Sunday 13 March 2016

Menyebut-Menyebut Orang-orang yang telah Mati

“Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.

Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (2)


Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (2)
UmmatiOktober 18th, 2011, 8:56 am169 comments 2990 views ★★★★★

Rontoknya Firanda Atas Klaim Bahwa Para Ulama Berkonsesnsus Allah Berada di Langit
… Lanjutan Sekelumit Upaya Mengungkap Tipu Muslihat Firanda …

Oleh: Ustadz Ahmad Syahid

Firanda VS Ahmad Syahid – Ummatipress.com

Di kajian bagian pertama sudah dibahas bagaimana tulisan Ustadz Firanda yang ternyata dibangun di atas hujjah-hujjah dusta dan palsu sehingga tulisan tersebut menjadi tanpa arti atau hampa makna.  Maka di bagian kedua ini akan disajikan kajian lebih menukik dan lebih mendalam tentang gugur dan rontoknya argument yang dipertunjukkan Firanda. Rontoknya Firanda atas Klaim Bahwa Para Ulama Berkonsesnsus Allah Berada di Langit, ini terbukti dengan sangat telak dan transparan alias jelas cetho welo-welo tanpa ragu atas rontoknya argument Ustadz Firanda. Mari kita lihat bersama dan silahkan kaji kembali bagi anda yang sudah memiliki perangkat ilmunya….

Ustadz Firanda mengatakan :

Perkataan salaf dan para ulama mutaqoddimin yang menunjukan bahwa Allah berada di atas langit

Adapun perkataan para ulama yang menunjukan bahwasanya Allah berada di atas langit maka sangatlah banyak. Perkataan mereka telah dikumpulkan oleh Al-Imam Al-Muhaddits Ad-Dzahabi As-Syafii dalam kitabnya Al-’Uluw li Al-’Aliyyi Al-’Adziim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2414dan http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2413 dua cetakan dengan dua pentahqiq yang berbeda) demikian juga kitab Al-Ijtimaa’ al-Juyuusy Al-islaamiyyah karya Ibnul Qoyyim (bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=2835).

Sungguh dua kitab ini telah mengumpulkan banyak sekali perkataan sahabat, para salaf, dan para ulama dari abad yang berbeda-beda dan dari madzhab yang berbeda-beda.

Oleh karenanya tidak ada seorang ulama salafpun –apalagi para sahabat- yang perkataannya menunjukan bahwasanya Allah tidak berada di atas.

Jawab:
Tahukah Ustadz Firanda jika Penulis kitab Al-Uluw al-Hafidz adzahabi telah tobat dan meninggalkan kitab itu,  sehingga beliau menulis sebuah risalah yang diberi nama Zaghlul Ilmi ? Dan dalam risalah itu pulalah Adzahabi mencantumkan nasehatnya untuk Ibnu Taimiyah? Lalu kenapa Ustadz Firanda masih menganjurkan Orang untuk mempelajarinya? Tahukah ustadz Firanda jika 98%  sanad dan riwayat atsar yang terdapat dalam kitab al-Uluw adalah tidak sah , Mungkar bahkan PALSU alias MAUDHU`?  Begitu juga halnya dengan kitab Ijtimaa al-juyusy al-Islamiyah percis tidak jauh beda dengan riwayat atau sanad yang terdapat dalam kitab al-uluw, 98%  tidak Sah, Mungkar bahkan Maudhu’.  Kalau tidak percaya silahkan sampaikan atsar dari kedua kitab itu Insya Allah akan saya kasih tahu statusnya, lalu silahkan Ustadz Firanda lakukan cek n recek untuk membuktikan sendiri kebenaran yang coba saya tunjukkan itu.  Hal ini saya sampaikan semata–mata hanya untuk mengingatkan fa dzakkir Fa inna dzikro tanfa’ul mu`minin, semoga Allah memberikan Hidayah kepada kita semua untuk mengikuti kebenaran.

Bukti bahwa Al-Hafidz Adz-Dzhabi telah berlepas diri dari kitab yang dikarangnnya (Al-Uluw) terdapat dalam sampul manuskrip kitab tersebut :

Inilah bukti scan manuskrip tentang Adz-dzhabi bertaubat dari faham sesat.
(1)

(2)

Terjemah dari bukti scan manuskrip Adz-dzhabi taubat dari faham sesat:

KEMBALINYA  (TOBATNYA) ADZ-DZAHABI DARI KITAB INI ( AL-ULUW LIL ALIYYIL GHOFFAR )

Dalam sampul manuskrip kitab Al-Uluw lil Aliyyil Ghoffar karya Adz-Dzahabi terdapat pernyataan bahwa Imam Adz-dzahabi telah kembali
( tobat) dari Aqidah yang ditulisnya dalam kitab tersebut. Pernyataan ini ditulis langsung  oleh pembuat Manuskrip (nasikhul kitab) tahun 804 hijriyah yaitu : Al-hafidz Ibn Nashir ad-din ad-dimasqi Abu Abdullah Muhammad bin Abdillah bin muhammad bin Ahmad al-qoisi al-hamawi as-asyafi’i yang meninggal pada Tahun 842 hijriyah. (1)

Beliau berkata: berkata penulis (ad-adzahabi-pent)  baginya Allah atas apa yang aku dapatkan dari tulisan yang terdapat dalam catatan / pinggir halaman kitab (hamisy) yang sudah tercetak (al-musawwadah) , tahun 798 hijriyah bahwasannya didalamnya terdapat Hadist-hadist yang sangat lemah dan perkataan – perkataan dari firqoh-firqoh yang jauh melebar  dalam ibarat-ibarat yang mereka gunakan , maka saya tidak sepakat atas ibarat-ibarat itu dan saya juga tidak menjadi Muqollid kepada mereka , semoga Allah mengampuni mereka , dan saya tidak berpegang (al-tazim) dengannya (ibarat-ibarat itu – pent) atas apa yang aku kumpuylkan selama ini, dengan inilah (keputusan ini-pent) aku ber-agama dan aku tahu bahwasannya Allah tidak ada yang menyerupai-NYA sesuatu pun, Allah maha suci dan maha tinggi.

Bioghrafi beliau terdapat dala kitab Al-dou’ al-lami’ li ahli qorni tasi’ juz 8 halaman 103 karya al-Hafidz As-sakhowi beliau berkata : Adz-Dzahabi adalah salah satu gurunya.
Perhatikan pernyataan Adz-dzahabi diatas:  “Saya tidak sepakat dengan ibarat (pernyataan-pernyataan) itu, dan saya pun tidak mengikuti mereka (pernyataan-pernataan yang dinukil Adz-Dzahabi dalam Al-uluw yang pernah beliau tulis-pent).

Lantas siapakah para Imam yang nama-namanya beliau kumpulkan dalam Al-uluw? Jika Adz-Dzahabi sendiri tidak sepakat dan tidak mengikutinya? Segera buang jauh- jauh kitab Al-uluw dan kitab Ijtima Juyusy al-islamiyah.

Berikut adalah risalah Adz-Dzahabi Untuk Ibnu Taimiyah:
Dalam risalah Bayân Zghl al-‘Ilm, adz-Dzahabi menuliskan ungkapan yang diperuntukan bagi Ibn Taimiyah sebagai berikut [Secara lengkap dikutip oleh asy-Syaikh Arabi at-Tabban dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, lihat kitab j. 2, h. 9/ bukunya ada sama saya]:

“Hindarkanlah olehmu rasa takabur dan sombong dengan ilmumu. Alangkah bahagianya dirimu jika engkau selamat dari ilmumu sendiri karena engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari musuhmu atau engkau menahan diri dari sesuatu yang datang dari dirimu sendiri. Demi Allah, kedua mataku ini tidak pernah mendapati orang yang lebih luas ilmunya, dan yang lebih kuat kecerdasannya dari seorang yang bernama Ibn Taimiyah. Keistimewaannya ini ditambah lagi dengan sikap zuhudnya dalam makanan, dalam pakaian, dan terhadap perempuan.  Kemudian ditambah lagi dengan konsistensinya dalam membela kebenaran dan berjihad sedapat mungkin walau dalam keadaan apapun.

Sungguh saya sudah lelah dalam menimbang dan mengamati sifat-sifatnya ( Ibn Taimiyah ) ini hingga saya merasa bosan dalam waktu yang sangat panjang. Dan ternyata saya medapatinya mengapa ia dikucilkan oleh para penduduk Mesir dan Syam (sekarang Siria, lebanon, Yordania, dan Palestina) hingga mereka membencinya, menghinanya, mendustakannya, dan bahkan mengkafirkannya, adalah tidak lain karena dia adalah seorang yang takabur, sombong, rakus terhadap kehormatan dalam derajat keilmuan, dan karena sikap dengkinya terhadap para ulama terkemuka. Anda lihat sendiri, alangkah besar bencana yang ditimbulkan oleh sikap “ke-aku-an” dan sikap kecintaan terhadap kehormatan semacam ini!”.

Adapun nasehat adz-Dzahabi terhadap Ibn Taimiyah yang ia tuliskan dalam risalah an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah, secara lengkap dalam terjemahannya sebagai berikut [Teks lebih lengkap dengan aslinya lihat an-Nashîhah adz-Dzahabiyyah dalam dalam kitab Barâ-ah al-Asy’ariyyîn Min ‘Aqâ-id al-Mukhâlifîn, j. 2, h. 9-11]:

“Segala puji bagi Allah di atas kehinaanku ini. Ya Allah berikanlah rahmat bagi diriku, ampunilah diriku atas segala kecerobohanku, peliharalah imanku di dalam diriku.

Oh… Alangkah sengsaranya diriku karena aku sedikit sekali memiliki sifat sedih!!
Oh… Alangkah disayangkan ajaran-ajaran Rasulullah dan orang-orang yang berpegang teguh dengannya telah banyak pergi!!
Oh… Alangkah rindunya diriku kepada saudara-saudara sesama mukmin yang dapat membantuku dalam menangis!!
Oh… Alangkah sedih karena telah hilang orang-orang (saleh) yang merupakan pelita-pelita ilmu, orang-orang yang memiliki sifat-sifat takwa, dan orang-orang yang merupakan gudang-gudang bagi segala kebaikan!!
Oh… Alangkah sedih atas semakin langkanya dirham (mata uang) yang halal dan semakin langkanya teman-teman yang lemah lembut yang menentramkan. Alangkah beruntungnya seorang yang disibukan dengan memperbaiki aibnya sendiri dari pada ia mencari-cari aib orang lain. Dan alangkah celakanya seorang disibukan dengan mencari-cari aib orang lain dari pada ia memperbaiki aibnya sendiri.
Sampai kapan engkau (Wahai Ibn Taimiyah) akan terus memperhatikan kotoran kecil di dalam mata saudara-saudaramu, sementara engkau melupakan cacat besar yang nyata-nyata berada di dalam matamu sendiri?!

Sampai kapan engkau akan selalu memuji dirimu sendiri, memuji-muji pikiran-pikiranmu sendiri, atau hanya memuji-muji ungkapan-ungkapanmu sendiri?! Engkau selalu mencaci-maki para ulama dan mencari-cari aib orang lain, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian menyebut-menyebut orang-orang yang telah mati di antara kalian kecuali dengan sebutan yang baik, karena sesungguhnya mereka telah menyelesaikan apa yang telah mereka perbuat”.

Benar, saya sadar bahwa bisa saja engkau dalam membela dirimu sendiri akan berkata kepadaku: “Sesungguhnya aib itu ada pada diri mereka sendiri, mereka sama sekali tidak pernah merasakan kebenaran ajaran Islam, mereka betul-betul tidak mengetahui kebenaran apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad, memerangi mereka adalah jihad”. Padahal, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti terhadap segala macam kebaikan, yang apa bila kebaikan-kebaikan tersebut dilakukan maka seorang manusia akan menjadi sangat beruntung. Dan sungguh, mereka adalah orang-orang yang tidak mengenal (tidak mengerjakan) kebodohan-kebodohan (kesesatan-kesesatan) yang sama sekali tidak memberikan manfa’at kepada diri mereka. Dan sesungguhnya (Sabda Rasulullah); “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah apa bila ia meninggalkan sesuatu yang tidak memberikan manfa’at bagi dirinya”. (HR. at-Tirmidzi)

Hai Syekh…! (Ibn Taimiyah), demi Allah, berhentilah, janganlah terus mencaci maki kami. Benar, engkau adalah seorang yang pandai memutar argumen dan tajam lidah, engkau tidak pernah mau diam dan tidak tidur. Waspadalah engkau, jangan sampai engkau terjerumus dalam berbagai kesesatan dalam agama. Sungguh, Nabimu (Nabi Muhammad) sangat membenci dan mencaci perkara-perkara [yang ekstrim]. Nabimu melarang kita untuk banyak bertanya ini dan itu. Beliau bersabda: “Sesungguhnya sesuatu yang paling ditakutkan yang aku khawatirkan atas umatku adalah seorang munafik yang tajam lidahnya”. (HR. Ahmad)

Jika banyak bicara tanpa dalil dalam masalah hukum halal dan haram adalah perkara yang akan menjadikan hati itu sangat keras, maka terlebih lagi jika banyak bicara dalam ungkapan-ungkapan [kelompok yang sesat, seperti] kaum al-Yunusiyyah, dan kaum filsafat, maka sudah sangat jelas bahwa itu akan menjadikan hati itu buta.

Demi Allah, kita ini telah menjadi bahan tertawaan di hadapan banyak makhluk Allah. Maka sampai kapan engkau akan terus berbicara hanya mengungkap kekufuran-kekufuran kaum filsafat supaya kita bisa membantah mereka dengan logika kita??

Hai Bung…! Padahal engkau sendiri telah menelan berbagai macam racun kaum filsafat berkali-kali. Sungguh, racun-racun itu telah telah membekas dan menggumpal pada tubuhmu, hingga menjadi bertumpuk pada badanmu.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya diisi dengan tilâwah dan tadabbur, majelis yang isinya menghadirkan rasa takut kepada Allah karena mengingt-Nya, majelis yang isinya diam dalam berfikir.

Oh… Alangkah rindunya kepada majelis yang di dalamnya disebutkan tentang orang-orang saleh, karena sesungguhnya, ketika orang-orang saleh tersebut disebut-sebut namanya maka akan turun rahmat Allah. Bukan sebaliknya, jika orang-orang saleh itu disebut-sebut namanya maka mereka dihinakan, dilecehkan, dan dilaknat.

Pedang al-Hajjaj (Ibn Yusuf ats-Tsaqafi) dan lidah Ibn Hazm adalah laksana dua saudara kandung, yang kedua-duanya engkau satukan menjadi satu kesatuan di dalam dirimu. (Engkau berkata): “Jauhkan kami dari membicarakan tentang “Bid’ah al-Khamîs”, atau tentang “Akl al-Hubûb”, tetapi berbicaralah dengan kami tentang berbagai bid’ah yang kami anggap sebagai sumber kesesatan”. (Engkau berkata); Bahwa apa yang kita bicarakan adalah murni sebagai bagian dari sunnah dan merupakan dasar tauhid, barangsiapa tidak mengetahuinya maka dia seorang yang kafir atau seperti keledai, dan siapa yang tidak mengkafirkan orang semacam itu maka ia juga telah kafir, bahkan kekufurannya lebih buruk dari pada kekufuran Fir’aun. (Engkau berkata); Bahwa orang-orang Nasrani sama seperti kita. Demi Allah, [ajaran engkau ini] telah menjadikan banyak hati dalam keraguan. Seandainya engkau menyelamatkan imanmu dengan dua kalimat syahadat maka engkau adalah orang yang akan mendapat kebahagiaan di akhirat.

Oh… Alangkah sialnya orang yang menjadi pengikutmu, karena ia telah mempersiapkan dirinya sendiri untuk masuk dalam kesesatan (az-Zandaqah) dan kekufuran, terlebih lagi jika yang menjadi pengikutmu tersebut adalah seorang yang lemah dalam ilmu dan agamanya, pemalas, dan bersyahwat besar, namun ia membelamu mati-matian dengan tangan dan lidahnya. Padahal hakekatnya orang semacam ini, dengan segala apa yang ia perbuatan dan apa yang ada di hatinya, adalah musuhmu sendiri. Dan tahukah engkau (wahai Ibn Taimiyah), bahwa mayoritas pengikutmu tidak lain kecuali orang-orang yang “terikat” (orang-orang bodoh) dan lemah akal?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah orang pendusta yang berakal tolol?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah aneh yang serampangan, dan tukang membuat makar?! Atau kalau tidak demikian maka dia adalah seorang yang [terlihat] ahli ibadah dan saleh, namun sebenarnya dia adalah seorang yang tidak paham apapun?! Kalau engkau tidak percaya kepadaku maka periksalah orang-orang yang menjadi pengikutmu tersebut, timbanglah mereka dengan adil…!

Wahai Muslim (yang dimaksud Ibn Taimiyah), adakah layak engkau mendahulukan syahwat keledaimu yang selalu memuji-muji dirimu sendiri?! Sampai kapan engkau akan tetap menemani sifat itu, dan berapa banyak lagi orang-orang saleh yang akan engkau musuhi?! Sampai kapan engkau akan tetap hanya membenarkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang baik yang akan engkau lecehkan?!

Sampai kapan engkau hanya akan mengagungkan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang yang akan engkau kecilkan (hinakan)?!
Sampai kapan engkau akan terus bersahabat dengan sifatmu itu, dan berapa banyak lagi orang-orang zuhud yang akan engkau perangi?!
Sampai kapan engkau hanya akan memuji-muji pernyataan-pernyataan dirimu sendiri dengan berbagai cara, yang demi Allah engkau sendiri tidak pernah memuji hadits-hadits dalam dua kitab shahih (Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim) dengan caramu tersebut?!

Oh… Seandainya hadits-hadits dalam dua kitab shahih tersebut selamat dari keritikmu…! Tetapi sebalikanya, dengan semaumu engkau sering merubah hadits-hadits tersebut, engkau mengatakan ini dla’if, ini tidak benar, atau engkau berkata yang ini harus ditakwil, dan ini harus diingkari.

Tidakkah sekarang ini saatnya bagimu untuk merasa takut?! Bukankah saatnya bagimu sekarang untuk bertaubat dan kembali (kepada Allah)?! Bukankah engkau sekarang sudah dalam umur 70an tahun, dan kematian telah dekat?! Tentu, demi Allah, aku mungkin mengira bahwa engkau tidak akan pernah ingat kematian, sebaliknya engkau akan mencaci-maki seorang yang ingat akan mati! Aku juga mengira bahwa mungkin engkau tidak akan menerima ucapanku dan mendengarkan nesehatku ini, sebaliknya engkau akan tetap memiliki keinginan besar untuk membantah lembaran ini dengan tulisan berjilid-jilid, dan engkau akan merinci bagiku berbagai rincian bahasan. Engkau akan tetap selalu membela diri dan merasa menang, sehingga aku sendiri akan berkata kepadaku: “Sekarang, sudah cukup, diamlah…!”.

Jika penilaian terhadap dirimu dari diri saya seperti ini, padahal saya sangat menyangi dan mencintaimu, maka bagaimana penilaian para musuhmu terhadap dirimu?! Padahal para musuhmu, demi Allah, mereka adalah orang-orang saleh, orang-orang cerdas, orang-orang terkemuka, sementara para pembelamu adalah orang-orang fasik, para pendusta, orang-orang tolol, dan para pengangguran yang tidak berilmu.

Aku sangat ridla jika engkau mencaci-maki diriku dengan terang-terangan, namun diam-diam engkau mengambil manfaat dari nasehatku ini. “Sungguh Allah telah memberikan rahmat kepada seseorang, jika ada orang lain yang menghadiahkan (memperlihatkan) kepadanya akan aib-aibnya”. Karena memang saya adalah manusia banyak dosa. Alangkah celakanya saya jika saya tidak bertaubat. Alangkah celaka saya jika aib-aibku dibukakan oleh Allah yang maha mengetahui segala hal yang ghaib. Obatnya bagiku tiada lain kecuali ampunan dari Allah, taufik-Nya, dan hidayah-Nya.

Segala puji hanya milik Allah, Shalawat dan salam semoga terlimpah atas tuan kita Muhammad, penutup para Nabi, atas keluarganya, dan para sahabatnya sekalian. Terjemahan ini saya Nukil dari situs “kenapa takut Bid`ah . word Press . com”

Lanjutan:
Ustadz Firanda mengatakan :

Perkataan para ulama Asyaa’iroh yang mengakui Allah di atas langit

Ternyata kita dapati bahwasanya sebagian pembesar madzhab Asyaa’iroh juga mengakui keberadaan Allah di atas langit. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitabnya Al-Asmaa’ wa As-Sifaat (2/308)

Beliau berkata, “Dan atsar dari salaf seperti hal ini (yaitu bahwasanya Allah berisitwa di atas ‘arsy -pent) banyak. Dan madzhab As-Syafii radhiallahu ‘anhu menunjukan di atas jalan ini, dan ini madzhab Ahmad bin Hanbal…Dan Abu Hasan Ali bin Ismaa’iil Al-’Asy’ari berpendapat bahwasanya Allah melakukan suatu fi’il (perbuatan) di ‘arsy yang Allah namakan istiwaa’… Dan Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi At-Thobari dan juga para ahli nadzor bahwasanya Allah ta’aalaa di langit di atas segala sesuatu, ber-istiwa di atas ‘arsynya, yaitu maknanya Allah di atas ‘arsy. Dan makna istiwaa’ adalah tinggi di atas sebagaimana jika dikatakan “aku beristiwa’ di atas hewan”, “aku beristiwa di atas atap”, maknanya yaitu aku tinggi di atasnya, “Matahari beristiwa di atas kepalaku”

Dari penjelasan Al-Imam Al-Baihaqi di atas nampak ;
– Banyaknya atsar dari salaf tentang Allah di atas.
– Ini merupakan madzhab As-Syafi’i dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal
– Ini merupakan madzhab sebagian pembesar Asyaa’iroh seperti Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abul Hasan At-Thobari.

Jawab: sebaiknya Ustadz Firanda juga menyertakan perkataan Al-Imam Al-baihaqi dalam Asma wa sifat halaman 410 , beliau berkata : ” dan Dzat yang Qodim yang maha suci adalah Tinggi diatas Arsy tidak duduk , tidak juga berdiri , tidak menempel tidak juga terpisah ( wala mubayin lil arsy) dari Arsy , jika yang diinginkan dengan mubayanah itu adalah Makna menjauh atau berpisah , karena menempel dan terpisah merupakan kebalikannya , dan berdiri dan duduk adalah sifat Jisim (tubuh-pent) , dan Allah azza wa jalla satu somad yang tidak dilahirkan tidak pula melahirkan , yang tidak ada satupun bandingannya tidak boleh disifati dengan sifat-sifat Jisim (tubuh-pent) , kemudian pensifatan akan ketinggian Allah tidak hanya disebutkan oleh Al-baihaqi tetapi juga dikatakan oleh Ibnu mahdi dan Imam At-thobari dimana maksud mereka semuanya adalah ketinggian martabat dan kedudukan sama sekali bukan ketiunggian fisik dan dzat sebagaimana yang diinginkan oleh Ustadz firanda , jadi qoul yang dinukil oleh Ustadz Firanda ini justru mendukung pendapat Ulama Asy’ariyah yang menetapkan ketinggian martabat kedudukan dan kekuasaan.

Begitu juga jika Ustadz Firanda menyertakan perkataan Imam al- Baihaqi dalam kitabnya al-i`tiqod ” halaman 69 – 73 tepatnya pada halaman 72 beliau katakan : ringkasnya (bil-jumlah) wajib diketahui bahwa ” Istiwa allah ” yang maha suci dan maha tinggi bukanlah Istiwa yang lurus dari yang bengkok bukan pula berdiam dalam tempat , bukan pula menempel / menyatu disalah satu makhluknya , akan tetapi Istiwa diatas Arsy nya sebagaimana diberitakan tanpa Bagaimana dan DIMANA tidak menyatu tidak pula terpisah (ba inun) dari seluruh Makhluknya dan bahwasannya kedatangan Allah bukanlah kedatangan dari tempat ke tempat dan tanpa Gerakan dst….. perhatikanlah beliau menafikan kata DIMANA ,  ” kesimpulan dari atsar yang dibawakan oleh Ustadz Firanda ini beserta isinya menunjukan jika Al-Baihaqi dan Ulama yang disebutkannya menginginkan Istiwa dalam makna: ”ketinggian Martabat , kedudukan dan kekuasaan.  Sama sekali bukan ketinggian Fisik (Dzat) sebagaimana yang di inginkan Ustadz Firanda.

Ustadz Firanda mengatakan:

Pertama : Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah

Merupakan perkara yang mengherankan bahwasanya diantara para ulama yang menyebutkan konsensus salaf tersebut adalah Imam besar kaum Asyaa’iroh yaitu Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari yang hidup di abad ke empat Hijriah. Dialah nenek moyang mereka, guru pertama mereka, sehingga merekapun berintisab (berafiliasi) kepada nama beliau menjadi firqoh Asyaa’iroh.

Berkata Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:

Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf) berkonsensus (ijmak) … bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأرْضَ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk : 16).

Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).

Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

Dia bersama kamu dimana saja kamu berada (QS Al-Hadiid : 4)
Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka berada” (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234)

Ini merupakan hikayat kumpulan perkataan Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah

….

Dan bahwasanya Allah –subhaanahu- diatas arsyNya, sebagaimana Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى‏

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan Allah memiliki dua tangan tanpa ditanyakan bagaimananya… dan Allah memiliki wajah… (Maqoolaatul Islaamiyiin 1/345).

Jawab:

Kebesaran nama Al- Imam Abul Hasan Al-Asy`ari membuat begitu banyak orang yang ingin mendimpleng / menumpang dalam nama besarnya. Bahkan tidak jarang perkataan-perkataan aneh muncul dalam kitab-kitab yang dinisbatkan kepada beliau, sehingga banyak Ahli dalam lingkungan Ulama Asy’ariyah meragukan keaslian kitab-kitab yang dinisbatkan kepada beliau. Hal ini pulalah yang kemudian mendorong Al-Hafidz Ibnu Asakir untuk menjelaskan kebohongan-kebohongan yang dinisbatkan kepada Sang Imam , beliau menulis sebuah kitab Tabyinul Kadzib al- Muftari ‘ala al- Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.

Akidah shahihah yang dianut salaf as-shalih adalah Allah ada tanpa tempat dan arah. Kekeliruan Ustadz Firanda adalah menukil perkataan sang Imam dari kitab-kitab yang oleh kalangan Asy’ariyah sendiri kitab-kitab tersebut tidak digunakan sebagai pegangan Utama seperti kitab Al-ibanah , Maqolat Islamiyyin , risalah ila ahli tsagr dan yang lainnya.  Kalangan Asy’ariah hanya menggunakan pernyataan-pernyataan Sang Imam yang betul-betul Tsabit dari sang Imam bukan kitab-kitab Muharraf (yang telah diubah ) oleh tangan–tangan Jail seperti hasyawiyun.  Sebab Pemahaman teks Mutasyabihat secara literal bukanlah Manhaj al- Imam Abul Hasan Al- Asy`ari,   seperti yang dinyatakan oleh al-Imam Ibnu ‘Asakir dalam kitab Tabyinul kadzibil muftari, begitu juga ditegaskan oleh al-imam tajuddin al-subki dalam tobaqot syafi`iyah.

Coba perhatikan pernyataan Imam abul hasan al-asy`ari:

”Allah ada tanpa tempat , menciptakan Arsy dan kursi tanpa butuh kepada keduanya sebagai tempat , dan Allah setelah menciptakan tempat , tetap seperti sebelum menciptakan tempat.” ( tabyinul kadzibil muftari hal 150).

Oleh karena itu bagi siapapun termasuk ustadz Firanda jika ingin mengambil Hujjah Untuk mempelajari ( menyerang ) Asy’ariyyin ambil dan pelajarilah Tabyinul Kadzib karya Al-Hafidz Ibn ‘Asakir.  Sehingga apa yang didakwakan Ustadz firanda bahwa : para Ulama Asy’ariyah pun mengakui Jika Allah berada dilangit, adalah dakwa’an yang tertolak karena kitab-kitab yang dijadikan sandaran oleh ustadz firanda, dikalangan kalangan Asy’ariyah pun tidak menggunakannya sebagai pegangan Utama, karena kitab-kitab tersebut tidak Tsabit dan tidak lagi murni Asli karangan Sang Imam.

Bukti kedua yang dijadikan Hujjah oleh ustadz Firanda:

Kedua : Abu Bakr Al-Baaqillaani (wafat 403 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah

“Jika dikatakan : Apakah kalian mengatakan bahwa Alla berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”, dan Allah berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?”

Beliau berkata, “Kalau seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …

(Sebagaimana dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-’Uluw 258)).

Jawab :

1. pernyataan beliau bahwa Allah ada di mana–mana adalah jawaban terhadap Jahmiyah dan Mu`tazilah yang menyatakan Allah berada dimana – mana sementara Aqidah Ahlu Sunnah ( Asy`ariyah ) adalah Allah ada tanpa tempat dan tanpa Arah.

2. pernyataan beliau : Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”, adalah Manhaj atau metodologi Tafwidh (salah satu dari dua metodologi yang digunakan Ulama asy’ariyah dalam memahami ayat Mutasyabihat) pernyataan beliau ini merupakan bantahan bagi kaum Mujassimah (wahabiyah) yang mengartikan Istawa dengan arti yang Bathil mereka mengartikan Istawa dengan : Istiqroru Dzat ( berdiamnya Dzat Allah dilangit ).

3. bukti yang dibawakan Ustadz Firanda ini justru menjadi Bumerang bagi Ustadz Firanda dan golongannnya yang mengartikan Istawa dengan makna Istiqror ( berada / berdiam ) karena Al- Baqilani tidak menentukan arti secara Khusus untuk lafadz Istawa , yang beliau katakan adalah : ” Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”,  perhatikan:  sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”, inilah yang disebut Tafwidh yang juga di tolak oleh Ustadz Firanda dan kelompoknya.

Bukti ke tiga yang dibawakan Ustadz Firanda:

Ketiga : Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H)

Beliau berkata dalam kitabnyaAl-I’tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama bab Al-Qoul fi Al-Istiwaaa’ (hal 116)

“Dan maksud Allah adalah Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman “Berjalanlah kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian merasa aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?”.

Jawab : lagi-lagi ustadz Firanda menyebut Nama Al-Hafidz Al- baihaqi untuk mendukung hipotesanya , dan Sangat disayangkan Ustadz firanda hanya mengambil pernyataan Al- Baihaqi yang belum tuntas demi mendukung kesimpulan Bathilnya. Saya minta Ustadz firanda untuk membaca tulisan Al-Baihaqi secara utuh dalam bab Al-qoul fil Istiwa jangan main  penggal–penggal begitu karena akan memberikan pemahaman yang salah.  Coba baca terus sampai halaman berikutnya yang menunjukkan jika Al-baihaqi  ”hanya”  sedang menyebutkan ayat dan hadist yang berkaitan dengan istawa belum kepada kesimpulan, sebagaimana potongan bab oleh Ustadz Firanda seakan itu adalah kesimpulan sang Imam al- baihaqi dalam memahami Istawa.

Sementara kesimpulan yang shahih dari sang Imam adalah : ” ( wa Fil Jumlah ……) kesimpulannya adalah wajib diketahui bahwa Itiwa Allah yang maha suci dan maha tinggi, bukanlah Istiwa tegak dari yang bengkok, bukan pula Ber Diam (berada) pada tempat, tidak pula bersentuhan dengan suatu apapun dari makhluknya, akan tetapi Istiwa diatas Arsynya sebagaimana yang diberitakan tanpa bagaimana dan Dimana, tidak menyatu tidak pula terpisah (ba inun) dari seluruh Makhluknya. Dan datangnya Allah bukanlah datang dari tempat ke tempat , dan datangnya Allah tidak dengan Gerakan, dan turunnya pun bukan dengan berpindah, dan nafsnya bukanlah Tubuh (jisim) dan Wajahnya tidak lah gambar (shuroh), dan tangannya Bukanlah Anggota Tubuh, dan matanya bukanlah bola mata, hanya saja sifat-sifat ini telah ditentukan maka kami mengatakannya dengan menafikan bagaimananya.  Allah berfirman:  “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya dan ber Firman: “Tidak ada yang sebanding dengannya dan Allah berfirman : “Apakah engkau tahu nama baginya… ”

Coba bandingkan Aqidah sang Imam (al-Baihaqi) dengan Aqidah Salafiyyin ( Wahabiyyin ) Aqidah sang Ustadz  Firanda yang mengatakan Istiwa dengan Istiqror ( berdiam / bertempat ) yang mengatakan Istiwa dengan qu’ud ( jongkok) Julus ( duduk) sebagaimana dinyatakan Imam Imam mereka :  mengatakan Allah duduk di kursi, disebutkan dalam kitab ” Fathul Majid ” hal. 356, penulis abdurrahman bin hasan bin muhammad bin abdil Wahhab. Cet. Darusalam riyad. Dan masih banyak lainnya seperti hamud at- tuwajiri , bin baz dll

Kesimpulan: bukti ketiga yang dibawakan Ustadz Firanda ini Justru menjadi senjata makan tuan , yang membabat habis Aqidah Ustadz firanda dan kelompoknya yang mengartikan Istiwa dengan berdiam bertempat dan duduk dikursi diatas Arsy. Dari tiga bukti yang dibawakan sang Ustadz ini ternyata memiliki pemahaman yang berbeda dengan apa yang dipahami Ustadz Firanda cs , sehingga Klaim Ustadz Firanda lagi-lagi gugur karena sang Ustadz salah dalam memahaminya akibat dari pemahaman yang dipenggal–penggal.

Terlebih Imam Al- baihaqi dalam kitab inipun, setelah menyebutkan kesimpulan tadi , memberikan kaidah yang tidak digunakan bahkan tidak ditampilkan oleh ustadz firanda yaitu beliau berkata : “Telah mengabarkan kepada kami muhammad bin abdullah al-hafidz memberitakan kepada kami abu bakar bin muhammad bin ahmad bin ba lawih , mengatakan kepada kami muhammad bin bisr bin mator mengatakan al-haitsam bin Khorijah mengatakan kepada kami al-walid bin muslim beliau berkata : telah ditanya Al- Auza’i , Imam malik , sufyan ats-tsauri dan laits bin sa`ad tentang ayat-ayat ini ( ayat mutasyabihat / Istiwa dll-pent) mereka semuanya menjawab:  ”Ammiruha kama Jaa’at tanpa bagaimana”.  Perhatikanlah para Imam itu menjawab : ”lewati saja sebagaimana dia datang tanpa membagaimanakan”.  Kemudian untuk mempertegas ini Al-baihaqi juga menyebutkan dengan sanadnya dari sufyan bin Uyainah bahwa:  Setiap sifat yang Allah sifati dirinya dalam KITAB-nya maka penjelasannya (tafsirnya) adalah membacanya lalu diam.

Bandingkan dengan metodologi kaum salafiyyin wahabiyyin termasuk Ustadz firanda yang mengharuskan ayat-ayat itu difahami dengan Dzahir dan hakekat dari setiap lafadz dalam ayat itu ( lihat risalah at-tadmuriyah – Ibnu taimiyah).  Bahkan mereka mensifati Allah dengan Riwayat-riwayat yang tidak sah, isroiliyat , Mungkar dan maudhu’  seperti yang tertera dalam Kitab Tauhid Karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kitab Rodd alal jahmiyah karya Ad-darimi kitab al-Uluw adz-dzahabi,  kitab Ijtima’  juyusy Ibnu Qoyyim dan kitab-kitab pegangan mereka lainnya seperti risalah al-hamawiyah dan al-Arsy karya Ibnu Taimiyah, sangat jauh dari petunjuk para Aimmah.

Sampai disini kiranya tanggapan (bantahan) atas beberapa materi pokok, dalam tulisan Ustadz Firanda dimana Klaim :

1. Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa Allah berada di atas.  —————  Hanya berdasar kepada Riwayat – riwayat yang Tidak Sah, Mungkar bahkan Palsu ( maudhu’)  sebagaimana telah kita kaji bersama ternyata dari 13  riwayat yang dibawakan Ustadz Firanda itu semuanya GUGUR

2. Perkataan para ulama Islam (dari kalangan Sahabat, para Tabi’iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas sangatlah banyak.  —————-——  Klaim ini pun gugur, karena dua kitab yang dijadikan sandaran Oleh Ustadz Firanda ( al-Uluw dan Ijtima` al-juyusy ) hanya bersandarkan kepada riwayat-riwayat yang tidak Sah , Mungkar bahkan Maudhu`

3. Penjelasan bahwa ternyata sebagian pembesar dari para ulama Asyaa’iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di atas langit.  ——————— klaim ini juga Gugur, karena:

1. Ustadz Firanda dalam pembuktian perkataan Ulama Asy’ariyah , mengambil sandaran dari kitab-kitab yang tidak digunakan oleh ulama Asy`ariyah.

2. ustadz Firanda salah dalam memahami perkataan Ulama Asy`ariyah dalam hal ini Al-baqilani yang menggunakan Manhaj Tafwidh,  kesalahan  pemahaman Ustadz Firanda diakibatkan karena ” membaca ” tidak secara utuh, tidak secara komprehensif sebagaimana telah dibuktikan dalam kajian di atas.

3. Ustadz Firanda hanya mengambil potongan-potongan (cut paste) pembahasan para Ulama Asy`ariyah, terlebih Sang Ustadz Firanda tidak mengindahkan / memperhatikan Metodologi yang ditetapkan oleh Ulama Ahlu Sunnah (Asy’ariyah).  Sehingga ustadz Firanda tidak mampu membedakan antara Manhaj Tafwidh dan Manhaj Takwil yang kedua-duanya merupakan metodologi yang digunakan Ulama Ahlu Sunnah (Asy’ariyah).

Itulah inti dari tulisan Ustadz firanda yang semunya sudah Gugur.  Dan yang berikutnya adalah kajian atau kritisi Ustadz Firanda terhadap tulisan Ustadz Abu salafy. Untuk memperjelas persoalan mungkin perlu juga untuk disimak mudah-mudahan ada faidahnya.

B E R S A M B U N G …..

Tags: adz-Dzahabi Ahlussunnah Firanda hadits ulama Ulama Asy'ariyah ulama wahabi ustadz ustadz Firanda

Related Post "Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (2)"

Umat Islam, Sadarlah Adu Domba Syi’ah dan Sunni

Cara Menghadapi Syi’ah, Mencontoh Sikap Ulama Aswaja

Syi’ah Rafidhoh dan Syi’ah Non Rafidhoh di Indonesia

Untuk Kaum Syi’ah, Ketahuilah Ahlussunnah Bukan Nawaashib
« Prev

Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (1)
Next »

Firanda Pendusta, Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (3)
Facebook Comments

KABAR TERANYAR

Memahami Hadis yang Terkesan Diskriminatif, Bagaimana Caranya ?
Maret 10th, 2016, 11:14 am

Para Perempuan Islam dan Katolik Berkumpul Semai Perdamaian
Maret 10th, 2016, 10:56 am

Akhi…, Bersyukurlah Atas Persatuan dan Hidup Damai di Indonesia
Maret 7th, 2016, 10:43 am

MUI Harus Menunjukkan Warna Islam Ramah Bukan Islam Marah
Maret 7th, 2016, 10:22 am
INSPIRASI ISLAMMore

Memahami Hadis yang Terkesan Diskriminatif, Bagaimana Caranya ?
Maret 10th, 2016, 11:14 am

MUI Harus Menunjukkan Warna Islam Ramah Bukan Islam Marah
Maret 7th, 2016, 10:22 am

Belajar Islam kepada Guru Yang Tepat Akan Selamat dari Radikalisme
Februari 29th, 2016, 5:57 am
ARSIP

Arsip 
SPAM DIBLOKIR

4.313 spam
diblok oleh Akismet
Kiyai NU Harus Menggandeng Anak Muda Untuk Berdakwah di Internet
Siapa Grand Syaikh Al-Azhar ?
Belajar Islam kepada Guru Yang Tepat Akan Selamat dari Radikalisme
Memahami Hadis yang Terkesan Diskriminatif, Bagaimana Caranya ?
Para Perempuan Islam dan Katolik Berkumpul Semai Perdamaian
Akhi…, Bersyukurlah Atas Persatuan dan Hidup Damai di Indonesia
MUI Harus Menunjukkan Warna Islam Ramah Bukan Islam Marah
Seminar Internasional Bersama Syaikh Taufiq Ramadhan Al-Buthi
Profil dan Kisah Mbah Kramat Luar Batang
Tolak Serahkan Data WhatsApp, Bos Facebook Ditangkap Polisi
HOME LINK ASWAJA ABOUT US CONTACT US RADIO PENGOBATAN LOGIN SITEMAP
© 2014 Powered by Ummati Press

Top

Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (1)

Î
Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (1)
UmmatiOktober 10th, 2011, 9:24 pm975 comments 11620 views ★★★★★

Firanda Berdusta Atas Nama Konsesnsus Ulama Tentang Allah Berada di Langit
… Sekelumit Upaya Mengungkap Tipu Muslihat Firanda …

Oleh: Ustadz Ahmad Syahid

Firanda adalah sebuah nama yang sedang tenar di kalangan kaum Salafi Wahabi.  Sejak hobby-nya menghujat-hujat Abu Salafy,  nama Firanda langsung nanjak dan ngetop di tengah kaumnya yang dielu-elukan sebagai pahlawan Salafi Wahabi.  Bukan itu saja, Firanda  oleh kaumnya selalu dibanggakan di mana-mana dan dianggap sebagai reppresentasi kebenaran Salafi Wahabi. Benarkah anggapan yang demikian prestisius itu pantas disandang oleh Ustadz Firanda?

Nah,  untuk mengungkap siapa sejatinya Ustadz Firanda, mari kita simak presentasi fakta-fakta tersembunyi di balik artikel-artikel Firanda. Tulisan yang diwarnai dengan warna merah di bawah ini adalah cuplikan dari artikel Ustadz Firanda yang penuh dusta dan tipu muslihat yang dapat mengecoh ummat Islam yang masih pemula. Artikel-artikel ini ditulis  sedemikian antusias plus dibumbui dengan referensi-referensi sehingga dalam pandangan orang-orang awam artikel ini seakan-akan bernilai ilmiyyah. Padahal jika diteliti ternyata artikel ini adalah artikel tanpa makna yang menyelisihi kebenaran.

Tulisan warna hitam adalah tanggapan dari Ahmad Syahid, sedangkan yang warna merah adalah tulisan Ustadz Firanda seorang aktifis Wahabi di Indonesia.

Silahkan simak dan teliti sendiri bagi anda yang punya ilmunya….

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, semoga salawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah.

Sungguh merinding tatkala membaca tulisan-tulisan tentang dimana Allah yang ditulis oleh Abu Salafy dan pemilik blog salafytobat. Karena tulisan-tulisan mereka penuh dengan tuduhan-tuduhan serta manipulasi fakta yang ada. Ternyata mulut-mulut mereka sangatlah kotor. Cercaan dan makian memenuhi tulisan-tulisan kedua orang ini yang pada hakekatnya mereka berdua takut menunjukkan hakekat mereka berdua. Begitulah kalau seseorang merasa berdosa dan bersalah takut ketahuan batang hidungnya. Allahul Musta’aan.

Sesungguhnya apa yang mereka berdua perjuangkan hanyalah lagu lama yang telah dilantunkan oleh pendahulu-pendahulu mereka yang bingung sendiri dengan aqidah mereka.

Maka pada kesempatan kali ini penulis mencoba mengungkapkan manipulasi fakta yang telah mereka lakukan dan mengungkap kerancuan cara berpikir kedua orang ini.
Dan tulisan kali ini terkonsentrasikan pada pengakuan Abu Salafi cs bahwasanya aqidah mereka tentang dimana Allah adalah aqidah yang disuarakan oleh sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu dan juga sebagian ulama salaf. Sebagaimana pengakuan mereka ini tercantumkan dalam :http://abusalafy.wordpress.com/2010/04/11/ternyata-tuhan-itu-tidak-di-langit-8/ (dalam sebuah artikel yang berjudul : Ternyata Tuhan itu tidak di langit).

Sebelum membantah pengakuan mereka tersebut maka kami akan menjelaskan tentang 3 point yang sangat penting yang merupakan muqoddimah (pengangtar) untuk membuktikan tipu muslihat mereka. Point-point tersebut adalah :
1. Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa Allah berada di atas.
2. Perkataan para ulama Islam (dari kalangan sahabat, para tabi’iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas sangatlah banyak.
3. Penjelasan bahwa ternyata sebagian pembesar dari para ulama Asyaa’iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di atas langit.

Ijmak para ulama tentang keberadaan Allah di atas langit

Keberadaan Allah di atas langit merupakan konsensus para ulama Islam. Bahkan telah dinukilkan ijmak mereka oleh banyak para ulama Islam. Diantara mereka: …… dst.

————————

=================

Komentar Ustadz Ahmad Syahid:

Bismilahirohmanirohim,

Al-hamdulillah wa sholatu wasalmu `ala Sayyidina wa Mawlana Muhammad Sallallahu alaihi wasallam, wa ala alihi wa shohbihi waman tabi`ahum bi Ihsanin ila yaumiddin, amma ba`du.

Tulisan ini ditulis semata–mata hanya untuk meluruskan pemahaman atas apa yang diklaim oleh Ustadz Firanda dalam situsnya. Andai tulisan ustadz Firanda ini tidak bisa diakses kecuali hanya oleh orang-orang tertentu , niscaya saya tidak akan capai–capai atau repot  membuat bantahan ini. Tulisan ini ditujukan untuk mengungkap apakah benar klaim dan dakwa’an (anggapan) Ustadz Firanda soal :

1.  Para ulama Islam telah berkonsensus bahwa Allah berada di atas.

2.  Perkataan para ulama Islam (dari kalangan sahabat, para tabi’iin, dan yang lainnya) tentang keberadaan Allah di atas sangatlah banyak.

3.  Penjelasan bahwa ternyata sebagian pembesar dari para ulama Asyaa’iroh juga berpendapat bahwasanya Allah berada di atas langit.

Apakah klim ini benar  atau itu hanya sekedar Klaim kosong yang mengelabui Ummat? Atau sekedar tipu muslihat untuk menyesatkan Ummat? Mari kita lihat, baca dan kaji secermat mungkin agar mendapatkan kesimpulan yang benar,  yaitu kesimpulan yang mengedepankan aspek obyektifitas dan sportifitas demi menemukan kebenaran sejati.

Sebelum membahas lebih lanjut saya ingin menyampaikan beberapa kaidah penting yang digunakan oleh Ulama Ahlu Sunnah Wal-jama’ah
( Asya’irah ) dalam menetapkan Asma dan sifat Allah, sebagai sebuah manhaj atau metodologi dalam memahami kitab dan Sunnah. Hal ini juga untuk memberikan patokan bagi siapa pun yang ingin mengetahui Aqidah Ahlu Sunnah ( asy’ariyah) sehingga tidak menggunakan prasangka dalam memahami pernyataan-pernyataan Ulama asy’ariyah.

Seperti kita ketahui bersama Agama Islam yang kita anut ini, bersandarkan kepada apa yang diriwayatkan (Al-qur’an dan
As-sunnah ), sama sekali tidak bersandar kepada akal-akalan, namun tentu saja tanpa membuang pentingnya akal dalam memahami apa yang diriwayatkan. Di samping itu Ulama Asy’ariyah memahami bahwa Agama ini terdiri dari tiga hal utama yang tidak bisa dipisahkan :

1. Masalah pokok/ushul ( Aqidah ) sebagai pondasi dasar.

2. Masalah Furu’  atau cabang atau yang biasa disebut dengan Mua’amalat baik antara hamba dengan Tuhan atau antara hamba itu sendiri.

3. Masalah kamaliyat atau kesempurnaan atau yang biasa disebut dengan Akhlak atau prilaku.

1). Dalam masalah ushul/pokok (Aqidah) Ulama Asy’ariyah hanya menerima riwayat (dalil-dalil) yang bersifat Pasti ( qoth’i) seperti hadist Mutawatir hadits Mustafidh dan Hadits Masyhur.

2). Dalam masalah Furu’  atau cabang atau Mu’amalat Ulama Asy’ariyah di samping menggunakan Riwayat yang Qoth’i juga menggunakan riwayat yang bersifat Dzonni seperti hadits Ahad.

3). Dalam masalah Kamaliyat atau kesempurnaan atau Akhlak dan prilaku di samping menggunakan dua jenis Hadits di atas, Ulama Asy’ariyah juga menggunakan Hadits Dha’if sebagai hujjah dan tentu ada syarat-syarat untuk digunakannya Hadits Dha’if tersebut sebagai Hujjah dalam masalah kamaliyyat.
Dengan kaidah–kaidah ini Ulama Ahlu Sunnah ( Asy’ariyah ) berjalan memahami dan mengamalkan Agama. Terkait dengan tulisan Ustadz Firanda tentang ”keberadaan Allah” Ulama Asy’ariyah hanya menerima Riwayat atau hadits – Hadist yang bersifat Qoth`i (pasti ) baik dari sisi periwayatan maupun dari sisi dalalah (petunjuk dari riwayat),  sebab tulisan Ustadz Firanda ini berkaitan dengan masalah pokok/ushul, masalah yang sangat esensi sebagai Pondasi yang dibangun di atasnya keyakinan-keyakinan.

Mungkin standar Ulama Asy’ariyah ini dibawah standar yang ditetapkan oleh Ulama-Ulama Salafi (Wahabi) dalam memahami Kitab dan Sunnah, karena standar mereka adalah:

hanya menggunakan Hadits-Hadits  Shahih serta membuang jauh Hadits–haditst Dha’if meskipun hanya dalam masalah kamaliyyat.  

Disamping itu Ulama Ahlu Sunnah (Asy’ariyah) juga berpegang kepada Prinsip ”Al-jam’u wa at-taufiq bainal adillah”  menggabungkan dan menselaraskan  antar dalil sepanjang masih bisa dilakukan penggabungan dan penselarasan (al-jam`u wa at-taufiq) antar dalil atau antar Riwayat sepanjang itu pulalah kewajiban penggabungan dan penselarasan antar dalil atau riwayat sesuai dengan Syarat-syarat yang tertera dalam kitab-kitab mereka.

Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu hajar dalam Fathul Bari:  

”Dan penggabungan (antar riwayat dalam masalah yang sama) dikedepankan daripada tarjih (pengguguran salah satu riwayat)”, Fathul Bari juz 13 hal 421.  Harus dilakukan hal senada juga dikatakan oleh Imam an-Nawawi dalam sarh Muslim :

“Tidak ada perbedaan antar ulama bahwa jika dimungkinkan penggabungan antar Hadist maka tidak boleh meninggalkan salah satunya tetapi Wajib penggabungan diantaranya (syarh muslim juz 3 hal. 155)

Hal ini penting saya sampaikan karena melihat cara atau metode Istidlal atau pendalilan Ustadz Firanda dalam Klaim Ijmaknya ini tidak berjalan di atas Manhaj atau metodologi yang digariskan dan digunakan oleh Ulama Ahlu Sunnah (Asy’ariyah). Sebagai contoh Ustadz firanda hanya membawakan perkataan Imam al-Awza’i yang mendukung tujuannya saja,  sementara Ucapan Imam Al-Auza’i yang lainnya tidak dia bawakan.  Cara pendalilan Ustadz firanda seperti ini bukanlah cara pendalilan yang dianut Ulama Ahlu Sunnah (asy’ariyah).  Ala Kulli Hal itulah metode yang digunakan Ustadz Firanda dalam tulisannya ini beliau hanya menyebutkan riwayat yang hanya mendukung maksud yang ingin dicapainya saja tanpa melihat riwayat-riwayat lain yang lebih Shahih.

Baiklah, mari kita kaji dan cermati riwayat-riwayat yang disampaikan Ustadz Firanda yang dijadikannya sebagai Hujjah dan Sandaran dalam menetapkan Kosensus atau Ijmak bahwa: ”Allah berada dilangit.”

Catatan :
1. Ketika saya sebutkan ” Ahlu Sunnah Wal-jama’ah ( Asy’ariyah ) ” maka yang saya maksud adalah (Asy’ariyah, Maturidiyah, Atsariyah dan Sufiyah al-hiqqoh), 4 kelompok inilah yang saya maksud dengan Ahlu Sunnah wal-jama’ah.

2.  Qoul atau perkataan para ulama bukanlah Hujjah Syariyah, Hujjah syar’iyah (sumber hukum) adalah Al-Qur’an al-Karim dan Hadits-hadits  yang Shahih.

Baik kita mulai dengan mengkaji sandaran-sandaran ustadz Firanda dalam klaim Ijmaknya :
Riwayat Pertama yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda untuk klaim adanya Ijmak tentang keberadaan Allah di langit :

Al-Imam Al-Auzaa’i rahimahullah (wafat 157 H)

Al-Auzaa’i berkata : “Ketika kami dahulu – dan para tabi’in masih banyak- kami berkata : Sesungguhnya Allah di atas arsy-Nya, dan kita beriman dengan sifat-sifat-Nya yang datang dalam sunnah”  (Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik) oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)

Tanggapan: Tidak ada keraguan jika al-Imam al-awza’i adalah Ulama besar panutan Ahlu Sunnah (asy`ariyah) yang wajib diikuti, hanya apakah riwayat ini bersifat Qoth’i  (pasti) atau riwayat ini bersifat Dzani ( tidak pasti) yang sama sekali tidak diterima oleh Ulama Ahlu Sunnah? Karena riwayat yang bersifat Dzani tidak bisa dijadikan sandaran dalam masalah aqidah, mari kita kenali rawi-rawi dalam riwayat ini:

Dalam sanad riwayat ini terdapat rawi yang bernama Muhammad bin katsir al-mashishi (urut 4).  al-Mashishi menurut Imam Ahmad hadistnya Mungkar atau meriwayatkan sesuatu yang mungkar hal ini disebutkan oleh ibnu Adi dalam al-Kamil, dan ibnu Adi mengatakan al-mashishi mempunyai riwayat-riwayat dari Ma’mar dan Al-aw-za’i khususnya Hadist-hadist A’dad yang tidak diikuti oleh seorang pun. Demikian juga disebutkan dalam kitab al-jarh wa at-ta’dil juz 8 hal 69, al-mashishi di dha’ifkan oleh Imam ahmad, disifati sangat lemah. Jika para Imam Ahli jarh wa-ta’dil sudah melakukan Jarh seperti ini maka riwayatnya sama sekali tidak bisa diterima apalagi dijadikan Hujjah dalam Aqidah.

Terlebih Dalam riwayat ini al-Mashishi meriwayatkannya dari Ibrohim bin al-haitsam (urut 3), berkata al-Uqoili dalam kitab ad-Du’afa juz 1 hal 274:  dia (Ibrohim al-haitsam) meriwayatkan Hadist yang dianggap Dusta oleh ahli Hadist dan ahlul Hadist menyerangnya dengan periwayatan Hadist yang dianggap dusta itu. Dengan demikian dua orang rawi dalam atsar ini jatuh, al-Mashishi tertuduh meriwayatkan yang Mungkar dan al-Haitsam tertuduh dusta, sehingga hukum atsar ini Maudhu’.  Otomatis hal ini menggugurkan Sandaran pertama Ustadz Firanda dalam Klaim Ijmaknya ini. Ya, gugur!

Riwayat kedua yang dijadikan sandaran oleh Ustadz firanda

Kedua : Qutaibah bin Sa’iid (150-240 H)

Beliau berkata :

هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى

“Ini perkataan para imam di Islam, Sunnah, dan Jama’ah ; kami mengetahui Robb kami di langit yang ketujuh di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di atas ‘arsy beristiwa” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no 434)
Adz-Dzahabi berkata, “Dan Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz ramai di depan pintunya” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103).

Tanggapan: Qutaibah bin Said syeikh Khurosan tidak diragukan ke-imamannya, hanya saja riwayat ini diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Naqosy seorang Pemalsu hadist.  Llihat Lisanul Mizan juz 5 hal 149, an-Naqosy juga disebutkan dalam al-Kasyf al-Hatsist tentang rawi-rawi yang tertuduh dengan pemalsuan dengan nomer 643,  meninggal tahun 351 hijriyah.  Sementara Abu Ahmad al-Hakim meninggal tahun 398 hijriyah terpaut waktu 39 tahun, sehingga tidaklah benar jika dia meriwayatkan dari Abul abbas as-siraj, karena as-siraj lahir pada tahun 218 h meninggal tahun 313 sebagaimana disebutkan dalam Tarikh baghdad juz 1 hal 248.  Artinya ketika as-siraj meninggal al-hakim baru berusia 7 tahun bagaimana bisa shahih riwayatnya? Jelas ucapan ini adalah Dusta yang dibuat an-naqosy, terlebih an-naqosy terkenal sebagai pemalsu !

Saya jadi heran kenapa Ustadz Firanda sebagai salah satu tokoh Salafi (wahabi) Indonesia kok ber-Hujah dengan yang dusta alias Palsu? Dengan demikian Status Hujjah ini: gugur!

Qoul ketiga yang dijadikan sandaran dan Hujjah oleh Ustadz Firanda

Ketiga : Ibnu Qutaibah (213 H- 276 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :

“Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran” (Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395)

Tanggapan: Ibnu Qutaibah seorang Mujassim, lihatlah perkataannya dan perhatikan : “Seluruh umat –baik arab maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan pengajaran”. Perkataan ini sama sekali tidak menunjukkan adanya Ijma’  sebagaimana yang di dakwakan Ustadz firanda. Terlebih Ulama Asy’ariyah hanya menerima Qur`an dan hadist yang bersifat qoth’i sebagai Hujjah dalam Aqidah.  Kalaupun ada Ijma’  ia harus bersandar kepada Qur’an dan hadist, bukan bersandar kepada perkataan seluruh Ummat.  Ibnu Qutaibah mencoba berdalil dengan omongan semua orang baik Hindu, Atheis,  Konghucu dan sebagainya dan ini Bathil. Dengan demikian Status hujjah menjadi Gugur!

Saya jadi semakin heran terhadap ustadz Firanda sampai-sampai igauan Bathil Ibnu Qutaibah pun dijadikan sandaran dalam Aqidah! Apakah Ibnu Qutaibah menganggap seorang Atheis pun ber-Aqidah-kan “Allah di langit”  sehingga berani mengatakan SELURUH UMMAT dst…?”  Apakah Ustadz Firanda pun mengigau seperti ini? Ya akhi jangan main-main lho ini Aqidah pondasi dasar keyakinan.

Qoul ke empat yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda

Keempat : Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimi (wafat 280 H)

Beliau berkata dalam kitab beliau Ar-Rod ‘alal Marriisi
“Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25)

Tanggapan :
1). Abu said Ustman bin said ad-darimi as-sajzi bermadzhab hanbali, dia seorang mujassim musyabih dari golongan Hasywiyah wafat tahun 282 Hijriyah. Konon wafat tahun 280 hijriyah, Tasybih yang jelas terlihat dari Ucapannya : ”bahwa orang yang berada di puncak gunung lebih dekat kepada Allah ketimbang orang yang berdiri di bawah gunung.”  Lihat al- Maqolat il Allamah al-Kautsari hal 282.

Saya Ahmad Syahid katakan: Sungguh ucapan ini bertentangan dengan Hadist shahih di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rosulallah SAW bersabda: ” seorang Hamba Lebih dekat kepada Tuhannya ketika ia dalam keadaan Sujud”,  dan bahkan bertentangan dengan Al- Qur’an:  “Sujudlah dan mendekatlah. ” (qs. Al-alaq. 19).  Dalam ayat ini posisi sujud digandengkan dan diidentikkan dengan kedekatan dengan Allah, ayat ini jelas bertentangan dengan perkataan dan keyakinan Abu said ad-darimi diatas.

2). Status Hujjah gugur karena dua hal:

1. Abu said ad-Darimi menyandarkan aqidahnya ini kepada ucapan ummat islam (entah ummat islam yang mana) dan ucapan Ummat Kafir ( yang tantu aqidahnya berbeda dengan muslimin ). Harusnya Abu Said Ustman ad-Darimi menyandarkan Aqidahnya kepada Qur’an dan Hadist yang shahih atau minmal kepada pernyataan Ulama Muslimin (ahlu Sunnah ), bukan kepada Ucapan orang Kafir.

2. Aqidah abu said ustman ad-darimi bertentangan dengan Qur’an dan Hadist sebagaimana saya sebutkan diatas.

3. Abu Said Ustman ad-Darimi bukanlah Imam Ahlu sunnah yang terkenal itu, sebab Imam ahlu sunnah adalah : Al-imam Al-hafidz Abu Muhammad abdullah bin Abdurohman bin Fadl bin Bahrom ad-Darimi at-Tamimi as-Samarqondi, beliaulah penulis kitab Sunan ad-darimi wafat tahun 255 hijriyah.  Hati-hatilah jangan sampai tercapur aduk antara ad-darimi Imam ahlu sunnah dengan ad-darimi ahlu Bid`ah. Dengan demikian Status hujjah gugur, karena omongan ini keluar dari Ahlul Bid`ah Ustman ad-Darimi yang bertentangan dengan Qur`an dan Hadist diatas.

Qoul ke 5 yang dijadikan sandaran oleh Ustadz Firanda dalam klaim Ijma` nya

Kelima : Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H)

Beliau berkata :

القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”

“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami – dari kalangan Ahlul Hadits yang kami jumpai – bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal 185)

Tanggapan: Qoul ini diriwayatkan oleh ibn Bathoh al-U’kbari nama lengkapnya : Abu Abdullah Ubaidillah ibn Muhammad ibn Bathoh al- U’kbari, seorang Mujassim bermadzhab Hanbali sekaligus seorang pemalsu hadist (wadho’). Dilahirkan tahun 304 dan wafat pada tahun 387 hijriyah. Konon dialah pencetus Aqidah Pembagian Tauhid.  Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Astqolani mengatakan dalam kitabnya Lisanul Mizan juz 4 hal 113: “Aku memikirkan Ibnu Bathoh atas sebuah perkara yang sangat besar hingga kulitku merinding darinya. Kemudian aku tetapkan bahwa dia adalah seorang pemalsu hadist (wadho’) , dan dia mempunyai kebiasaan mencungkil nama-nama para imam ahli hadist. Kemudian dia letakkan Namanya ditempat nama Imam yang dicungkilnya. Begitu juga al-Khotib al-Baghdadi menyebutkan sebuah Hadist di mana sanad hadist tersebut terdapat Ibnu Bathoh, kemudian al-khotib al-baghdadi mengatakan Hadist ini palsu dengan jalur sanad ini, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Bathoh. Ibnu Bathoh meriwayatkan atsar ini dari Ahmad ibn as-Saji.  Al-Albani dalam Mukhtasor al-uluw hal. 223 mengakui bahwa Ahmad ini tidak dikenal alias majhul, status Hujjah GUGUR. Ustadz Firanda kok seneng yang palsu-palsu ya?

Qoul ke enam yang dijadikan Hujjah oleh Ustadz Firanda untuk klaim Ijma’ keberadaan Allah dilangit

Keenam : Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)

Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid 1/254

“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah”

Tanggapan : Ibnu Khuzaimah Mujassim terkenal dan sangat sadis. Beliaulah yang berfatwa Kafirnya orang yang tidak mengakui Bahwa Allah berada di atas langit maka orang tersebut harus dibunuh jika tidak mau tobat dan mayatnya dibuang ke tempat sampah.  Namun al-hamdulillah akhirnya beliau tobat dari Aqidah tajsim ini seperti yang dinyatakan oleh Imam al-baihaqi dalam asma wa as-sifat hal. 269. Begitu juga dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam fathul bari juz 13 hal 492.

Jadi rupanya Ustadz firanda belum tahu atau pura-pura tidak tahu jika penulis kitab ” at-Tauhid ” (ibnu khuzaimah) telah tobat dari aqidah yang tertulis dalam kitabnya itu. Sehingga gugur-lah sandaran ke-enam atas klaim Ijmaknya Ustadz Firanda ini, sebab penulisnya pun sudah Tobat.

Qoul ke tujuh yang dijadikan Hujjah atas klaim Ijma’ Ulama bahwa Allah di Langit

Ketujuh : Al-Imam Ibnu Baththoh (304 H-387 H)

Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah :

“باب الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”

أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه محيط بجميع خلقه

ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى

“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”

Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).

Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (1) : Lagi-lagi ustadz firanda ber-hujjah dengan seorang Wadho’  alias pemalsu, status Hujjah gugur lagi. Lihat tanggapan saya atas poin ke 5.

Qoul ke 8 yang dijadikan Ustadz firanda sebagai sandaran atas Klaim Ijma’-nya

Kedelapan: Imam Abu Umar At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H)

Beliau berkata di dalam kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul

” أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء”

وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.

“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”

Beliau juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315)

Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurroo` di Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315).

Tanggapan: Tahukah Ustadz firanda jika Adz-Dzahabi juga mengatakan dalam Siar ‘Alam an-Nubala juz 17 hal 567,  Adz-Azahabi berkata:  “Saya melihatnya ( at-Tholamanki , pent) menulis kitab yang diberi judul As-Sunnah dua jilid.  Secara umum kitab itu baik hanya saja dalam beberapa bab dalam kitab tersebut ada hal yang selamanya tidak akan sejalan (denganku-pent), seperti bab janb (lambung / sisi Allah ) dalam bab itu dia menyitir firman Allah :  “Sungguh rugi atas apa yang aku lalaikan di sisi Allah, hal ini merupakan bentuk keterglinciran seorang Alim.  Orang ini Mujassim omongannya tidak perlu dianggap.  Sandaran ustadz firanda yang ke 8 pun gugur. Karena Imam Adz-Dzahabi pun tidak sejalan dengannya.

Qoul ke sembilan yang dijadikan sandaran klaim Ijma` ustadz firanda

Kesembilan: Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H)

Beliau berkata, “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44)
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317)

Tanggapan: Yang shahih dari Ucapan Imam As-shobuni hanya : “Para Ahli Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab (Al Qur’an) …. kata-kata setelah ini (para pemuka dst….) adalah tambahan yang entah Imam aDzahabi dapat dari mana? Silahkan rujuk ”Majmu`ah ar-Rosail al-Muniriyah juz 1 hal 109 risalah as-Shobuni, pernyataan al-imam as-Shobuni ini sama sekali tidak mendukung klaim Ijma’  tentang keberadaan Allah di langit sebagaimana yang di Klaim oleh Ustadz firanda. Inilah yang disebut dengan tafwidh yang juga ditolak oleh Salafi Wahabi. Status Hujjah salah alamat!

Qoul ke 10 yang dijadikan Hujjah untuk mendukung klaim Ijma’  sang ustadz

Kesepuluh : Imam Abu Nashr As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H)

Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam An-Nubalaa’ 17/656) :

Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”

Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321

Tanggapan: Kenapa Ustadz firanda tidak sekalian menyertakan perkataan Adz-Dzahabi dalam al-uluw ketika berbicara tentang As-sajzi? Berkata adz-dzahabi: bahwa lafadz ”Dzat” bukanlah pernyataan yang masyhur dan terjaga dari para Imam yang disebutkan oleh as-sijzi. Lafadz ”Dzat” itu dari kantongnya As-sijzi bukan dari para Imam.  As-Sijzi juga terkenal dengan Tahrif (merubah) hadist sebagai contoh As-Sijzi merubah Hadist ar-rohmah al-musalsal bil awliyah dari jalur Abi Qobus al-Majhul dengan Lafadz ”yarhamkum man fi as-sama” padahal lafadz hadist dari Abu Qobus al-Majhul dalam musnad Ahmad juz 2 hal. 160 ”yarhamkum Ahlu as-sama”. Begitu juga yang dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu hajar dalam Mu’jam al-Syaikhokh Maryam (makhtut) masih berupa manuskrip bahwa Aba Daud juga meriwayatkan dengan Lafadz  ”Yarhamkum Ahlu as-sama”.  Apakah menurut ustadz Firanda riwayat seorang Muharif ( tukang merubah) bisa diterima? Apakah riwayat (berita) yang telah dirubah isinya dapat dijadikan Hujjah? Mengingat riwayat–riwayat palsu pun dijadikan sandaran oleh Ustadz firanda seperti riwayat-riwayat  yang telah lalu, tidak aneh jika riwayat yang telah dirubah pun dijadikan sandaran oleh ustadz firanda.
Status Hujjah Gugur bagi orang yang berakal waras.

Kesebelas : Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)

Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod,

“Jalan kami adalah jalannya para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang qodiimah…

dan mereka menyatakan dan menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.” (Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-’Uluw 261)

Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306)

Tanggapan: Kitab al-I’tiqod karya Abu Nu`aim Al-ashfahani tidak ada wujudnya, ini merupakan kitab Majhul yang hanya diketahui oleh Imam Adz-dzahabi. Terlebih adz-Dzahabi sendiri telah meninggalkan faham yang dianutnya dalam kitabnya al-Uluw ini. Saya minta Ustadz Firanda untuk menunjukkan wujud asli kitab i’tiqod yang dinisbatkan kepada abu Nu’aim, atau kitab Majhul pun menurut Ustadz Firanda bisa dijadikan referensi? Status Hujjah gugur karena kitab al-I’tiqod Abu Nu’aim adalah kitab Majhul, terlebih dalam tulisan ini Ustadz Firanda banyak menyandarkan Hujjahnya pada para Pembohong dan Pemalsu seperti yang telah lewat diatas.

 Qoul ke 12 yang dijadikan sandaran ustadz Firanda Untuk menguatkan Klaim Ijma’-nya

Kedua belas: Imam Abu Zur’ah Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)

Berkata Ibnu Abi Hatim :

“Aku bertanya pada bapakku (Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan, “Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun yaman berkeyakinan bahwa:

Iman itu berupa perkataan dan amalan, bertambah dan berkurang…

Allah ‘azza wa jalla di atas ‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I’tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah karya Al-Laalikaai 1/198)

Ibnu Abi Haatim juga berkata berkata,

“Aku mendengar bapakku berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan musyabbihah, dan ciri rafidhoh adalah mereka menamai ahlussunnah dengan naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201.

Tanggapan: Riwayat ini tidak sah dinisbatkan kepada Abu Zur’ah begitu juga jika dinisbatkan kepada Abu hatim. Riwayat ini diriwayatkan dari tiga jalur sebagaimana disebutkan oleh Adz-Dzahzbi dalam Al-Uluw. Dua jalur pertama terdapat dua Rawi yang majhul, keduanya yaitu : Ali ibn Ibrohim meriwayatkan dari Ibn Jami’ , rawi majhul yang satunya Al-hasan bin Muhammad bin Hubaisy Al Muqri tidak ada bioghrafi yang jelas tentangnya dan tidak ada seorangpun Ahli jarh wa ta’dil yang men-tsiqoh-kannya dan dia adalah Majhul. Sebagaimana riwayatnya terdapat dalam sarh Sunnah Al-Lalikai juz 1 hal 176 ,  jalur ketiga atsar ini diriwayatkan oleh Ibn Murdik jarak kematiannya dengan Abu Hatim 60 tahun sebagaimana disebutkan dalam Tarikh Baghdad juz 12 hal 30.

Seperti diketahui secara luas oleh ahli bahwa Abu Zur’ah dan Abu Hatim tidak dikenal berbicara dalam masalah seperti ini sebagaimana keduanya juga dikenal tidak mempunyai karya tulis dalam Bab Aqidah persis seperti teman keduanya yaitu Imam Ahmad Ibn Hambal yang juga mengatakan: “Tidak ada yang melewati jembatan Baghdad orang yang lebih Hafidz dari Abu Zur’ah, beliau adalah termasuk salah satu Wali Abdal yang dengannya Bumi terjaga.”

Saya Ahmad Syahid katakan: Andai pernyataan sepert itu Muncul dari golongan Asy’ariyah atau Sufiyah Pasti kaum wahabiyyin akan menuduh Kafir, Musyrik, dan Ahli Bid’ah!

Status Hujjah gugur , karena rawi-rawinya Majhul.

Ketiga belas : Imam Ibnu Abdil Bar (meninggal tahun 463H)

Beliau berkata dikitabnya at Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia, pent),

“Pada hadits tersebut terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)

Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :

“Diantara dalil bahwa Allah di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb mereka tabaaraka wa ta’ala…”” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/12)

Beliau juga berkata :

“Dan kaum muslimin di setiap masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47)

Tanggapan: Inilah pentingnya menggabungkan antar riwayat sebagaimana saya sebutkan dalam awal Mukadimah, sehingga memberikan pemahaman yang utuh sesuai dangan maksud penulis, sebab Ibnu Abdil Bar dalam dalam At-Tamhid juga mengatakan :

Pertama:  “Bahwa Khobarul wahid (hadist ahad ) tidak memberikan keyakinan pasti (ilm) hanya mewajibkan untuk diamalkan ( hanya berlaku dalam furu’, pent).”  Tentu hal ini bertentangan dengan kaum wahabiyyin, yang menjadikan khobarul wahid (hadist ahad) sebagai Hujjah dalam Aqidah , bahkan dalam tulisan ini Ustadz Firanda membawakan atsar – atsar Mungkar tidak sah bahkan Maudu’  untuk landasan Aqidah, sebagaimana yang telah lewat diatas.

Kedua: Ibnu Abdil Bar juga mengingkari pernyataan Nu’aim bin Hammad yang menyatakan bahwa ”Allah turun dengan Dzatnya sementara dia diatas kursinya ”, berkata Ibnu Abdil Bar : ” ucapan ini bukanlah sesuatu (yang dapat dipegang- pent.) di kalangan ahli, karena ini merupakan kaifiyah (membagaimanakan-pent) sementara Ahli Ilmu Lari dari pernyataan seperti ini karena pernyataan seperti itu tidak bisa difahami kecuali terhadap sesuatu yang terlingkupi penglihatan ( bersifat fisik-pent).

Ketiga: Ibnu Abdil Bar juga mengatakan : telah bersepakat Ulama shahabat dan tabi’in yang dari mereka dibawakan takwil dst…, menunjukkan jika takwil itu boleh dan dibenarkan karena datang dari para sahabat dan tabi`in, lalu kenapa Wahabiyyin dalam masalah istiwa pun melarang takwil? Lebih dari itu Wahabiyyin  menganggap sesat orang yang melakukan Takwil?

Ke empat: Ibnu Abdil Bar mengatakan: telah berkata Ahli Atsar (tentang Hadist Nuzul –pent) bahwa yang turun adalah Perintah dan rahmatnya, kemudian beliau menyebutkan riwayat hingga Imam Malik rodiuallahu anhu dan berkata: bisa jadi (pentakwilan ini -pent) seperti perkataan imam malik rohimahullah yang bermakna ”Turunnya Rohmat dan Qodhonya (ketetapan-pent) dengan pengampunan dan penerimaan, At-Tamhid 7/ 144 .

Ke lima: Dari pernyataan-pernyataan yang digabungkan ini , jelas-lah Aqidah sang Imam bahwa Beliau adalah seorang Mufawwidh, yang salah difahami oleh sang Ustadz Firanda sehingga dijadikan landasan dan Hujjah akan Klaim Ijmaknya.  Lihatlah sang Imam mengingkari istiwa dengan ”Dzatnya” dan sang Imam pun membolehkan Takwil.  Lalu mengikuti siapakah kawan-kawan wahabiyiin ini? Mereka dan juga Ustadz Firanda menolak Tafwidh dan takwil, padahal keduanya ( Tafwidh dan Takwil) adalah Manhaj atau metodologi yang dianut Ulama Ahlu Sunnah (Asy’ariyah) sepanjang masa, sehingga status Hujjah Ustadz Firanda Gugur karena Imam Ibnu Abdil Bar adalah seorang Mufawwidh.

ustadz Firanda mengatakan:
“Para pembaca yang budiman, demikianlah jelas bagi kita ijmak salaf yang disampaikan oleh para ulama mutaqodimin, sepuluh lebih ulama mutqoddimin yang menyebutkan ijmak para salaf.”

Jawab: Para pembaca yang budiman ternyata setelah dilakukan pengecekan secara seksama semua riwayat yang ustadz Firanda jadikan sandaran adalah tidak sah , Mungkar bahkan maudu’ sebagaimana tadi kita kupas satu per satu. Bukankah ustadz Firanda dan All wahabiyyin menolak Hadist-hadist dha’if meskipun hanya untuk Fadailul a’mal? Tetapi kenapa justru pada masalahushul/Pokok (Aqidah) sebagai Pondasi Iman seorang Muslim, justru Ustadz Firanda menyuguhkan dan bahkan menggunakan perkataan Ulama yang riwayatnya tidak sah , Mungkar bahkan maudhu’? Diletakkan di mana semboyan: ”hanya menggunakan hadist-hadist shahih-nya?”  Ijmak yang Ustadz Firanda klaim itu hanya berdiri di atas ketidak-absahan, kemungkaran dan kepalsuan!

Demikian kajian atas Klaim ijma tentang ”keberadaan Allah Di langit” telah gugur seiring dengan gugurnya para Rawi yang meriwayatkannya.  Dan sebenarnya masih banyak qoul –qoul lainnya yang dinisbatkan kepada para Ulama Ahlu Sunnah ( Asy’ariyah ) yang jika diteliti sanadnya akan menghasilkan hal yang sama dengan atsar-atsar yang ditampilkan Ustadz Firanda, statusnya akan sama (gugur) karena riwayat-riwayat itu 95 % adalah Tidak Sah , Mungkar , dan maudhu’. Adapun Ijmak yang benar di kalangan Ahlu Sunnah Wal-jama’ah adalah keyakinan Bahwa ”Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah ”.  Ijmak ini dinukil Oleh Al-imam Al-Hafidz An-Nawawi dalam Syarh Muslim juz 5 hal. 24 cet. Darul Fikr,  juga Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-atsqolani Al-Imam Al- Hafidz az-zabidi. Ijmak ini pun dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijmak halaman 167.

Wallohu a’lam….

Bersambung….

Tags: aqidah Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Dusta Firanda hadits Ibnu Hajar Palsu Salafi Wahabi ulama ustadz ustadz Firanda

Related Post "Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (1)"

MENGENAL USTADZ ASLI DAN USTADZ PALSU

Akulturasi, Bukan ‘ngafirkan’ Orang

Syaikh Nasiruddin al-Albani Layakkah Disebut Muhaddits ?

KEJAHATAN DAN KESESATAN WAHABI DALAM BUKU IDAHRAM
« Prev

Salafi Wahabi Bisakah Berkembang di Bumi Nusantara Jika Masyarakatnya Masih Hindu Budha?
Next »

Firanda Berhujjah dengan Hujjah Dusta dan Palsu (2)
Facebook Comments

KABAR TERANYAR

Memahami Hadis yang Terkesan Diskriminatif, Bagaimana Caranya ?
Maret 10th, 2016, 11:14 am

Para Perempuan Islam dan Katolik Berkumpul Semai Perdamaian
Maret 10th, 2016, 10:56 am

Akhi…, Bersyukurlah Atas Persatuan dan Hidup Damai di Indonesia
Maret 7th, 2016, 10:43 am

MUI Harus Menunjukkan Warna Islam Ramah Bukan Islam Marah
Maret 7th, 2016, 10:22 am
INSPIRASI ISLAMMore

Memahami Hadis yang Terkesan Diskriminatif, Bagaimana Caranya ?
Maret 10th, 2016, 11:14 am

MUI Harus Menunjukkan Warna Islam Ramah Bukan Islam Marah
Maret 7th, 2016, 10:22 am

Belajar Islam kepada Guru Yang Tepat Akan Selamat dari Radikalisme
Februari 29th, 2016, 5:57 am
ARSIP

Arsip 
SPAM DIBLOKIR

4.313 spam
diblok oleh Akismet
Profil dan Kisah Mbah Kramat Luar Batang
Tolak Serahkan Data WhatsApp, Bos Facebook Ditangkap Polisi
Kiyai NU Harus Menggandeng Anak Muda Untuk Berdakwah di Internet
Siapa Grand Syaikh Al-Azhar ?
Belajar Islam kepada Guru Yang Tepat Akan Selamat dari Radikalisme
Memahami Hadis yang Terkesan Diskriminatif, Bagaimana Caranya ?
Para Perempuan Islam dan Katolik Berkumpul Semai Perdamaian
Akhi…, Bersyukurlah Atas Persatuan dan Hidup Damai di Indonesia
MUI Harus Menunjukkan Warna Islam Ramah Bukan Islam Marah
Seminar Internasional Bersama Syaikh Taufiq Ramadhan Al-Buthi
HOME LINK ASWAJA ABOUT US CONTACT US RADIO PENGOBATAN LOGIN SITEMAP
© 2014 Powered by Ummati Press

Top