ‏« ﺧُﺬُﻭﺍ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻭَﺍﺿْﺮِﺑُﻮﺍ ﻟِﻰ ﺑِﺴَﻬْﻢٍ ﻣَﻌَﻜُﻢْ »

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para sahabat yang mampir, ‘Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah karena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.’ Di antara para sahabat lantas berkata, ‘Iya ada.’ Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al-Fatihah. Pembesar tersebut pun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya -dan disebutkan, ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. 

Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah.’ 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas tersenyum dan berkata, ‘Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah?’ Beliau pun bersabda, ‘Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian’” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kesembuhan Dari Al Qur’an Tergantung Kadar Keimanan

Keberhasilan pengobatan dengan Al-Qur`an sangat terkait dengan keimanan, kalau tidak sembuh bukan Al-Qur`annya yang salah, tetapi keimanan orang yang menggunakan Al-Quran yang kurang. 

Bisa jadi ada orang yang terlihat shalih tetapi kita tidak tahu keimanannya. Hal ini mencakup baik yang mengobati dan yang diobati. Jadi jika ada orang yang terkena penyakit karena disengat kalajengking atau yang lebih ringan misalnya disengat tawon, kemudian ada yang membacakan Al-Fatihah namun ternyata tidak sembuh. 

Maka jangan salahkan Al-Fatihah jika tidak sembuh, tetapi salahkan tangan lemah yang tidak mahir memegang pedang tajam. Jika iman, amal, dan tawakkal sebaik Abu Sa’id Al-Khudri maka kita bisa berharap penyakit tersebut sembuh.

Ada beberapa ayat lainnya yang juga memiliki keutamaan sebagai obat dari penyakit fisik dan jiwa, misalnya surat Al-Muwadzatain, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat kursi untuk mengobati sihir. Selain itu, masih banyak ayat lain yang memiliki keutamaan masing-masing. Demikian semoga bermanfaat.
@Yogyakarta Tercinta
Penulis: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslim.or.id


Penyakit Hati Menurut Islam

Hati adalah salah satu organ tubuh manusia, dalam islam sendiri hati adalah penentu sifat seseorang. Baik buruknya seseorang berasal dari dalam hatinya. Dalam bahasa Arab, hati disebut dengan Qalbu. Kita sering mendengar betapa pentingnya organ hati tempat lahirnya perasaan tersebut. Bahkan Rasulullah SAW saat masa kecil dibersihkan hatinya dari berbagai kotoran oleh Malaikat JIbril (baca kisah teladan nabi Muhammad SAW dan keutamaan cinta kepada Rasulullah SAW bagi umat islam) .

Hati juga tempat bersemayamnya syaitan dan keburukan yang disebut juga dengan penyakit hati. Lantas apakah sebenarnya penyakit hati dalam islam dan apa bahayanya penyakit ini jika tidak segera diobati? Simak penjelasan berikut ini. (baca juga obat hati dalam islam). Berikut adalah penjelasan mengenai penyakit hati menurut islam :

Pengertian Penyakit Hati

Penyakit hati adalah penyakit atau gangguan yang ada pada hati dan perasaan manusia. Penyakit hati dalam islam bukanlah penyakit hati yang menyangkut kesehatan seperti penyakit liver, chirhosis, dan lain sebagainya. Penyakit yang ada dalam hati setiap orang bisa mempengaruhi perilaku dan perbuatannya. Perihal mengenai penyakit hati ini disebutkan dalam firman Allah SWT berikut ini

وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَىٰ رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُونَ

Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir. (QS At Taubah : 125)

Dalam firman tersebut disebutkan bahwa penyakit dalam hati seseorang bisa membwa pada kekafiran dan mati dalam keadaan kafir. Hal ini tentunya tidak diinginkan oleh setiap muslim manapun. Oleh sebab itu selayaknya sebagai muslim kita harus senantiasa menjaga hati dari berbagai kotoran dan penyakit yang bisa merusak keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT. (baca fungsi iman kepada Allah SWT dan manfaat beriman kepada allah SWT)

 Jenis Penyakit Hati

Agar bisa menjaga hati kita dan senantiasa waspada pada penyakit-penyakit hati kita harus mengetahui apa saja penyakit hati tersebut. Berikut ini adalah beberapa penyakit hati yang biasa terjadi pada manusia dan berbahaya jika dibiarkan begitu saja.

  1. Hasad, Iri dan Dengki

Ketiga jenis penyakit ini hampir sama dimana perasaan hasad atau iri adalah orang yang tidak suka jika seseorang mengalami kebahagiaan sementara perilaku atau sifat dengki lebih parah lagi, ia bukan hanya tidak senang jika seseorang mendapatkan kebahagiaan, ia juga akan mendoakan agar kebahagiaan hilang dari orang tersebut dan berpindah pada dirinya. Perintah untuk menjauhi penyakit hati ini terkandung dalam firman Allah ayat berikut

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا