Thursday 30 April 2015

Ingkar Bermazhab: “Ikhtilaf umati rahma”

Hadits Perbedaan Pendapat Ikhtilaf adalah Rahmat

Salah satu Hadisth Nabi SAW yang dikenal luas dikalangan umat Islam adalah sabda Nabi SAW : “Ikhtilaf umati rahma” atau perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat (dari Allah SWT).

Berdasarkan hadisth ini maka beragamnya pendapat dikalangan umat Islam sehubungan dengan berbagai urusan/masalah keagamaan justru dinilai sebagai rahmat dari Allah SWT. Padahal dilain pihak seorang awam sekalipun paham bahwa perbedaan pendapat adalah merupakan awal atau sebab terjadinya perpecahan (bercerai-berai), perselisihan dan pertentangan. Apalagi jika perbedaan pendapat itu berkaitan dengan masalah-2 keagamaan, sejarah umat manusia seringkali menunjukan ujungnya berakhir dengan pertumpahan darah.

Padahal jika perbedaan pendapat adalah merupakan rahmat Allah SWT, maka secara a contrario atau sebaliknya tentunya “persesuaian/kesatuan pendapat” adalah merupakan azab atau musibah dari Allah SWT, meskipun persesuaian pendapat merupakan pondasi persatuan dikalangan umat.

Dilihat secara sepintas hadisth “ikhtilaf umati rahma” ini nampaknya sejalan benar semangatnya dengan situasi modern yang mendorong prinsip kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat. Bukankah demokrasi pada hakekatnya adalah juga manifestasi dari proses perbedaan pendapat yang ditentukan secara kuantitatif? Dimana perbedaan pendapat itu di representasikan dalam bentuk pendapat yang banyak/mayoritas dan yang sedikit/minoritas. Menurut paham demokrasi pendapat yang banyaklah yang benar, bahkan dianggap setara dengan pendapat Tuhan (vox populi vox dei), sedangkan pendapat yang sedikit/minoritas adalah pendapat yang salah atau pendapat syaitan.

Ketentuan Kitabullah
Masalahnya apakah prinsip “perbedaan pendapat” ini dapat diberlakukan berkenaan dengan urusan agama (Islam)?.
Untuk mencari jawabannya marilah kita lihat apakah yang di Firmankan oleh Allah SWT di dalam Al Quran:

Yang demikian itu adalah karena Allah telah menurunkan Al Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesungguhnya orang-orang yang tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar dalam penyimpangan yang jauh. (QS. Al Baqarah [2] : 176)

Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. Al Baqarah [2] : 213)

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; …”(QS. Ali Imran [3]: 103)

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, (QS. Ali Imran [3]: 105)

Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan sesungguhnya Allah telah mema`afkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran [3]: 152)

Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulu, pastilah telah diberi keputusan di antara mereka, tentang apa yang mereka perselisihkan itu. (QS. Yunus [10] : 19)

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. (QS. Huud [11] : 118)

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.(QS. Asy Syuura [42] : 10)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul, …”(QS. An-Nisa [4]: 59)

“dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. …”(QS. Al An’am [6]: 153)

“Dan kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan (agama); maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya”.
(QS. Al Jasiyah [45]: 17)

Berdasarkan beberapa ayat yang memuat Firman Allah SWT di dalam Al Quran tersebut diatas (hanya sebahagian kecil saja ayat yg dikutip, masih banyak lagi ayat senada pada Al Quran), jelas bahwa Allah SWT tidak menghendaki umat Islam bercerai-berai karena saling berbeda pendapat. Sebaliknya justru Allah SWT menghendaki agar umat Islam bersatu padu layaknya saling bersaudara. Bahkan pada QS. Ali Imran [3] : 105, Allah SWT mengancam akan memberikan siksa yang berat kepada orang-2 yang berselisih.

Pertanyaannya adalah, mengapa justru Hadisth Nabi SAW justru mengatakan perbedaan pendapat itu adalah rahmat dari Allah SWT? Bukankah jelas sekali terlihat adanya perbedaan maknanya dengan Firman Allah pada Al Quran?.

Sekilas Tentang Hadist Rasulullah SAW
Sebelum membahas secara lebih mendalam tentang hadist “ikhtilaf umati rahma”, ada baiknya jika dijelaskan secara ringkas tentang apa yang dimaksudkan dengan hadist itu sendiri.

Hadist menurut Bahasa Arab adalah “ucapan” , tetapi dalam perkembangannya menurut kontek Islam, hadist kemudian mengandung arti sebagai catatan tertulis tentang segala ucapan (atau diamnya) dan tindakan (baik aktif maupun pasif) yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, atau disebut juga sebagai Hadist Nabi SAW.

Karena Hadist Nabi SAW mengandung segala sesuatu yang berkaitan dengan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW yang harus diikuti, dipatuhi dan ditaati oleh umat Islam, maka “Hadist Nabi SAW” juga dikatakan sebagai “Sunnah Nabi SAW”.

Sunnah Nabi SAW menempati urutan kedua setelah Al Qur’an sebagai sumber dari segala sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Agama Islam, berdasarkan firman Allah SWT :

Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
(QS. Al Anfal [8] : 46

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.
(QS. Al Ahzab [33] : 36)

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-nya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
(QS. An Nisa [4] : 14)

Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.
(QS. An Nuur [24] : 52)

Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang-orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barangsiapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.
(QS. Al Fath [48] : 17)

Dimasa hidupnya Rasulullah SAW, banyak kaum muslimin yang mencatat Sunnah-sunah Nabi SAW. Tetapi setelah Rasulullah SAW wafat, dan Abu Bakar ra menjabat sebagai Khalifah pertama, maka diperintahkan agar kaum muslimin membakar (memusnahkan) catatan sunah Rasulullah SAW yang dimiliki oleh setiap muslimin (para Sahabat). Kebijakan ini terus berlanjut sampai Umar bin Khattab ra menjabat sebagai Khalifah kedua. Bahkan dimasa kekuasaannya Umar bin Khattab ra telah memerintahkan kepada semua kaum muslimin yang masih menyimpan catatan hadist yang belum dimusnahkan agar menyerahkannya kepada Khalifah, dengan sanksi bagi siapa yang tidak menyerahkan catatan hadist akan dijatuhi hukuman yang berat. Setelah catatan hadist kaum muslimin itu terkumpul, maka Khalifah Umar bin Khattab ra memerintahkan untuk membakarnya. Adapun alasan Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua memusnahkan catatan hadist sebagaimana diriwayatkan oleh kitab-kitab sejarah adalah untuk mencegah terjadinya percampuran antara catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an yang dikatakan pada waktu itu belum di himpun.

Riwayat sejarah di atas kiranya perlu diluruskan, karena menurut hadist-hadist yang dianggap sahih yang sampai pada umat Islam generasi kinipun diketahui bahwa semasa Rasulullah SAW masih hidup ayat-ayat Al Qur’an telah dihimpun. Hadist-hadist dibawah ini membuktikan hal itu.

Dari Abdul ‘Aziz bin Rufai’katanya: Saya masuk kepada Ibnu Abbas ra bersama Syaddad bin Ma’qil, lalu Syaddad bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apakah Nabi saw meninggalkan sesuatu?”. Ibnu Abbas menjawab: “Nabi saw tidaklah meninggalkan kecuali apa yang terdapat antara dua kulit.”

Syaddad berkata: “Kami masuk kepada Muhammad bin Al Hanafiyyah, lalu kami bertanya kepadanya. Ia menjawab: “Nabi tidaklah meninggalkan kecuali apa yang terdapat antara dua kulit”. [1]
(maksudnya adalah Mushaf Al Qur’an – red.)

Qotadah berkata: Aku bertanya Anas bin Malik ra “Siapa yang mengumpulkan Al Qur’an pada zaman Nabi saw?. Beliau menjawab: “Empat orang, semuanya dari golongan Anshor: “Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaed”. [2]

Dari Anas berkata: “Nabi saw. Telah wafat sementara Al Qur’an belum dikumpulkan kecuali (oleh) empat orang: “Abu Darda’, Mua’adz bin Jabal, Zaed bin Tsabit dan Abu Zaid”. Katanya: “Kami mewariskan pengumpulan itu”. [3]

Disamping himpunan ayat-ayat Al Qur’an atau disebut juga sebagai “Mushaf” yang dikumpulkan oleh beberapa orang Sahabat yang ditugasi oleh Rasulullah SAW, di antara para Sahabat lainnya atas inisiatif masing-masing di masa Rasulullah SAW masih hidup juga telah menyusun Mushaf Al Qur’an. Sehingga di masa akhir kehidupan Rasulullah SAW sudah terdapat beberapa Mushaf Al Qur’an.

Jadi alasan pemusnahan hadist karena kekhawatiran akan tercampur dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an tidak dapat diterima, karena bukankah Al Qur’an sendiri pada saat itu telah dihimpun kedalam beberapa Mushaf. Tambahan lagi dari segi bentuk kalimat/bahasanya, mudah sekali membedakan antara catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an. Kekhawatiran tercampurnya catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an juga sangat berkelebihan. Sesuatu hanya mungkin bisa tercampur dengan sesuatu yang lainnya, jika keduanya saling serupa atau mirip satu dengan lainnya.

Padahal Allah SWT sendiri telah berfirman :
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain".
(QS. Al Isra [17] : 88)

Tidaklah mungkin Al Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan: "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar."
(QS. Yunus [10] : 37-38)

Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Qur'an itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".
(QS. Huud [11] : 13)

Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Qur'an itu jika mereka orang-orang yang benar.
(QS. At Thuur [52] : 34)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.
(QS. Al Baqarah [2] : 23-24)

Berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an di atas, maka tidaklah mungkin catatan hadist-2 itu serupa dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an, bahkan ditinjau dari bentuk kalimatnya saja tidak mungkin serupa. Karenanya pula tidaklah mungkin terjadi percampuran antara catatan hadist dengan catatan ayat-ayat Al Qur’an.

Sehingga apa alasan sebenarnya dari kebijakan pemusnahan Hadist Nabi SAW dimasa Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khattab tetap menjadi tanda tanya besar.

Sejak itulah hadist-2 Nabi SAW yang semula ada sebahagian yang berbentuk tertulis, mengalami perubahan bentuk seluruhnya menjadi lisan yang diwariskan dari mulut ke mulut, dan dari masa kemasa menjadi semakin sedikit saja jumlahnya sejalan dengan banyaknya kaum muslimin dari generasi Sahabat (orang-orang muslim yang hidup pada masa Rasulullah SAW) yang gugur dalam peperangan maupun wafat karena usia tua.

Periwayatan hadist secara lisan ini sangatlah rentan terhadap kemungkinan perubahan, pengurangan maupun penambahan makna yang terkandungnya. Ditambah lagi Bahasa Arab tergolong bahasa yang cukup kompleks, dimana perbedaan pengucapan satu huruf pada satu kata saja dapat berakibat berbedanya arti kata yang bersangkutan.

Selain itu periwayatan secara lisan ini membuka lebar kemungkinan masuknya hadist-2 palsu yang memuat kepentingan berbagai golongan dikalangan umat Islam maupun dari luar kalangan umat Islam.

Baru pada sekitar tahun 150 H s/d 200 H dimulai secara terbatas upaya menuliskan hadist-2 yang selama ini beredar dikalangan umat Islam secara lisan, dan kemudian menghimpunnya kedalam kitab hadist (Musnad). Diantara pelopor penulisan hadist ini adalah Ahmad Hanbal dengan Musnad Hanbal yang menjadi salah satu kitab hadist tertua.

Kegiatan pengumpulan, penulisan dan penghimpunan hadist Nabi SAW terus berlanjut pada Abad ke-3 H (200 H s/d 300 H), sehingga sejak itu bermunculah beratus-ratus kitab hadist.

Mayoritas umat Islam atau yang dikenal sebagai golongan “Ahlussunnah wal Jama’ah” atau disebut juga “SUNI”, menyakini bahwa dari sekian banyak kitab2 hadist (ada ratusan kitab hadis), maka hanya ada 6 (enam) kitab hadist (“Kuttubus Sittah” atau “Kitab Yang Enam”) yang dianggap Sahih (benar) yang boleh dijadikan rujukan bagi umat Islam (Ahlussunnah wal Jama’ah), yaitu kitab2 hadist yang disusun oleh: Bukhari, Muslim, Tarmudzi, Nadzai, Abu Dawud, Ibnu Majah.

Tetapi diantara ke-6 kitab hadist tersebut tidak semuanya mempunyai tingkat ke-sahih-an yang sama. Oleh karenanya kemudian diadakan lagi pembedaan, yaitu Kitab Sahih Bukhari dan Kitab Sahih Muslim, atau disebut sebagai “Shahihain” menempati peringkat pertama, sedangkan ke-empat kitab hadis lainnya menempati urutan kedua.

Perbedaan peringkat ke-sahih-an mengandung arti apabila suatu hadist tertentu (yang subyeknya sama) yang dimuat secara berbeda arti dan makna pada ke-6 kitab hadis tersebut, maka yang dijadikan pegangan umat Islam adalah hadis yang dimuat pada “Shahihain” (Kitab Sahih Bukhari dan Kitab Sahih Muslim).

Kemudian bagaimana jika diantara Shahihain juga terdapat perbedaan tentang suatu hadist? Maka yang dijadikan pegangan umat Islam adalah hadist yang tercantum pada Kitab Sahih Bukhari yang dianggap sebagai “Kitab Kedua tersahih setelah Al Qur’an”

Berangkat dari penjelasan tentang sejarah penulisan hadist Nabi SAW di atas, kiranya bisa dipahami adanya perbedaan originalitas dan otentisitas hadist dengan Al Quran yang dijamin oleh Allah SWT bebas dari penyimpangan, penyelewengan dan pemalsuan sebagaimana di Firmankan-Nya pada QS. Al Hijr [15]: 9 : “Kamilah yang menurunkan al-Zikr (al-Qur’an) dan Kamilah yang memeliharanya (daripada penyelewengan)”, sedangkan untuk hadisth tidak ada jaminan terbebas dari upaya pemalsuan, baik jaminan dari Allah SWT ataupun jaminan dari Rasulullah SAW sendiri.

Perlu kiranya dipahami bahwa sebuah hadist yang dinilai sahih (original dan otentik) dan kemudian dimuat kedalam kitab hadist adalah semata-mata didasarkan pada originalitas dan otentisitas rangkaian atau rantai orang-orang penyampai hadistnya atau disebut juga “perawi hadist” yang sambung-menyambung sampai kepada Rasulullah SAW. Rantai perawi hadist ini disebut juga “sanad”. Jadi jika sebuah hadist sanadnya lengkap (tersambung secara tidak terputus sampai ke Rasulullah SAW), dan para perawinya semuanya terdiri dari orang-2 yang jujur (tsiqah), maka hadist tersebut telah dinilai sahih.

Dengan demikian predikat “sahih” sebuah hadist sama sekali tidak memperhatikan apakah muatan atau isi atau “matan” hadistnya benar atau tidak berasal dari Rasulullah SAW. Bisa saja terjadi suatu sunnah benar-2 diucapkan oleh Rasulullah SAW, namun karena sanadnya tidak lengkap, maka ucapan Rasulullah SAW itu tidak dianggap sebagai hadist atau mungkin dinilai sebagai hadist yang lemah, atau bahkan dinilai sebagai hadist yang palsu (dhaif). Tetapi juga bisa terjadi yang sebaliknya, yaitu suatu sunnah sesungguhnya tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah SAW, melainkan diucapkan oleh orang lain yang mengatas-namakan Rasulullah SAW, namun karena ucapan tersebut diriwayatkan melalui sanad yang lengkap, maka ucapan tersebut kemudian dinilai sebagai hadist yang sahih.

Kelemahan aspek originalitas dan otentisitas (ke-sahihan) hadist yang semata-mata didasarkan pada “sanad” ini telah ditenggarai dan di antisipasi oleh Rasulullah SAW sendiri dimasa hidup Beliau SAW, dimana pada sebuah hadist yang disepakati ke-sahihannya oleh seluruh kaum muslimin, Beliau SAW bersabda :

Bilamana datang kepada kalian sesuatu yang mengatasnamaku (maksudnya adalah hadist-red.), maka hendaknya pertama-tama kalian sandingkan dengan Kitabullah, jika ia bersesuaian (dengan Al Qur’an –red.) maka terimalah ianya sebagai dariku, tetapi jika ia tidak bersesuaian dengan Kitabullah, maka hendaknya kalian membuangnya jauh-jauh.

Parameter atau ukuran atau alat uji untuk menilai ke-sahihan sebuah hadist dari segi “matan” atau isinya sebagaimana ditetapkan oleh Rasulullah SAW sendiri di atas sungguh tepat, karena sebagai Rasul/Nabi Allah tidaklah mungkin Rasulullah SAW mengucapkan perkatan atau melakukan tindakan yang tidak sesuai apalagi bertentangan dengan apa yang tercantum didalam Al Qur’an.

Parameter dari Rasulullah SAW ini merupakan prinsip utama didalam menilai ke-sahihan sebuah hadist dari sudut “matan”nya, tetapi disamping itu juga tetap perlu diperhatikan parameter2 kesahihan hadist berdasarkan “sanad” sebagaimana yang ditetapkan oleh Ilmu Kajian tentang Hadist.
Kesemua parameter inilah yang harus digunakan untuk menilai ke-sahihan sebuah hadist, sekalipun hadist tersebut terdapat didalam Kuttubus Sittah atau Shahihain.

Asbabul Wurud
Salah satu cara untuk memahami sebuah hadist menurut Ilmu Kajian Hadist adalah melalui peneluran sejarah yang berkaitan dengan sebab kelahiran hadist yang bersangkutan, atau dinamakan sebagai “Asbabul Wurud”. Sedangkan “Asbabun Nuzul” adalah kajian tentang tentang sejarah yang berkaitan dengan turunnya sebuah/sekelompok ayat Al Qur’an.

Asbabul Wurud Hadist “Ikhtilaf umati rahma” , adalah sebagai berikut :
Sejak diangkat sebagai Nabi, Rasulullah SAW menyelenggarakan majelis-2 (pertemuan2) dalam rangka menyampaikan ajaran Islam. Majelis2 Rasulullah SAW selama di Mekkah sifatnya tertutup dan sembunyi2 karena adanya ancaman dari kaum musrikin Mekkah. Tetapi ketika Rasulullah SAW berada di Madinah (setelah hijrah), majelis2 ini semakin sering diadakan dan terbuka bagi semua kaum muslimin. Ketika mengikuti majelis Rasulullah SAW inilah kaum muslimin berkesempatan menanyakan berbagai masalah kepada Rasulullah SAW secara langsung.

Namun pada umumnya (kebanyakan) kaum muslimin yang bertempat tinggal Madinah, sangat segan untuk bertanya kepada Rasulullah SAW, karena berbagai alasan. Diantaranya karena khawatir dikesankan sebagai tidak paham Islam oleh yang lainnya, atau karena enggan masalah2 yang dihadapinya (terutama jika berkaitan dengan masalah2 yang bersifat pribadi/keluarga), akan diketahui oleh yang lainnya, jika masalah itu ditanyakan untuk mendapatkan jawaban dari Rasulullah SAW.
Sehingga meskipun sebenarnya mereka mempunyai pertanyaan untuk mendapatkan jawabannya dari Rasulullah SAW, namun mereka ini diam saja dan tidak bertanya.

Dilain pihak, kalangan Arab Baduwi yang tinggal di luar Madinah, tidak semuanya datang pada setiap majelis Rasulullah.

Biasanya setiap Kabilah mengirimkan satu atau dua orang utusan secara bergantian untuk mengikuti majelis-2 Rasulullah SAW. Hal ini mereka lakukan (mengirim satu atau dua orang secara bergantian), karena para pria sangat diperlukan untuk melindungi keamanan perkemahan Kabilah mereka masing2.

Orang yang diutus mengikuti majelis Rasulullah SAW kemudian menyampaikan segala sesuatu yang didengarnya kepada anggota Kabilahnya. Dan seringkali pula orang yang diutus itu dititipi pertanyaan2 untuk disampaikan kepada Rasulullah SAW oleh anggota Kabilah lainnya yang tidak ikut pergi. Demikianlah orang2 Arab Baduwi ini “datang dan pergi atau hilir-mudik atau simpang-siur” secara bergantian (bergiliran) mengikuti majelis-2 Rasulullah SAW.

Datang-pergi atau hilir-mudik atau simpang-siur ini dalam kosa-kata Bahasa Arab disebut juga sebagai “Ikhtilaf”. Seperti juga pada bahasa2 lainnya, satu kosa-kata dalam Bahasa Arab bisa mengandung beberapa arti.

Kata “Ikhtilaf” dalam Bahasa Arab mengandung beberapa arti, yaitu diantaranya adalah “simpang-siur atau perbedaan pendapat”, tetapi juga dapat berarti “simpang-siur atau hilir-mudik atau datang-pergi nya orang-2”.

Orang-2 Arab Baduwi ini pada umumnya berwatak keras dan kasar, apalagi mereka kurang mengenal orang2 Madinah, sehingga ketika mereka berkesempatan mengikuti majelis2 Rasulullah SAW, tidak segan2 dan tidak malu2 bertanya (baik pertanyaan sendiri maupun pertanyaan titipan dari anggota Kabilahnya) kepada Rasulullah SAW tentang berbagai masalah, sekalipun masalah yang ditanyakan itu seringkali sifatnya sangat pribadi karena menyangkut persoalan suami-isteri ataupun persoalan keluarga. Pertanyaan-2 sejenis ini juga sebenarnya ada dikalangan Muslimin Madinah, tetapi mereka tetap diam dan enggan menyampaikannya kepada Rasulullah SAW.

Manakala Rasulullah SAW menjawab pertanyaan-2 Arab Baduwi tersebut, maka seluruh kaum muslimin yang hadir di dalam majelis yang bersangkutan ikut mendengar jawaban-2 Rasulullah SAW itu, termasuk kaum muslimin Madinah yang mempunyai pertanyaan serupa tetapi tidak bertanya, sehingga berarti mereka juga ikut memperoleh jawaban dari Rasulullah SAW atas pertanyaan2 mereka selama ini.

Dengan demikian, karena adanya Orang2 Arab Baduni yang datang-pergi atau hilir-mudik atau simpang-siur (“ikhtilaf”) menghadiri majelis-2 Rasulullah SAW , serta mengajukan pertanyaan2, maka orang2 lainnya yang hadir pada majelis tersebut mendapatkan rahmat, karena memperoleh penjelasan baru tentang agama Islam (yang mungkin selama itu belum diketahuinya) ataupun juga memperoleh jawaban atas pertanyaan2 yang selama itu mereka pendam.

Inilah sesungguhnya makna hadist “ikhtilaf umati rahma” (hilir-mudiknya umatku adalah rahmat) berdasarkan asbabul wurudnya.

Perubahan Makna Kata “Ikhtilaf”.
Perubahan lafal kata, susunan kalimat dan bahkan makna pada sebuah hadist sangatlah mungkin terjadi, karena faktor-faktor antara lain :
1. Hadist merupakan kumpulan kalimat bermakna (khazanah) yang bersifat lisan, serta diriwayatkan melalui lisan (mulut ke mulut) dari satu generasi ke generasi yang berikutnya selama kurang-lebih 200 tahun sejak wafatnya Rasulullah SAW.

2. Sejak berkembangnya agama Islam dan mulai dipeluk oleh bangsa-2 non-Arab (Ajam), maka Bahasa Arab juga ikut terpengaruh oleh bahasa-2 non-Arab, yang membawa perubahan dalam pengucapan maupun pemaknaan Bahasa Arab baik yang lisan maupun yang tertulis. Hal ini dialami juga oleh Hadist yang pada masa itu masih berupa khazanah lisan Bahasa Arab.

3. Sejak awalnya Bahasa Arab tergolongan sebagai bahasa yang cukup kompleks, dimana perbedaan pengucapan satu huruf saja pada sebuah kata, dapat mengakibatkan terjadinya perubahan arti pada kata yang bersangkutan. Suatu khazanah lisan seperti halnya hadist sangat riskan terhadap perbedaan pengucapan kata, yang memungkinkan terjadinya perubahan arti atau makna pada hadist yang bersangkutan.

4. Seperti halnya bahasa lainnya, maka banyak kata di dalam bahasa Arab yang mempunyai beberapa arti. Hal ini memungkinkan terjadinya pergantian atau perubahan arti sebuah kata yang terdapat didalam sebuah hadist, yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya perubahan arti dan makna pada hadist yang bersangkutan.

5. Tidak semua ahli/penyusun hadist (“Muhadditsin”) menguasai seluk-beluk dan perkembangan bahasa Arab, bahkan ada diantara para muhadditsin yang bukan orang Arab. Contohnya adalah para penyusun Kuttubus Sittah (Kitab Hadist yang Enam) yang diakui dikalangan Golongan Suni, yaitu Bukhari, Muslim, Tarmudzi, Nadzai, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, kesemuanya adalah bukan orang Arab. Sehingga hadist-2 yang dicatat dan dihimpun kedalam kitab-2 hadist adalah hadist2 sesuai dengan susunan kalimat dan makna yang berlaku pada masanya dicatat saja. Padahal hadist tersebut sudah berbeda dengan kondisinya ketika hadist termaksud pertama kali muncul berdasarkan asbabul wurud-nya.

6. Situasi dan kondisi umat Islam pada saat pencatatan hadist dilakukan juga ikut mempengaruhi pemahaman dan pemaknaan terhadap hadist yang bersangkutan.

Perubahan makna atas hadist “ikhtilaf umati rahma” juga terjadi karena adanya faktor2 di atas. Pada awalnya menurut asbabul wurud-nya hadist ini bermakna “hilir-mudiknya umatku adalah rahmat” tetapi ketika hadist ini dicatat dan dihimpumn kedalam kitab hadist, maknanya telah berubah menjadi “perbedaan pendapat (dikalangan) umati adalah rahmat”.

Perubahan makna yang prinsipiil ini juga ikut dipengaruhi oleh kondisi dan situasi umat Islam pada saat dicatatnya hadist yang bersangkutan pada sekitar tahun 150 H s/d 250 H. Dimana kala itu umat Islam telah terpecah-pecah kedalam beberapa golongan dan mazhab sebagai akibat perbedaan pendapat dikalangan para ulama Islam. Sehingga hadist “perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat” dianggap cocok untuk menjawab kondisi dan situasi umat Islam pada masa itu, dan hadist dengan makna ini dinilai dapat dijadikan landasan pembenaran (legitimasi) atas kenyataan yang ada, sekalipun kondisi dan situasi umat Islam yang terpecah belah itu bertolak-belakang dengan suruhan Allah SWT agar umat Islam jangan berbeda pendapat dan hendaknya bersatu-padu.

Penutup

Hadist yang dimaknai sebagai “perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat” ini ikut memberikan andil yang besar di dalam melanggengkan (melestarikan) perpecahan dan peng-kotak2an dilingkungan umat Islam sampai saat ini. Hadist ini ikut menyuburkan sikap mengutamakan perbedaan pendapat daripada mengutamakan sikap mencari kesamaan pendapat terhadap perbedaan2 yang timbul maupun yang sudah ada sebelumnya. Bukankah menurut hadist ini jika berbeda pendapat, maka masing2 pihak yang berbeda pendapat itu akan meperoleh rahmat dari Allah SWT.

Disamping itu jika digunakan parameter yang diberikan oleh Rasulullah SAW berkenaan dengan ke-sahihan matan (isi) sebuah hadist sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka hadist bermakna “perbedaan pendapat (dikalangan) umatku adalah rahmat” jelas sekali tidak memenuhi persyaratan sebagai hadist yang sahih, karena bertentangan dengan Al Qur’an.

Berdasarkan kesemuanya ini, maka perlu kiranya hadist “ikhtilaf umati rahma” dikembalikan ke makna aselinya sebagaimana asbabul wurudnya, yaitu “hilir-mudiknya umatku adalah rahmat”.

Referensi artikel persis
[1] Achmad Sunarto dkk., Tarjamah Shahih Bukhari, Buku-6, Penerbit: CV. Asy Syifa-Semarang, Hadist Nomor-4771, halaman 614
[2] Ibid., Hadist Nomor-4756, halaman 603
[3] Ibid., Hadist Nomor-4757, halaman 604

BIOGRAFI KH. ACENG ZAKARIA

 
Copyright © 2012. Referensi Persis - Some Rights Reserved | Disclaimer | Privacy Police theme design by Asep Iwan

Wednesday 29 April 2015

F0073. HADITS PERBEDAAN UMATKU ADALAH RAHMAT

PUSTAKA ILMU SUNNI SALAFIYAH - KTB
        
F0073. HADITS PERBEDAAN UMATKU ADALAH RAHMAT
Oleh Mbah Jenggot

Hadits di bawah ini termasuk dari sekian hadits yang dihina dan kritik habis-habisan oleh ulama Wahhabiyyah:
اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan-perbedaan umatku adalah rahmat.”

Pengertian hadits ini masih terjadi silang pendapat, sebagian mengartikan perbedaan dalam urusan hukum, sebagian lagi mengartikan perbedaan dalam urusan pekerjaan masing-masing umatku. Namun, semua pengertian tersebut benar meski yang kuat adalah pengertian yang pertama, yaitu perbedaan dalam hukum. Artinya, ikhtilaf ulama adalah bentuk perluasan bagi umat manusia dalam memilih pendapat dari bermacam-macamnya pendapat ulama. Namun, jangan difahami bahwa ikhtilaf dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Hadits di atas dikeluarkan oleh Nashr al-Maqdisi dalam al-Hujjah, al-Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyah tanpa sanad [mu’allaq] begitu juga al-Halimi, Qadhi Husain, Imam Haramain dan lain-lain. Dan dalam menyampaikan hadits ini, mereka semua tidak menggunakan shighat pasti tapi menggunakan kata-kata “diriwayatkan”. Dan sebenarnya ini sudah termasuk bukti bahwasannya hadits di atas tidak maudhu'. Lantaran tidak mungkin mereka rela memasukkan hadits palsu atau maudhu' kedalam kitab-kitab mereka. Padahal kita tahu, mereka adalah kritikus-kritikus dalam bidang hadits yang handal.

As-Subki mengatakan: ”Hadits ini tidak dikenal para ahli hadits (tidak diriwayatkan dengan sanad), dan aku belum menemukan sanad shahih, dha’if atau maudhu’.” As-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Saghir [no. 288] setelah membawakan hadits tersebut mengatakan:

“Mungkin dikeluarkan pada sebagian kitab huffazh (penghafal hadits) yang belum sampai kepada kami.”.

Pernyataan ini adalah bentuk kehati-hatian as-Suyuthi dalam menyikapi hadits yang begitu masyhur dan dibawakan oleh ulama-ulama ahli hadits (tanpa sanad) yang masyhur kealimannya dan terdepan di bidangnya. Bukan seperti sikap yang ditunjukkan Nashiruddin al-Albani, yang bukan ahli hadits terpercaya, tapi dengan enteng dan tanpa beban menghina as-Suyuthi dengan mengatakan:

”Menurutku ini sangat jauh, karena konsekwensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulallah Saw. yang luput dari umat Islam. Ini tidak layak diyakini seorang muslim.” Sebuah statemen yang sangat tidak layak ditujukan kepada as-Suyuthi.

Kehati-hatian as-Suyuthi cukup beralasan, karena selain masyhur disampaikan ulama-ulama terkemuka dan adil, makna haditsnya juga shahih, selain dikuatkan dengan hadits lain [musnad] yang diriwayatkan oleh as-Suyuthi sendiri dalam al-Madkhal dan ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dari Abdullah bin Abbas secara marfu’:
إِخْتِلاَفُ أَصْحَابِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan-perbedaan para sahabatku adalah rahmat.”

Dan perbedaan sahabat-sahabat Nabi adalah juga perbedaan umat. Meski hadits ini dinilai lemah sanadnya oleh al-Iraqi, namun derajat kelemahannya dapat terangkat atau menjadi kuat disebabkan adanya riwayat lain yang dibawakan putranya, yaitu Abu Zur’ah dan juga Ibnu Sa’ad [mursal dha’if] sebagaimana masyhur dalam kaidah ahli ushul dan ahli hadits.

Sebagai bukti kebenaran isi kandungan hadits di atas adalah seperti yang tercatat dalam Fatawi hal. 27 karya Syaikh Husain, Mufti Malikiyyah di Makkah yang di kutib dari al-Amir Ali Abdul Baqi az-Zurqani dalam Hasyiyah Mukhtashar Khalil, bahwa Imam asy-Syafi'i berkata, "Allah tidak akan menyiksa seorang hamba karena (meninggalkan) sesuatu yang masih di perselisihkan ulama dan perselisihan (perbedaan pendapat) ulama adalah rahmat bagi umat ini".

Umar bin Abdul Aziz menuturkan: “Bukan sesuatu menyenangkan bagiku, andai para shahabat-shahabat Nabi Muhammad tidak berbeda-beda, karena jika mereka tidak berbeda-beda, maka tidak akan ada rukhshah (dispensasi hukum)". Maqalah mujaddid pertama ini menunjukkan pebedaan shahabat-shahabat Nabi tersebut adalah dalam urusan hukum agama selain juga memberi faham bahwa perbedaan-perbedaan adalah keuntungan (rahmat) bagi umat selanjutnya. Artinya, para as-Salaf as-Shalih membuka ruang bagi manusia untuk berijtihad dan diperbolehkan ikhtilaf dalam ijtihad tersebut. Sebab, andai ruang ijtihad tidak dibuka, tentu akan mempersempit para mujtahidin, karena ijtihad dan penyangkaan-penyangkaan tentu tidak bisa sama.

Jika ihktilaf dianggap tidak rahmat, tentu Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang keliru, tapi tidak ada orang yang akan berani menganggapnya keliru kecuali orang-orang yang mulut dan hatinya tidak dikunci dengan adab dan syariat.

Maqalah Umar tersebut juga menguatkan hadits marfu’ berikut:
أَصْحَابِي بِمَنْزِلَةِ النُّجُوْمِ فِي السَّمَاءِ فَبِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ اهْتَدَيْتُمْ وَاخْتِلاَفُ أَصْحَابِي لَكُمْ رَحْمَةٌ
“Sahabat-sahabatku adalah layaknya bintang-bintang di langit, dengan yang mana kalian mengikuti, niscaya akan mendapat jalan petunjuk. Dan perbedaan-perbedaan sahabatku bagi kalian semua adalah rahmat.”

Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam al-‘Aqa’id menandaskan: “Perbedaan imam-imam (ulama-ulama) adalah rahmat dan kesepakatan mereka adalah hujjah.”

Asy-Syathibi mengatakan: “Segolongan ulama salaf menjadikan perselisihan umat dalam furu’ (masalah fiqh) adalah bagian dari rahmat, dan jika termasuk bagian dari rahmat maka ulama-ulama yang ikhtilaf tersebut tidak akan keluar dari jalur dari bagian ahli rahmat.”

Asy-Sya‘rani mengatakan: “Para ahli kasyf menyatakan bahwa pendapat-pendapat para ulama madzhab adalah sesuai dengan syariat secara kenyataan (nafs al-amr), meskipun itu tidak diketahui jelas oleh para pengikutnya. Dan pendapat-pendapat ulama madzhab tersebut adalah sesuai dengan syariat Nabi terdahulu. Maka jika ada yang mengamalkan apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama-ulama maka dia seperti mengamalkan mayoritas syariat-syariatnya para nabi.” Penjelasan asy-Sya'rani tersebut memberi faham tentang legalnya berbeda pendapat dalam ijtihad dan tidak di anggap sebagai sesuatu yang tercela.

Jika muncul pertanyaan: Jika ikhtilaf umat adalah rahmat, maka akan bertentangan dengan larangan ikhtilaf oleh Allah dalam Q.S. Ali ‘Imran: 103:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ
“Berpeganglah kalian semua pada tali Allah dan jangan bercerai berai.”

Dan Q.S. Ali ‘Imran: 105
وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.”

Jawabnya: Antara hadits dan dua ayat tersebut pembicaraannya masing-masing berbeda. Dua ayat tersebut berbicara tentang terhinanya orang-orang yang berselisih (ikhtilaf) kepada Rasulnya sebagaimana dalam hadits:

“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian hancur karena banyak berselisih pada nabi-nabinya.”

Dan umat Muhammad tidak seperti itu, yakni berselisih kepada Rasulallah karena telah mengetahui ancaman adzab besar bagi mereka yang menyelisih Nabinya. Mereka berselisih hanya dalam urusan hukum fiqh dan ada pemaafan bagi yang salah seperti yang sudah dimaklumi dalam hadits Nabi.

Harun ar-Rasyid kerap kali bermusyawarah dengan Imam Malik serta menganjurkan agar supaya kitab al-Muwaththa’ ditempelkan di dinding Ka’bah dan orang-orang diajak untuk mengamalkannya. Namun, Imam Malik menolak dan mengatakan:

“Jangan engkau lakukan, karena shahabat Rasulallah berselisih dalam masalah fiqh (furu’) dan sudah tersebar di daerah-daerah dan semuanya orang benar (dalam ijtihadnya).”

Zakariyya al-Anshari menceritakan, saat Khalifah al-Manshur berhaji dan bertemu Imam Malik, beliau mengutarakan maksud hatinya yang berkeinginan supaya kitab al-Muwaththa’ ditulis dan disalin kemudian dikirimkan ke daerah orang-orang muslim dan diperintahkan pada mereka untuk mengamalkannya dan tidak boleh menggunakan yang lain. Imam Malik menjawab:

“Jangan engkau lakukan wahai Amirul Mukminin! Sesungguhnya pendapat-pendapat (ulama) telah sampai pada mereka dan mereka juga mendengar hadits Nabi serta meriwayatkannya. Dan setiap golongan telah mengambil apa yang mereka ketahui dan dijadikan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Biarkan mereka memilih jalan untuk mereka masing-masing dalam setiap daerah.”

An-Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan: ”Bukan berarti jika sesuatu itu rahmat maka kebalikannya adalah adzab, dan tidak ada yang mengatakan seperti itu kecuali orang yang bodoh atau pura-pura bodoh. Allah berfirman dalam Q.S. al-Qashash: 73 (artinya):

”Karena rahmat-Nya, dijadikan malam dan siang supaya kalian beristirahat pada malam itu….”

Allah menjadikan malam sebagai rahmat dan bukan berarti kebalikannya, yaitu siang sebagai adzab (Allah juga menjadikan siang sebagai rahmat, bukan berarti kebalikannya, yaitu malam adalah adzab) meski siang dan malam adalah waktu yang saling berlawanan. Perkataan an-Nawawi ini sekaligus membantah pernyataan Ibnu Hazm dalam al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang menyalahkan arti dari hadits di atas. Ibnu Hazm mengatakan: ”Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah adzab.”

“Perselisihan yang berlaku pada umatku adalah satu rahmat.”

Alfathri Adlin wrote a new note: IKHTILAF FI UMMATI RAHMAH.
7 October 2010 at 19:29 ·

Hadis yang saya jadikan judul di atas adalah hadis yang bisa terbilang kontroversial. Debat kusir antara yang menyatakan bahwa hadis ini palsu dan yang menyatakan bahwa hadis ini shahih, dan juga yang menolak makna hadis ini, dan entah apa lagi, tak pernah selesai. Arti dari hadis ini sendiri, kurang lebih, adalah “perpecahan dalan umat ini adalah rahmat” memancing banyak reaksi sekaligus tafsiran.
 
Silahkan baca uraian berikut yang saya kutip dari http://suparjo.blogspot.com/2008_01_01_archive.html
 
“Perselisihan yang berlaku pada umatku adalah satu rahmat.”
 
Saya turunkan tulisan Mohd Khairil Anwar b Abd Latif dalam buku ‘Amalan berzikir: Antara sunnah & rekaan manusia’ (2007).
 
“Syeikh Albani telah mengklafikasikan hadis ini sebagai tidak ada asal. Beliau (Albani) berkata para ulama hadis telah berusaha mencari sanadnya, malang mereka tidak menjumpai…..
 
“Almunawi menukilkan daripada al Subkiy bahawa: Hadis ini tidak diketahui oleh para ulama hadis dan aku tidak menjumpainya dalam sanad sahih juga daif, dan tidak juga maudhu (palsu).
 
“Kemudian makna hadis ini diingkari oleh para ulama muhaqiqin (peneliti). Imam Ibn Hazm dalam kitabnya al-Ihkam fi Usuli al-ahkam berkata: Perkataan ini (ikhtilaful umati rahmah) merupakan seburuk-buruk perkataan, kerana kiranya ikhtilaf atau perselisihan itu rahmat, maka sudah tentu ittifaq (penyatuan) itu satu kemurkaan. Dan perkataan ini tidak mungkin diucapkan oleh seseorang muslim.”
 
Hadis ‘perbedaan pendapat satu rahmat’ adalah tidak benar daripada Rasulullah, malah matan hadis itu berlawanan pula dengan maksud al Quran yang banyak menyeru kepada penyatuan.”
 
Demikianlah kutipannya. Selain itu juga tidak mengherankan bahwa bagi mereka yang lebih terbiasa dengan wacana modern, dan menerima hadis tersebut, maka penafsirannya akan lebih cenderung pada dialektika Hegelian, seperti A bertentangan dengan B namun kemudian bersintesis menjadi C, atau awalnya ada Agama yang berseberangan dengan Seni, namun belakangan muncul Agama yang agak-agak Nyeni. Kurang lebih begitulah. (Kalau mau tahu lebih jauh tentang dialektika Hegel ini, silahkan kuliah di STF Driyarkara wkwkwkwkwkwkwkwkwkwk)
 
Nah dengan model dialektika Hegelian itu, setidaknya bisa dibayangkan bahwa dengan banyaknya perpecahan itu akan muncul banyak sintesis yang membuka khazanah baru bagi umat. Benarkah demikian? Wah, kalau saya boleh berpendapat, tidak selalu demikian juga. Pada kenyataannya semakin hari perpecahan di umat Islam semakin berkembang biak dan semakin memprihatinkan. Apakah selalu terjadi sintesis dari berbagai perpecahan itu? Rasanya lebih sering memunculkan kekerasan dan pertumpahan darah disertai dengan klaim sebagai pemegang kebenaran pada masing-masing pihak.
 
Hadis tersebut juga malah terkesan bertentangan dengan hadis berikut: 
 
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan masanid seperti Abu Daud, Nasai, Tirmidzi dan yang lainnya dengan beberapa lafazhnya, diantaranya,”Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Orang-orang Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan seluruhnya di neraka kecuali satu.” Di dalam riwayat lain,”Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, siapakah golongan yang selamat ?
 
Beliau saw menjawab,’Siapa yang berada diatas (ajaran) seperti ajaranku hari ini dan para sahabatku.” (HR. Thabrani dan Tirmidzi) didalam riwayat lain disebutkan,”ia adalah jama’ah, tangan Allah berada diatas tangan jama’ah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
 
Namun, semoga Anda tidak tersinggung kalau saya berpendapat bahwa penilaian hadis ini shahih atau tidak, hasan atau tidak, dhaif atau tidak, maudhu atau tidak dan kategori lain sebagainya adalah semacam kategori ilmiah saja. Bukan ilahiah. Masing-masing ahli hadis bisa membuat kriteria tentang kebisadipercayaan para perawi hadis tersebut. Misalnya, ada yang menjadikan suatu hadis dhaif karena salah satu perawi dinilai berperilaku aneh, yaitu, memberi makan burung dengan meletakan makana burung di telapak tangannya dan kemudian mengacungkannya ke udara, dan burung-burung hinggap di tangannya mematuki makanan tersebut. Dan masih banyak lagi penilaian yang ditetapkan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh para ahli hadis itu. Tentu saja semua kriteria itu berguna untuk, sedikit banyak, membantu kita menyeleksi mana hadis yang “layak dikonsumsi”, walau, sekali lagi, tidak berlaku mutlak seratus persen.
 
Kita tidak bisa menilai orang hanya dari keganjilan perilakunya secara lahiriah, karena masalah hati manusia maka Allah lebih mengetahuinya. Kalau boleh saya contohkan, bagaimana kita akan menilai Nabi Nuh karena pada saat yang sama beliau berperilaku aneh, yaitu membuat perahu di kaki gunung? Bagaimana kita akan menilai kebenaran yang dimiliki nabi Khidir, sementara di hadapan nabi Musa beliau memperlihatk tiga perilaku aneh, bahkan sampai membunuh anak kecil? Bagaimana kita akan memandang Nabi Ayub sebagai Nabi sementara semua malapetaka dan penyakit yang dideritanya lebih memperlihatkan gelagat orang yang di azab karena murka Allah ketimbang orang yang dicintainya. Dan bagaimana kita akan menjadi pengikut seorang buta huruf yang menyatakan dirinya mendapat wahyu berbunyi “Iqra” (Bacalah)?
 
Karena itu, sekali pun ahli hadis anu menyatakan hadis ini dhaif atau sebagainya dan tidak demikian bagi ahli hadis lainnya, itu semua saya pandang sebagai perdebatan ilmiah saja di antara para ahli hadis. Saya tidak memutlakan kriteria mereka itu sebagai “mutlak ilahiah”.

Oleh karena itu, saya pribadi tetap masih membuka diri untuk menerima hadis-hadis yang dinyatakan shahih oleh para sufi melalui metode mukasyafah atau keterbukaan hijab hati.
 
Nah terkait hadis tersebut, saya mengikuti pandangan dari kalangan sufi yang, boleh di bilang, menerima hadis tersebut. Namun, hal yang paling membuat saya takjub adalah penafsirannya, yang saya dengar dari Zamzam A.J.T.  Beliau memaparkan bahwa kenapa perpecahan itu dikatakan sebagai rahmat, karena dengan adanya perpecahan, apalagi sampai dikatakan hingga mencapai 72 golongan, yang masing-masing pasti mengklaim sebagai pemegang kebenaran Ilahiah, akan membuat para pencari Allah bingung. Kelompok mana yang harus dia ikuti? Terlebih sudah bisa dipastikan bahwa kelompok Islam mana pun yang mengadakan pengkajian agama bagi para pengikutnya tidak bakalan mengklaim dirinya sebagai kelompok sesat. Semua pasti mengklaim sebagai “yang benar”, seperti halnya kecap selalu mengaku sebagai “No. 1”. Kebingungan hendak mengikuti kelompok yang mana itulah yang akan memancing rahmat. Bagaimana? Karena bingung mau ikut yang mana, maka sang Pencari Allah itu akan mengenyampingkan semua perpecahan dan klaim kebenaran itu, untuk kemudian menjerit kepada Allah Ta’ala memohon tuntunannya untuk mencari jalan kembali kepada-Nya.
 
Jadi, kalau sekarang Anda pun sedang dilanda kebingungan dengan berbagai silang pendapat dan klaim kebenaran yang seperti saling menegasikan dan bertentangan, kemudian Anda menjadi frustrasi karena kebingungan, sebenarnya saat seperti itu adalah saat yang paling mengundang rahmat bagi Anda. Karena pada saat seperti itulah Anda bisa bersimpuh dan menjerita kepada-Nya langsung memohon pertolongan dan tuntunan yang benar dari-Nya langsung.
 
Ada satu hal yang tidak mungkin terjadi di dunia ini, begitu kata Zamzam, bahwasanya seorang yang tulus mencari Allah Ta’ala akan Dia giring ke jalan yang sesat. Coba perhatikan hadis berikut ini:
 
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: AllahSWT lebih merasa gembira dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang dari kamu di saat di dalam perjalanan di kawasan tandus (kering kerontang). Ketika berhenti beristirahat kemudian untanya berjalan perlahan-perlahan meninggalkannya sambil membawa perbekalan makanan dan minuman. Setelah dia mencarinya kesana-kemari dengan susah payah kemudian bernaung di bawah keteduhan bayang-bayang pohon serta berbaring di atas pokok akar dengan penuh rasa putus asa, dalam keadaaan yang demikian kemudian dengan tiba-tiba unta yang dicarinya muncul di sisinya. Dia terus memegang tali unta itu. Kemudian berkata dengan tanpa sadar atas kesangatan gembira yang dirasakannya: “Ya Allah! Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu”. Karena ingatannya diputus oleh rasa kegembiraannya. (Riwayat Bukhari di dalam Kitab Doa hadits nomor 5834; Riwayat Muslim di dalam Kitab Taubat hadits nomor 4932.)
 
Dan terkait dengan hadis tentang perpecahan menjadi 73 golongan, kalau Anda perhatikan bahwasanya dengan adanya satu agama baru, maka muncul pulalah satu hijab baru, demikian terus menerus hingga di umat Islam hijab baru penyebab perpecahan itu menjadi 72. Sembari berseloroh, Pak Bambang Sugiharto, guru filsafat saya, bercerita: “Suatu ketika teman saya bertanya, kalau Yesus turun di zaman ini, siapakah yang akan menentangnya? Pak Bambang bilang: Keuskupan di Roma.” Selorohan itu ada benarnya juga, karena ketika Yesus atau Nabi Isa datang ke Bani Israil, yang menentang beliau adalah para Rabbi Yahudi, begitu pula ketika Rasulullah datang ke bangsa Arab, yang menentang beliau adalah para pemuka “agama” di Mekkah. Jadi, kalau kita perhatikan lagi, bahwasanya dengan adanya satu agama baru lagi dari Allah Ta’ala, maka dengan itu pula muncullah hijab baru lagi. Hal itu dikemukakan dengan indah oleh Maulana Jalaluddin Rumi sebagai berikut:
 
Filosof yang mengingkari Erangan Tiang adalah orang asing dalam pandangan para wali.
Dia mengatakan, pengaruh kesedihanlah yang membuat pikiran orang dipenuhi khayalan.
Sebaliknya, khayalan kosong ini tak lain merupakan pantulan dari kejahatan dan keingkarannnya sendiri.
Dia menyangkal adanya Setan, namun pada saat yang sama dia tengah dikuasai setan.
Apabila engkau tak dapat melihat Setan, lihatlah dirimu sendiri. Tanpa kerakusan setan takkan ada otot membiru di dahi.
Siapa pun yang merasa ragu di hatinya adalah seorang filosof yang tersembunyi.
Mungkin keyakinannya tegas, namun pada suatu saat nada filosofisnya akan menghitamkan wajahnya bagi orang-orang yang melihatnya.
Wasapadalah, wahai orang-orang yang beriman! Nada seperti itu mungkin ada di dalam dirimu: di dalam dirimu ada dunia yang tak terhitung banyaknya.
Di dalam dirimu terdapat tujuh puluh dua golongan: celakalah jika suatu hari mereka menampakkan kepalanya.
 
Jadi, kalau hari-hari ini Anda dan saya dilanda kebingungan tentang siapa yang jalannya benar dan layak kita ikuti, karena begitu banyaknya klaim kebenaran di sana-sini, maka itulah saat-saat yang mengundang rahmat bagi kita untuk langsung menjerit dan memohon pertolongan serta tuntunan langsung dari-Nya. Amin.
 
Wallahu’alam bi shawwab.
 
(Mohon maaf kalau ada perbedaan pandangan dengan pandangan yang Anda yakini, kita tidak perlu saling mengkafirkan dan menuding macam-macam, karena secara pribadi saya masih mengimani Allah sebagai Tuhan saya dan Rasulullah Muhammad Saw sebagai Nabi saya, seburuk apa pun akhlak saya. [Duh Gusti, hampura, udah lama saya gak nulis tentang agama, karena setiap mau menuliskannya saya malu pada kemunafikan saya sendiri, hampura, Astagfirullah al-Adzim.])

Friday 24 April 2015

HUKUM BERAMAL DENGAN HADIS DAIF

HUKUM BERAMAL
DENGAN HADIS DAIF , MENURUT PANDANGAN ULAMAK

بسم الله الرحمن الرحيم

Apa yang berlaku pada hari ini ialah timbulnya satu puak yang mendakwa mereka adalah pejuang sunnah , tauhid dan tajdid.mereka sangat mempertikaikan hadis daif seolah – seolah hadis daif itu jatuh ketahap hadis maudu’ ( palsu ) dan menganggap beramal dengan hadis daif adalah satu perbuatan yang keji.tidak hairanlah kalau mereka benar-benar menghentam ahli – ahli sufi dan tasauwuf hanya kerana mereka berpegang pada hadis daif.tidak ketinggalan juga yang menjadi mangsa mereka ialah Jemaah tabligh.pernah sekali aku duduk mendengar kuliah seorang ustaz yang meyindir jamaah tabligh di sebabkan mereka membaca kitab fadail amal yang dikarang oleh maulana zakaria kandahlawi seorang ulamak tersohor di india kerana ada hadis daif didalamnya.apalah salahnya orang – orang tabligh membaca dan menela’ah kitab itu hanya sekadar untuk menghairahkan mereka dalam beribadah kepada Allah , bukannya untuk berhujjah menetapkan sesuatu itu halal ataupun haram.dengan adanya sedikit kelapangan,ingin aku menulis serba sedikit mengenai hadis daif ini.

Menurut pendapat kebanyakan ulamak , hadis terbahagi kepada tiga darjat :
1 ) sahih

2 ) hasan

3 ) daif

Pembahagian tersebut dibuat ialah kerana sekiranya hadis itu mempunyai sifat – sifat yang tinggi untuk diterima maka dinamakan hadis sahih atau sifat – sifatnya yang sederhana maka dinamakan hadis hasan,atau tidak mempunyai sifat sahih dan hasan maka dinamakan hadis daif.disini aku hendak memfokuskan hadis daif.hadis daif ialah hadis yang tidak memenuhi dengan lengkap syarat-syarat hadis sahih , dalam erti kata yang lain , ada kesahihan dalam hadis tersebut , tetapi ia tidak sempurna.oleh itulah para ulamak memasukkannya didalam senarai hadis yang maqbul ( yang diterima ).

Hadis daif terbahagi kepada dua :

Pertama : kedaifannya boleh diperkuatkan dengan hadis daif yang sama tetapi melalui jalan – jalan periwayatan yang lain dengan syarat perawi yang daif itu lemah dari segi ingatannya ( hafalannya ) atau kedaifannya disebabkan ia meriwayatkan secara mursal ( iaitu tidak disebutkan nama sahabat nabi dalam rangkaian sanad ).didalam masalah ini , jika terdapat hadis yang sama kandungannya , tetapi melalui jalan-jalan periwayatan yang lain , maka hadis tersebut akan naik tarafnya ( martabatnya ) kepada HASAN LIGHOIRIHI ,dengan itu hadis tersebut diketogorikan didalam hadis maqbul ( diterima ) dan boleh digunakan didalam hujjah sehingga didalam soal hukum hakam.

Kedua : kedaifannya tidak dapat diperkuatkan , walaupun mempunyai banyak jalan periwayatannya . ia dinamakan sebagai al wahi ( sangat lemah ).perkara ini akan berlaku jikalau perawinya itu ternyata seorang yang fasiq atau dituduh berbohong.hadis seperti ini , ulamak mengatakan bahawa : jika diperkuatkan dengan bukti-bukti dan riwayat-riwayat yang lain,maka tarafnya naik melebihi taraf hadis munkar atau hadis yang tidak ada asalnya.pada ketika itu ia boleh diamalkan dalam soal fadilat-fadilat amal.ia tidak boleh diamalkan dalam hal aqidah dan hukum hakam.sesetengah ulamak mengatakan ia juga tidak boleh dijadikan rujukan untuk penafsiran al quran.

Dengan itu , beramal dengan hadis daif dalam segala jenis amalan yang berbentuk targhib dan tarhib , dalam soal adab , sejarah , ketatasusilaan , kisah tauladan dan seumpamanya adalah dibolehkan.

Perkara ini telah disepakati ( ijma’ ) oleh para ulamak seperti yang dinukilkan An-Nawawi , Ibn Abdul Barr dan selain mereka. Malah Imam Nawawi menukilkan pandangan ulamak bahawa dalam hal – hal tersebut disunnatkan beramal dengan hadis daif . ( perkara sunnat yang termasuk dalam himpunan usuluddin dan hukum hakam )
Bagi pandangan Ibnu Hajar , Al Sakhawi dan selainnya mengatakan : disyaratkan bagi penerimaan hadis daif dalam perkara – perkara terbabit, ianya jangan terlalu kuat kedaifannya. Ia hendaklah dijadikan sebagai asas yang termasuk dalam kaedah syarak yang menyeluruh dan hendaklah hadis tersebut tidak bercanggah dengan hadis yang sahih.

Didalam membincangkan hukum-hukum berkaitan hadis daif , Abu Al Sheikh Ibn Hibban dalam kitabnya an nawaib meriwayatkan secara marfu’ hadis Jabir yang berbunyi : “ barang siapa yang sampai kepadanya sesuatu daripada Allah yang memuatkan sesuatu fadilat , lalu dia beramal dengan keimanan terhadapnya serta mengharapkan ganjaran pahalanya , maka Allah memberi kepadanya yang demikian itu , sekalipun sebenarnya bukan begitu”

Hadis diatas adalah punca asas yang besar bagi ulamak untuk membincangkan tentang hadis daif.

Sesetengah ulamak ada juga menjadikan hadis daif sebagai hujjah, sepertimana yang dinukilkan oleh ulamak daripada Imam Ahmad bin Hanbal bahawa dalam soal hukum hakam , beliau berpegang dengan hadis daif ( jika ditampung kedaifan tersebut dengan kemasyuran hadis terbabit )beliau juga mengutamakan hadis daif daripada pandangan .

Imam Al Zarkasyi menukilkan bahawa ulamak hanafiyah juga lebih mengutamakan hadis daif daripada pandangan akal. Begitu juga mazhab Abu Daud , mereka mengutamakan hadis daif berbanding penggunaan akal.

Oleh itu ulamak sepakat ( ijma’ ) membolehkan beramal dengan hadis daif dalam bab targhib dan tarhib . tidak ada yang menyanggahnya kecuali Ibn Al Arabi sepertimana yang dinukilkan oleh Ibn Solah , namun tidaklah mutlaq.sebenarnya tidak ada percanggahan antara beliau dengan ijma’ ulamak dalam hal keharusan beramal dengan hadis daif jika kena pada tempatnya. Penolakan beliau terhadap hadis daif hanya terbatas kepada alasan – alasan yang diberikannya sahaja.

Sebenarnya untuk menentukan sama ada hadis itu sahih atau hasan atau daif diukur secara zahir terhadap nama-nama yang terdapat didalam sanad.hadis –hadis, sama ada sahih atau hasan atau daif tidaklah ditentukan dari segi hakikat , kerana yang mengetahui hakikatnya hanyalah Allah jua.

Ulamak hadis mengatakan bahawa : mungkin ada di antara hadis yang sahih,pada hakikatnya ia adalah daif dan ada di antara hadis yang daif , pada hakikatnya ia adalah sahih . yang menjadi kewajipan kita ialah membuat kajian dan berijtihad.
Sebelum aku mengakhiri perbincangan ini , ingin aku tinggalkan beberapa pendapat ulamak yang mengharuskan beramal dengan hadis daif .

1 . Ibn Mahdi menyebut didalam kitab Al Madkhal : Apabila kami meriwayatkan daripada Nabi SAW tentang halal haram dan hukum hakam , maka kami akan memperketatkan sanad-sanadnya dan kami akan membuat pemeriksaan terhadap rijalnya ( nama-nama perawi ) . tetapi apabila kami meriwayatkan hal-hal berkaitan fadilat , ganjaran pahala dan seksa , maka kami mempermudahkan sanad-sanadnya dan kami bertolak ansur dengan rijalnya.

2 . Imam Ramli ada menyebut : hadis-hadis yang terlalu daif ( iaitu hadis yang dinamakan al wahiah ) apabila sebahagiannya bergabung dengan sebahagian yang lain , maka ia boleh dijadikan hujjah dalam bab ini ( fadilat , nasihat , sejarah dan seumpamanya ).

3 . Imam An Nawawi menyebut didalam kitab Al Azkar : para fuqaha’ dan ahli hadis mengatakan harus dan sunnat beramal dalam soal fadilat , targhib dan tarhib dengan hadis yang daif selagi ianya bukan hadis maudu’ ( palsu ).

Hanya ini sahaja yang dapat aku kumpulkan pandangan ulamak yang mengharuskan beramal dengan hadis daif , mungkin banyak lagi , namun kerana kurangnya kelapangan tidak dapat aku tuliskan semuanya.
Sekian…………………….
والله اعلم بالصواب

Dipetik dari
abusyahirah. blogspot.sg

Larangan menafsirkan agama menurut pendapat sendiri.

Omar Ibrahim Al-Jabary wrote a new note: Kaidah Ilmu Tafsir dan Larangan Menafsirkan Dengan Pendapatnya Sendiri. 25 November 2011 at 23:25 ·

Larangan menafsirkan agama menurut pendapat sendiri.

“barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya dari api neraka” (HR. Muslim)  

Agus Nur Salim and 47 others like this.

Nur Handoko
Timbulnya bid'ah dalam dien, termasuk didalamnya menafsirkan dalìl dengan akalnya semata. Apakah akhi melihat realita ini ?

1 · 28 November 2011
Omar Ibrahim Al-Jabary

Na'am itu jelas penyebabnya, contoh kenapa ada bid'ah hasana karena para mubtadi menafsirkan hadits "man sanna" sebagai dalil bolehnya bid'ah. Padahal para Ulama salaf tidak ada yg mjadikn hadits itu sebagai dalil bolehnya bid'ah. Antum boleh baca note ana yg berjudul, "inikah dalil mereka ?"

4 · 28 November 2011
Nury Zahratunnisaa

astaghfirrullah....
smga qt tdak trmasuk golongan tersebut...
aamiin...

7 December 2011
Gadiez Imoozz Nya

yup ana setuju Akhi,krn dalil yg dmikian makin maraknya suatu ibadah yg diada adakan padahal jauh sx dr akidah islamiah yg Rasul ajarkan

1 · 7 December 2011
Faliha Rani Butterfruity

syukran atas ilmunya,sangat bermanfaat...

8 December 2011
Toni Ho

Alhamdulillah...

Terimakasii banyak...

8 December 2011
Toni Ho

Alhamdulillah...

Terimakasii banyak...

8 December 2011
Syed Shahrul Syed Halim

Terima kasih sharing tapi ditakuti sbb mcm golongn anti hadis dah bergiat aktif semula

5 November 2013
Abdullah

menurut admin bidah hasana benar ga? mohon dijelaskan yaa

7 November 2013
Agung Supriyanto

Koreksi, hadits yang pertama kali disebutkan di atas, tidak terdapat di Shahih Muslim (cmiiw), ada di Sunan at-Tirmidzi, tapi itu pun syaikh Albani menghukuminya dha’if :

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

2950. Telah menceritakan kepada kami [Mahmud bin Ghailan] telah menceritakan kepada kami [Bisyr bin Assari] telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Abdul A'la] dari [Sa'id bin Jubair] dari [Ibnu Abbas] radliallahu ‘anhuma, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka.” Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih.

Dhaif. Al-Misykah 234, Naqd At-Taj, Dhaif Al-Jami 5737

2 · 7 January 2014
Zulkifli Albanjary

Al-Imam asy-Syafi’i berkata :

الْمُحْدَثَاتُ مِنَ اْلأُمُوْرِ ضَرْبَانِ : أَحَدُهُمَا : مَا أُحْدِثَ ِممَّا يُخَالـِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أَثرًا أَوْ إِجْمَاعًا ، فهَذِهِ اْلبِدْعَةُ الضَّلاَلـَةُ، وَالثَّانِيَةُ : مَا أُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ خِلاَفَ فِيْهِ لِوَاحِدٍ مِنْ هذا ، وَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ (رواه الحافظ البيهقيّ في كتاب " مناقب الشافعيّ)

“Perkara-perkara baru itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama: Perkara baru yang menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ atau menyalahi Atsar (sesuatu yang dilakukan atau dikatakan sahabat tanpa ada di antara mereka yang mengingkarinya), perkara baru semacam ini adalah bid’ah yang sesat.
Kedua: Perkara baru yang baru yang baik dan tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, maka sesuatu yang baru seperti ini tidak tercela”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang Shahih dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i) (Manaqib asy-Syafi’i, j. 1, h. 469).

Dalam riwayat lain al-Imam asy-Syafi’i berkata:

اَلْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ: بِدْعَةٌ مَحْمُوْدَةٌ وَبِدْعَةٌ مَذْمُوْمَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّـنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمٌ.

“Bid’ah ada dua macam: Bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan Sunnah adalah bid’ah terpuji, dan bid’ah yang menyalahi Sunnah adalah bid’ah tercela”. (Dituturkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari)

Pembagian bid’ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i ini disepakati oleh para ulama setelahnya dari seluruh kalangan ahli fikih empat madzhab, para ahli hadits, dan para ulama dari berbagai disiplin ilmu.

Di antara mereka adalah para ulama terkemuka, seperti

al-‘Izz ibn Abd as-Salam, an-Nawawi, Ibn ‘Arafah, al-Haththab al-Maliki, Ibn ‘Abidin dan lain-lain. Dari kalangan ahli hadits di antaranya Ibn al-'Arabi al-Maliki, Ibn al-Atsir, al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafzih as-Sakhawi, al-Hafzih as-Suyuthi dan lain-lain. Termasuk dari kalangan ahli bahasa sendiri, seperti al-Fayyumi, al-Fairuzabadi, az-Zabidi dan lainnya.

1 · 11 January 2014
Hisanobu Ichimaru

Kenapa kita harus sibuk dengan perkara2 yg baru yg belum tentu benar menurut ALLAH SWT karena hanya sebatas penafsiran dan prasangka saja, sementara perkara2 yang wajib dan dengan tegas diperintahkan justru tidak pernah kita kerjakan.....????? Kembalilah pada yg sudah jelaas2 wajib dan jelas2 sunnah.

25 February 2014
Abah Abah Anom

bbgus kaidah itu

18 August 2014
Hud-hudi

Hmmm kalau masalah khilafiah sampai kiamat pun gk mau slesei