Wednesday 29 April 2015

“Perselisihan yang berlaku pada umatku adalah satu rahmat.”

Alfathri Adlin wrote a new note: IKHTILAF FI UMMATI RAHMAH.
7 October 2010 at 19:29 ·

Hadis yang saya jadikan judul di atas adalah hadis yang bisa terbilang kontroversial. Debat kusir antara yang menyatakan bahwa hadis ini palsu dan yang menyatakan bahwa hadis ini shahih, dan juga yang menolak makna hadis ini, dan entah apa lagi, tak pernah selesai. Arti dari hadis ini sendiri, kurang lebih, adalah “perpecahan dalan umat ini adalah rahmat” memancing banyak reaksi sekaligus tafsiran.
 
Silahkan baca uraian berikut yang saya kutip dari http://suparjo.blogspot.com/2008_01_01_archive.html
 
“Perselisihan yang berlaku pada umatku adalah satu rahmat.”
 
Saya turunkan tulisan Mohd Khairil Anwar b Abd Latif dalam buku ‘Amalan berzikir: Antara sunnah & rekaan manusia’ (2007).
 
“Syeikh Albani telah mengklafikasikan hadis ini sebagai tidak ada asal. Beliau (Albani) berkata para ulama hadis telah berusaha mencari sanadnya, malang mereka tidak menjumpai…..
 
“Almunawi menukilkan daripada al Subkiy bahawa: Hadis ini tidak diketahui oleh para ulama hadis dan aku tidak menjumpainya dalam sanad sahih juga daif, dan tidak juga maudhu (palsu).
 
“Kemudian makna hadis ini diingkari oleh para ulama muhaqiqin (peneliti). Imam Ibn Hazm dalam kitabnya al-Ihkam fi Usuli al-ahkam berkata: Perkataan ini (ikhtilaful umati rahmah) merupakan seburuk-buruk perkataan, kerana kiranya ikhtilaf atau perselisihan itu rahmat, maka sudah tentu ittifaq (penyatuan) itu satu kemurkaan. Dan perkataan ini tidak mungkin diucapkan oleh seseorang muslim.”
 
Hadis ‘perbedaan pendapat satu rahmat’ adalah tidak benar daripada Rasulullah, malah matan hadis itu berlawanan pula dengan maksud al Quran yang banyak menyeru kepada penyatuan.”
 
Demikianlah kutipannya. Selain itu juga tidak mengherankan bahwa bagi mereka yang lebih terbiasa dengan wacana modern, dan menerima hadis tersebut, maka penafsirannya akan lebih cenderung pada dialektika Hegelian, seperti A bertentangan dengan B namun kemudian bersintesis menjadi C, atau awalnya ada Agama yang berseberangan dengan Seni, namun belakangan muncul Agama yang agak-agak Nyeni. Kurang lebih begitulah. (Kalau mau tahu lebih jauh tentang dialektika Hegel ini, silahkan kuliah di STF Driyarkara wkwkwkwkwkwkwkwkwkwk)
 
Nah dengan model dialektika Hegelian itu, setidaknya bisa dibayangkan bahwa dengan banyaknya perpecahan itu akan muncul banyak sintesis yang membuka khazanah baru bagi umat. Benarkah demikian? Wah, kalau saya boleh berpendapat, tidak selalu demikian juga. Pada kenyataannya semakin hari perpecahan di umat Islam semakin berkembang biak dan semakin memprihatinkan. Apakah selalu terjadi sintesis dari berbagai perpecahan itu? Rasanya lebih sering memunculkan kekerasan dan pertumpahan darah disertai dengan klaim sebagai pemegang kebenaran pada masing-masing pihak.
 
Hadis tersebut juga malah terkesan bertentangan dengan hadis berikut: 
 
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan dan masanid seperti Abu Daud, Nasai, Tirmidzi dan yang lainnya dengan beberapa lafazhnya, diantaranya,”Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Orang-orang Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan seluruhnya di neraka kecuali satu. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan seluruhnya di neraka kecuali satu.” Di dalam riwayat lain,”Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, siapakah golongan yang selamat ?
 
Beliau saw menjawab,’Siapa yang berada diatas (ajaran) seperti ajaranku hari ini dan para sahabatku.” (HR. Thabrani dan Tirmidzi) didalam riwayat lain disebutkan,”ia adalah jama’ah, tangan Allah berada diatas tangan jama’ah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
 
Namun, semoga Anda tidak tersinggung kalau saya berpendapat bahwa penilaian hadis ini shahih atau tidak, hasan atau tidak, dhaif atau tidak, maudhu atau tidak dan kategori lain sebagainya adalah semacam kategori ilmiah saja. Bukan ilahiah. Masing-masing ahli hadis bisa membuat kriteria tentang kebisadipercayaan para perawi hadis tersebut. Misalnya, ada yang menjadikan suatu hadis dhaif karena salah satu perawi dinilai berperilaku aneh, yaitu, memberi makan burung dengan meletakan makana burung di telapak tangannya dan kemudian mengacungkannya ke udara, dan burung-burung hinggap di tangannya mematuki makanan tersebut. Dan masih banyak lagi penilaian yang ditetapkan berdasarkan kriteria yang dibuat oleh para ahli hadis itu. Tentu saja semua kriteria itu berguna untuk, sedikit banyak, membantu kita menyeleksi mana hadis yang “layak dikonsumsi”, walau, sekali lagi, tidak berlaku mutlak seratus persen.
 
Kita tidak bisa menilai orang hanya dari keganjilan perilakunya secara lahiriah, karena masalah hati manusia maka Allah lebih mengetahuinya. Kalau boleh saya contohkan, bagaimana kita akan menilai Nabi Nuh karena pada saat yang sama beliau berperilaku aneh, yaitu membuat perahu di kaki gunung? Bagaimana kita akan menilai kebenaran yang dimiliki nabi Khidir, sementara di hadapan nabi Musa beliau memperlihatk tiga perilaku aneh, bahkan sampai membunuh anak kecil? Bagaimana kita akan memandang Nabi Ayub sebagai Nabi sementara semua malapetaka dan penyakit yang dideritanya lebih memperlihatkan gelagat orang yang di azab karena murka Allah ketimbang orang yang dicintainya. Dan bagaimana kita akan menjadi pengikut seorang buta huruf yang menyatakan dirinya mendapat wahyu berbunyi “Iqra” (Bacalah)?
 
Karena itu, sekali pun ahli hadis anu menyatakan hadis ini dhaif atau sebagainya dan tidak demikian bagi ahli hadis lainnya, itu semua saya pandang sebagai perdebatan ilmiah saja di antara para ahli hadis. Saya tidak memutlakan kriteria mereka itu sebagai “mutlak ilahiah”.

Oleh karena itu, saya pribadi tetap masih membuka diri untuk menerima hadis-hadis yang dinyatakan shahih oleh para sufi melalui metode mukasyafah atau keterbukaan hijab hati.
 
Nah terkait hadis tersebut, saya mengikuti pandangan dari kalangan sufi yang, boleh di bilang, menerima hadis tersebut. Namun, hal yang paling membuat saya takjub adalah penafsirannya, yang saya dengar dari Zamzam A.J.T.  Beliau memaparkan bahwa kenapa perpecahan itu dikatakan sebagai rahmat, karena dengan adanya perpecahan, apalagi sampai dikatakan hingga mencapai 72 golongan, yang masing-masing pasti mengklaim sebagai pemegang kebenaran Ilahiah, akan membuat para pencari Allah bingung. Kelompok mana yang harus dia ikuti? Terlebih sudah bisa dipastikan bahwa kelompok Islam mana pun yang mengadakan pengkajian agama bagi para pengikutnya tidak bakalan mengklaim dirinya sebagai kelompok sesat. Semua pasti mengklaim sebagai “yang benar”, seperti halnya kecap selalu mengaku sebagai “No. 1”. Kebingungan hendak mengikuti kelompok yang mana itulah yang akan memancing rahmat. Bagaimana? Karena bingung mau ikut yang mana, maka sang Pencari Allah itu akan mengenyampingkan semua perpecahan dan klaim kebenaran itu, untuk kemudian menjerit kepada Allah Ta’ala memohon tuntunannya untuk mencari jalan kembali kepada-Nya.
 
Jadi, kalau sekarang Anda pun sedang dilanda kebingungan dengan berbagai silang pendapat dan klaim kebenaran yang seperti saling menegasikan dan bertentangan, kemudian Anda menjadi frustrasi karena kebingungan, sebenarnya saat seperti itu adalah saat yang paling mengundang rahmat bagi Anda. Karena pada saat seperti itulah Anda bisa bersimpuh dan menjerita kepada-Nya langsung memohon pertolongan dan tuntunan yang benar dari-Nya langsung.
 
Ada satu hal yang tidak mungkin terjadi di dunia ini, begitu kata Zamzam, bahwasanya seorang yang tulus mencari Allah Ta’ala akan Dia giring ke jalan yang sesat. Coba perhatikan hadis berikut ini:
 
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik RA berkata: Rasulullah SAW bersabda: AllahSWT lebih merasa gembira dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang dari kamu di saat di dalam perjalanan di kawasan tandus (kering kerontang). Ketika berhenti beristirahat kemudian untanya berjalan perlahan-perlahan meninggalkannya sambil membawa perbekalan makanan dan minuman. Setelah dia mencarinya kesana-kemari dengan susah payah kemudian bernaung di bawah keteduhan bayang-bayang pohon serta berbaring di atas pokok akar dengan penuh rasa putus asa, dalam keadaaan yang demikian kemudian dengan tiba-tiba unta yang dicarinya muncul di sisinya. Dia terus memegang tali unta itu. Kemudian berkata dengan tanpa sadar atas kesangatan gembira yang dirasakannya: “Ya Allah! Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu”. Karena ingatannya diputus oleh rasa kegembiraannya. (Riwayat Bukhari di dalam Kitab Doa hadits nomor 5834; Riwayat Muslim di dalam Kitab Taubat hadits nomor 4932.)
 
Dan terkait dengan hadis tentang perpecahan menjadi 73 golongan, kalau Anda perhatikan bahwasanya dengan adanya satu agama baru, maka muncul pulalah satu hijab baru, demikian terus menerus hingga di umat Islam hijab baru penyebab perpecahan itu menjadi 72. Sembari berseloroh, Pak Bambang Sugiharto, guru filsafat saya, bercerita: “Suatu ketika teman saya bertanya, kalau Yesus turun di zaman ini, siapakah yang akan menentangnya? Pak Bambang bilang: Keuskupan di Roma.” Selorohan itu ada benarnya juga, karena ketika Yesus atau Nabi Isa datang ke Bani Israil, yang menentang beliau adalah para Rabbi Yahudi, begitu pula ketika Rasulullah datang ke bangsa Arab, yang menentang beliau adalah para pemuka “agama” di Mekkah. Jadi, kalau kita perhatikan lagi, bahwasanya dengan adanya satu agama baru lagi dari Allah Ta’ala, maka dengan itu pula muncullah hijab baru lagi. Hal itu dikemukakan dengan indah oleh Maulana Jalaluddin Rumi sebagai berikut:
 
Filosof yang mengingkari Erangan Tiang adalah orang asing dalam pandangan para wali.
Dia mengatakan, pengaruh kesedihanlah yang membuat pikiran orang dipenuhi khayalan.
Sebaliknya, khayalan kosong ini tak lain merupakan pantulan dari kejahatan dan keingkarannnya sendiri.
Dia menyangkal adanya Setan, namun pada saat yang sama dia tengah dikuasai setan.
Apabila engkau tak dapat melihat Setan, lihatlah dirimu sendiri. Tanpa kerakusan setan takkan ada otot membiru di dahi.
Siapa pun yang merasa ragu di hatinya adalah seorang filosof yang tersembunyi.
Mungkin keyakinannya tegas, namun pada suatu saat nada filosofisnya akan menghitamkan wajahnya bagi orang-orang yang melihatnya.
Wasapadalah, wahai orang-orang yang beriman! Nada seperti itu mungkin ada di dalam dirimu: di dalam dirimu ada dunia yang tak terhitung banyaknya.
Di dalam dirimu terdapat tujuh puluh dua golongan: celakalah jika suatu hari mereka menampakkan kepalanya.
 
Jadi, kalau hari-hari ini Anda dan saya dilanda kebingungan tentang siapa yang jalannya benar dan layak kita ikuti, karena begitu banyaknya klaim kebenaran di sana-sini, maka itulah saat-saat yang mengundang rahmat bagi kita untuk langsung menjerit dan memohon pertolongan serta tuntunan langsung dari-Nya. Amin.
 
Wallahu’alam bi shawwab.
 
(Mohon maaf kalau ada perbedaan pandangan dengan pandangan yang Anda yakini, kita tidak perlu saling mengkafirkan dan menuding macam-macam, karena secara pribadi saya masih mengimani Allah sebagai Tuhan saya dan Rasulullah Muhammad Saw sebagai Nabi saya, seburuk apa pun akhlak saya. [Duh Gusti, hampura, udah lama saya gak nulis tentang agama, karena setiap mau menuliskannya saya malu pada kemunafikan saya sendiri, hampura, Astagfirullah al-Adzim.])

No comments:

Post a Comment