Wednesday, 15 July 2015

BERITA IMAM AHMAD BIN HANBAL TENTANG KENDURI 7 HARI

BERITA IMAM AHMAD BIN HANBAL TENTANG KENDURI 7 HARI

Mengapa para ulama mengajarkan kepada umat Islam agar selalu mendoakan keluarganya yang telah meninggal dunia selama 7 hari berturut-turut ?
Imam Ahmad bin Hanbal, seorang ahli hadits kenamaan mengatakan bahwa beliau mendapatkan riwayat dari Hasyim bin al-Qasim, yang mana beliau meriwayatkan dari Al-Asyja’i, yang beliau sendiri mendengar dari Sofyan, bahwa Imam Thawus bin Kaisan radliyallahu ‘anhu pernah berkata :
إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام
“Sesungguhnya orang mati difitnah (diuji dengan pertanyaan malaikat) didalam quburnya selama 7 hari, dan “mereka” menganjurkan (mensunnahkan) agar memberikan makan (pahalanya) untuk yang meninggal selama 7 hari tersebut”.
Riwayat ini sebutkan oleh Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal didalam az-Zuhd [1]. Imam Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) juga menyebutkannya didalam Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyah.[2] Sedangkan Thawus bin Kaisan al-Haulani al-Yamani adalah seorang tabi’in (w. 106 H) ahli zuhud, salah satu Imam yang paling luas keilmuannya. [3] Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974) dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubraa dan Imam al-Hafidz as-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Hawil lil-Fatawi mengatakan bahwa dalam riwayat diatas mengandung pengertian bahwa kaum Muslimin telah melakukannya pada masa Rasulullah, sedangkan Rasulullah mengetahui dan taqrir terhadap perkara tersebut. Dikatakan (qil) juga bahwa para sahabat melakukannya namun tidak sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Atas hal ini kemudian dikatakan bahwa khabar ini berasal dari seluruh sahabat maka jadilah itu sebagai Ijma’, dikatakan (qil) hanya sebagian shahabat saja, dan masyhur dimasa mereka tanpa ada yang mengingkarinya. [4]

Ini merupakan anjuran (kesunnahan) untuk mengasihi (merahmati) mayyit yang baru meninggal selama dalam ujian didalam kuburnya dengan cara melakukan kenduri shadaqah makan selama 7 hari yang pahalanya untuk mayyit. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para sahabat, difatwakan oleh mereka. Sedangkan ulama telah berijma’ bahwa pahala hal semacam itu sampai dan bermanfaat bagi mayyit.[5] Kegiatan semacam ini juga berlangsung pada masa berikutnya, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam al-Hafidz as-Suyuthiy ;

“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku (al-Hafidz) bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (masa al-Hafidz) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasai awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’.[6]

Shadaqah seperti yang dilakukan diatas berlandaskan hadits Nabi yang banyak disebutkan dalam berbagai riwayat. [7] Lebih jauh lagi dalam hadits mauquf dari Sayyidina Umar bin Khaththab, disebutkan dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (5/328) lil-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852) sebagai berikut :

قال أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هارون حدثنا حماد بن سلمة عن علي بن زيد عن الحسن عن الحنف بن قيس قال كنت أسمع عمر رَضِيَ الله عَنْه يقول لا يدخل أحد من قريش في باب إلا دخل معه ناس فلا أدري ما تأويل قوله حتى طعن عمر رَضِيَ الله عَنْه فأمر صهيبا رَضِيَ الله عَنْه أن يصلي بالناس ثلاثا وأمر أن يجعل للناس طعاماً فلما رجعوا من الجنازة جاؤوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه فجاء العباس بن عبد المطلب رَضِيَ الله عَنْه فقال يا أيها الناس قد مات الحديث وسيأتي إن شاء الله تعالى بتمامه في مناقب عمر رَضِيَ الله عَنْه
“Ahmad bin Mani’ berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun, menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari ‘Ali bin Zayd, dari al-Hasan, dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku pernah mendengar ‘Umar radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali seseorang masuk menyertainya, maka aku tidak mengerti apa yang maksud perkataannya sampai ‘Umar radliyallahu ‘anh di tikam, maka beliau memerintahkan Shuhaib radliyallahu ‘anh agar shalat bersama manusia selama tiga hari, dan juga memerintahkan agar membuatkan makanan untuk manusia. Setelah mereka kembali (pulang) dari mengantar jenazah, dan sungguh makanan telah dihidangkan, maka manusia tidak mau memakannya karena sedih mereka pada saat itu, maka sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib radliyallahu ‘anh datang, kemudian berkata ; wahai.. manusia sungguh telah wafat .. (al-hadits), dan InsyaAllah selengkapnya dalam Manaqib ‘Umar radliyallah ‘anh”.

Hikmah dari hadits ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini.

Riwayat diatas juga disebutkan dengan lengkap dalam beberapa kitab antara lain Ithaful Khiyarah (2/509) lil-Imam Syihabuddin Ahmad bin Abi Bakar al-Bushiriy al-Kinani (w. 840).

وعن الأحنف بن قيس قال: “كنت أسمع عمر بن الحنطاب- رضي الله عنه- يقول: لا يدخل رجل من قريش في باب إلا دخل معه ناس. فلا أدري ما تأويل قوله، حتى طعن عمر فأمر صهيبا أن يصلي بالناس ثلاثا، وأمر بأن يجعل للناس طعاما، فلما رجعوا من الجنازة جاءوا وقد وضعت الموائد فأمسك الناس عنها للحزن الذي هم فيه، فجاء العباس بن عبد المطلب قال: يا أيها الناس، قد مات رسول الله – صلى الله عليه وسلم – فأكلنا بعده وشربنا، ومات أبو بكر فأكلنا بعده وشربنا، أيها الناس كلوا من هذا الطعام. فمد يده ومد الناس أيديهم فأكلوا، فعرفت تأويل قوله “.رواه أحمد بن منيع بسند فيه علي بن زيد بن جدعان
“Dan dari al-Ahnaf bin Qays, ia berkata : aku mendengar ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anh mengatakan, seseorang dari Quraisy tidak akan masuk pada sebuah pintu kecuali manusia masuk bersamanya. Maka aku tidak maksud dari perkataannya, sampai ‘Umar di tikam kemudian memerintahkan kepada Shuhaib agar shalat bersama manusia dan membuatkan makanan hidangan makan untuk manusia selama tiga hari. Ketika mereka telah kembali dari mengantar jenazah, mereka datang dan sungguh makanan telah dihidangkan namun mereka tidak menyentuhnya karena kesedihan pada diri mereka. Maka datanglah sayyidina ‘Abbas bin Abdul Muththalib, seraya berkata : “wahai manusia, sungguh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam telah wafat, dan kita semua makan dan minum setelahnya, Abu Bakar juga telah wafat dan kita makan serta minum setelahnya, wahai manusia.. makanlah oleh kalian dari makanan ini, maka sayyidina ‘Abbas mengulurkan tanggan (mengambil makanan), diikuti oleh yang lainnya kemudian mereka semua makan. Maka aku (al-Ahnaf) mengetahui maksud dari perkataannya. Ahmad bin Mani telah meriwayatkannya dengan sanad didalamnya yakni ‘Ali bin Zayd bin Jud’an”.

Disebutkan juga Majma’ az-Zawaid wa Manba’ul Fawaid (5/159) lil-Imam Nuruddin bin ‘Ali al-Haitsami (w. 807 H), dikatakan bahwa Imam ath-Thabrani telah meriwayatkannya, dan didalamnya ada ‘Ali bin Zayd, dan haditsnya hasan serta rijal-rijalnya shahih ; Kanzul ‘Ummal fiy Sunanil Aqwal wa al-Af’al lil-Imam ‘Alauddin ‘Ali al-Qadiriy asy-Syadili (w. 975 H) ; Thabaqat al-Kubra (4/21) lil-Imam Ibni Sa’ad (w. 230 H) ; Ma’rifatu wa at-Tarikh (1/110) lil-Imam Abu Yusuf al-Farisi al-Fasawi (w. 277 H) ; Tarikh Baghdad (14/320) lil-Imam Abu Bakar Ahmad al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H).

Wallahu A’lam.

[1] Lihat : Syarah ash-Shudur bisyarhi Hal al-Mautaa wal Qubur ; Syarah a-Suyuthi ‘alaa Shahih Muslim, Hasyiyah as-Suyuthi ‘alaa Sunan an-Nasaa’i dan al-Hafi lil-Fatawi lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi ; Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah (2/9) lil-Imam Syamsuddin Muhammad as-Safarainy al-Hanbali (w. 1188 H) ; Sairus Salafush Shalihin (1/827) lil-Imam Isma’il bin Muhammad al-Ashbahani (w. 535 H) ; Imam al-Hafidz Hajar al-Asqalani (w. 852 H) didalam al-Mathalibul ‘Aliyah (834).
[2] Lihat : Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiyaa’ lil-Imam Abu Nu’aim al-Ashbahaniy : “menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, menceritakan kepada kami ayahku (Ahmad bin Hanbal), menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy, dari Sufyan, ia berkata : Thawus telah berkata : “sesungguhnya orang mati di fitnah (diuji oleh malaikat) didalam kuburnya selama 7 hari, maka ‘mereka’ menganjurkan untuk melakukan kenduri shadaqah makan yang pahalanya untuk mayyit selama 7 hari tersebut”.
[3] Lihat : al-Wafi bil Wafiyaat (16/236) lil-Imam ash-Shafadi (w. 764 H), disebutkan bahwa ‘Amru bin Dinar berkata : “aku tidak pernah melihat yang seperti Thawus”. Dalam at-Thabaqat al-Kubra li-Ibni Sa’ad (w. 230 H), Qays bin Sa’ad berkata ; “Thawus bagi kami seperti Ibnu Siirin (sahabat) bagi kalian”.
[4] Lihat ; al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (2/30-31) lil-Imam Syihabuddin Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitami ; al-Hawi al-Fatawi (2/169) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthiy.
[5] Lihat : Syarah Shahih Muslim (3/444) li-Syaikhil Islam Muhyiddin an-Nawawi asy-Syafi’i.
[6] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi.
Disarikan dari tulisan : al-Ustadz H. Luthfi Bashori

sumber : http://www.sarkub.com/2011/anjuran-untuk-tahlilan-7-hari-berturut-turut/

Saturday, 11 July 2015

Salat Laylat Nisf Sha'ban

'Inan al-Bayan fi Nisf Sha'ban

By Shaykh Muhammad Afifi al-Akiti

“Fulan has a shaykh in tassawuf whom he greatly loves and respects (he has already taken baya` with him). this 15th of sha'aban, the teacher has told fulan that he should try to perform salatul-khayr (100 rakats with 10 ikhlas in each rakat). however, fulan knows from fiqhi sources that according to top authorities in the shafi`i school and in the hanafi school, this is to be considered a baseless and blameworthy innovation.
it is clear that a teacher who lacks the knowledge of the shariah is a poor teacher indeed, but this applies surely to obligatory knowledge (the fardu `ayn) and the like. such indepth knowledge, such as the above question, is known only to an `alim or to an aspiring `alim usually, which not all shyukh are pursuing to be.

what is the correct `adab on the student in this case? i have advised him to first seek out if the salat-ul-khayr in another madhhab (such as the hanbali one, as i believe shaykh abd-al-qadir jilani, may allah have mercy on him and sanctify his secret, advised this practise, and he was of the hanbali school) is valid. if it is, then there should be no objection at all.

he is doing that now. if when he is done with his research, he still has not found the practise advised in any madhhab, i think i should advise him to take the question to his shaykh, with the utmost of respect and pose the question of reference to him so that his doubts may be alleviated for now and the future.

i think he will have to get by for the time being (the 15th is tommorow night) but if, at your convenience, you could let me know what the correct way to go about such issues is, i would be most grateful.”

Alhamdulillah alladhi salla 'ala n-nabiyyi l-mustafa wa s-salatu wa s-salamu 'ala n-nabiyyi l-awfa wa 'ala alihi wa sahbihi dhawi l-qurba.

Rabbi zidni 'ilman wa-rzuqni fahman!

Although it is true that, at first glance, the Qawl Mu'tamad of the Shafi'i school regarding the 'Salat al-Khayr' - or the 'Salat Laylat Nisf Sha'ban' - is that it has no legal status, and the hukm shar'i relating to it is Makruh (and not Haram) for the one performing it, there is tafsil and further details that the jurist must consider before relating this judgement.

There is a mas'ala khilafiyya [a genuine khilaf such that one agrees to disagree] in our school on the following point:
IF when praying during the night of the middle of Sha'ban [Nisf al-Sha'ban] the Musalli specifies the intention of the prayer as follows:

uSallI sunnata laylati niSfi sha'bAna rak'atayni li-Llahi ta'AlA
[I [intend to] pray the recommended [prayer] of the night of Sha'ban in two rak'as, for the sake of Allah the Most High]

- then, there are three qawls [positions] in the school concerning the one performing Salat Laylat Nisf Sha'ban:

1. The Asl [original ruling] is that it is Makruh according to Imam al-Nawawi (may Allah be pleased with him!) and others, because it is a "Bid'a Qabiha" [blameworthy innovation]; and under this Tafsil only one qawl says it is Haram. (This position is, for example, mentioned in the text of the Fath al-Mu'in [I'anat, 1:270]; al-Nawawi's position, for instance, is in the Majmu' [4:61]; the qawl that it is Haram is in the Irshad al-'Ibad (which is not, note, a fiqh work) [al-Mallibari, Irshad, 24] (who is also the same author of the Fath al-Mu'in)).

2. The Asl is Mandub/Sunna according to Imam al-Ghazali (may Allah be pleased with him!) and others. (This position is also related in the fiqh manual I'anat al-Talibin (the commentary to the Fath al-Mu'in above) [I'anat, 1:271-2]; al-Ghazali's own position is in the Ihya' (which is not, note, a fiqh work) [Ihya', 1:203-4]) and this position is not brought up in his furu' fiqhi works; the Wajiz or the Wasit.

3. The Asl is Jawaz/Mubah according to a SOLUTION provided by Imam Ibn Hajar (may Allah be pleased with him!) in the Tuhfa and others. This solution is by making a Qiyas to Imam Ibn Hajar's own solution for the "Ishraq" prayer, which in the view of the Imam himself - like the Nisf Sha'ban prayer - has no legal status, or in other words, is Makruh to perform. (It goes without saying that although the Asl is Mubah for this qawl, and because if carried out using this method the act itself brings a reward, this can therefore be treated as a Fadila 'Amal, making it Mandub in the end - since the hukm of the Nafl Mutlaq prayer is itself Mandub). (See below for details of the solution; technically however, this solution no longer makes it a "Salat Laylat Nisf Sha'ban".)

The strong objections raised by some of our past fuqaha' - a famous one is in the Majmu' and an extreme one is in the Irshad - concerning the prayer of the night of Nisf Sha'ban must be understood in their proper fiqhi context. The reason for their objections is to counter the opinion of those who stipulate that an intention be specified for this prayer (which can be derived from the Qawl of Imam al-Ghazali). It is important for the teacher to point out to the student - and for the ordinary person to note - that these objections were made, not because there is a specific objection to performing 'ibada on this night or to doing qiyam al-layl this night, but for an academic reason. And that is in order to draw the legal point that the prayer of Nisf Sha'ban is not a specially legislated prayer, unlike the Tarawih for example, because there is just not enough primary evidence (whether from the Qur'an or the Hadiths) to make it so, and that is all. Going beyond quoting and relying solely on a dead reference from one of our "yellow books", this reason is how our living scholars today understand the objections made by some of our past fuqaha'. So, when a student reading with a teacher reaches the passage in the Fath al-Mu'in which says that the Ragha'ib of Rajab and the Nisf Sha'ban prayers are a blameworthy innovation, the wise teacher in fiqh will then have qualified these objections based on what is in the Fath al-Mu'in's own glosses, the I'anat al-Talibin.

The khilaf over the issue is with the format of the prayer, and the route to that khilaf is explained by the Muhaqqiq of our school, Imam al-Kurdi (may Allah be pleased with him!), as revolving around the Hadiths connected with this special prayer. As a result, the khilaf is a genuine one:

"The scholars differ concerning it [the Nisf Sha'ban prayer, for example]. There are those who say that it has a chain of transmitters [turuq; although problematic], and if they are brought together the Hadith [evidence concerning it] will reach the [legal] extent of allowing one to act upon it on the basis of the Fada'il al-A'mal [the extra acts of devotion performed (or refrained) beyond one's call of duty to please the Lawmaker]. There are those who judge that its Hadith [evidence] is fabricated, and among them are [Imam] al-Nawawi, and following him, the commentator in the latter's books - Imam Ibn Hajar - [i.e. the fiqhi point understood by jurists is that the Qawl of Imam al-Nawawi does not recognize the legal status of the Nisf Sha'ban prayer, and that is all]." [al-Kurdi, Hawashi, 1:331-332; I'anat 1:271].

So those following the qawl that it is Mandub, like Imam al-Ghazali (and those who defended this position, such as Imam Ibn al-Salah (may Allah be pleased with him!) - who was perhaps alone among the Muhaddith of our school in doing so), who ruled that this prayer is among the Fada'il of A'mal, are of the opinion that the many Hadiths regarding this prayer are Da'if instead of Mawdu' (and vice versa for the opposite qawl). This is their legal basis for the qawl that the prayer in question is special and therefore the Asl is Mandub, since it is well known in our school that one can act upon weak Hadiths (as long as they are not Mawdu' [fabricated Hadiths]) in matters of the Fada'il, as Imam al-Nawawi himself stated when summarizing the standard rule on using weak Hadiths in the Majmu':

"A weak Hadith cannot be used as primary evidence [Ihtijaj] in matters of what is 'lawful and unlawful' [Ahkam] and faith [meaning that it cannot, on its own, lead to an injunctive legal ruling [Hukm Shar'i Taklifi] that may involve a sin in matters of what is lawful [Halal] and unlawful [Haram] and what is obligatory [Wajib]; or indicate a stipulatory legal ruling [Hukm Shar'i Wad'i] determining the soundness of a particular act, such as its valid condition [Shart] and its prevention [Mani']]. However [as long as it is not a fabricated Hadith], it can be narrated, and it can be used in matters other than what is 'lawful and unlawful' [i.e., in the legal rulings that are not related to sin or what makes an act sound, involving either the Ihtiyat [the more precautionary ruling] or what is recommended [Mandub/Sunna] and what is disliked [Makruh]], such as in Qisas [telling moral stories] and in Fada'il al-A'mal and in Targhib wa al-Tarhib [arousing one's desire to do good and inspiring one's fear from doing evil]." [al-Nawawi, Majmu', 1:93].

The upshot is that there is khilaf among our jurists on the legal status of the Nisf Sha'ban prayer; so what are we left with? How can we reconcile the two qawls? And how do we remove ourselves from the divisive discussions of evidence [ta'arud adilla] amongst scholars to what concerns us as an 'abid?

We know that it has been established - and there is no khilaf in this matter even by the same fuqaha', such as Imam al-Nawawi, who objected to the specific prayer of Nisf Sha'ban - that the night of Nisf Sha'ban is at least special (the foremost Muhaddith of our school, Imam al-Bayhaqi, for example, devoted a whole chapter just on the virtues of the night of Nisf Sha'ban in his Fada'il al-Awqat), which means that as Muslims, one should try one's best to benefit from this special night. We also know that there is no objection whatsoever (especially not by Imam al-Nawawi, for example) if someone wanted to pray all night long on that specific night. Finally, we also know that this khilaf is over the legal status of the specific prayer itself.

Therefore, the solution to avoid this khilaf for the Shafi'is is a simple one, and that is, instead of specifying the intention that the prayer is the Nisf Sha'ban prayer, perform instead the Nafl Mutlaq [wholly supererogatory] prayer on that special night; and by this, we and our teachers follow the advice of Imam Ibn Hajar and the solution provided by him with regards to another prayer, which, as it turns out, is also in legal limbo, because its status is not established: the "Ishraq" prayer and other 'special prayers' like it (such as the "Days-of-the-Week-prayer" [Salat Ayyam al-Usbu']) mentioned in works filled with benefits and baraka like the Qut al-Qulub of Abu Talib al-Makki, the Ihya' of al-Ghazali and the Ghunya of 'Abd al-Qadir al-Jilani, as well as other works of this kind authored by masters in Tasawwuf (may Allah sanctify their secrets!), which can all be considered among the Fada'il al-A'mal:

"These kinds of prayers are not valid [if they are done] by [specifying: ta'yin] the intentions [as such] which the Sufis have made it a recommendation without there being any basis for it in the Hadiths [Ar. Sunna]. Certainly if one intended to pray an unspecified prayer [i.e. the Nafl Mutlaq, meaning: if one did not specify the prayer] and then [for instance] making a supplication after it which may include some kind of Isti'adha [seeking protection] or Istikhara [seeking guidance] in a general way [i.e. the Isti'adha or the Istikhara in this case are, for example, the specific reason or the 'intention' for doing that special prayer in the first place, following the kayfiyya or instruction recommended by the Sufi master], then there is no harm in that." [Ibn Hajar, Tuhfa, 2:544].

*Tabsira for students of fiqh* This mas'ala is a subtle one, and as our wise teachers have explained in the solution to it, the "academic" difference is in fact between an Idafa and a Zaraf: Salat Laylat Nisf Sha'ban vs. al-Salat fi Laylat Nisf Sha'ban; hA ilay-humA tahtadI! So don't be quick to be among those who object if you do not know the legal background behind the original objection in the first place! Because it is subtle, thus one might easily overlook this, so watch out!

Our advice to you is to not stop someone from wanting to perform 'ibada on this auspicious night, even if in your eyes he is performing an "ugly innovation". Remember that the prayer is after all something good, and as our beloved Prophet (may Allah's blessings and peace be upon him!) famously said, as narrated by Abu Dharr (may Allah be pleased with him!):

al-SalAtu khayrun mawDU'un istakthara aw aqalla
[The prayer is [always] a good thing; whether [done] a little or a lot] (Related by al-Tayalisi, Ahmad, Ibn Majah, al-Bazzar, Ibn Hibban, al-Tabarani (in his Kabir and Awsat), al-Hakim, al-Bayhaqi (in his Shu'ab), with variants).

It would be especially unwise for you to be the cause of a mukhalafa qulub between your friend and the "shaykh in tasawwuf" from whom he or she clearly benefits. In practice, to stay up during this night by filling one's time with 'ibada and dhikr, seeking His presence and devoting oneself to Him, is a well known 'amal that the Shafi'is from Hadramawt, South East Asia to East Africa do (as well as Hanafis, Malikis, and Hanbalis), whether in mosques, zawiyas, or in the corner of one's houses. The Fiqh is easy to study and the Adab is what takes a lifetime to understand. If someone wanted to perform this Fadila and also wants to avoid the Bid'a, then it is recommended that he or she adopts the solution sanctioned by our school (and the hukm of adopting the solution is itself Mandub/Sunna following the general fiqhi principle of "al-khurUju mina l-khilAfi mustaHabbun" [to avoid the controversy is desirable]). This is among the benefits of following the same path of Fiqh and Tasawwuf. Indeed, this is the meaning of the words of the Mujtahid Imam, the teacher to our Mujtahid, al-Malik (may Allah be well pleased with both of them!), when he said:

man taSawwafa wa lam yatafaqqah fa-qad tazandaqa
wa man tafaqqaha wa lam yataSawwaf fa-qad tafassaqa
wa man jama'a bayna-humA fa-qad taHaqqaqa

[Whoever studies Tasawwuf and does not study Fiqh will be a heretic. Whoever studies Fiqh and does not study Tasawwuf will be corrupted. Whoever combines the two will have the truth.]

And from that, we have the following verse (in Tawil) composed by his most famous student; and behold truly it is true advice:

faqIhan wa SUfiyyan fakun laysa wAHidan #
fa-innI wa Haqqi LlAhi iyyAka anSaHu

[Be (both) a jurist and a Sufi but never (either) one! Indeed it is by God's Right that I am advising you!]

#Fa'ida# Some useful philological notes on the Fadila of the month of Sha'ban from the Shafi'i lexicographer, Imam Ibn Manzur (may Allah be pleased with him!) in his Lisan al-'Arab [1:502]:

innamA summiya sha'bAnu sha'bAna li annahu sha'aba ay Zahara bayna shahray ramaDAna wa rajabin
[Sha'ban is called "Sha'ban" because it 'branches out', that is, it stands out between the two months of Rajab and Ramadan!]. This perplexing statement is immediately made clear by the following Hadith of Anas (may Allah be well pleased with him!):

atadrUna li-mA summiya sha'bAna
qAlU allAhu wa rasUluhu a'lamu qAla
li-annahu yatasha''abu fIhi khayrun kathIrun
[Do you all know why it is called Sha'ban?
They said: "Only Allah and his Messenger know best!" He said:
"Because there are many benefits branching out in this month."]
(Related by Abu al-Shaykh al-Hibbani, al-Daylami, al-Rafi'i (in his Tarikh), al-Suyuti, with variants). So take from it what one can!

We should restrict our explanation to what has been said here, and this is sufficient for those who understand. May this risala be beneficial, for what pertains specifically to your question with regards to its fiqh and furu', I have answered no more, no less. ja'ala-ha Allahu nafi'atan mubarakatan ila yawmi l-qiyama!

Only Allah and His Messenger know the best and right ruling!

al-raji min Rabbihi 'afwa ma janahu,

Muhammad Afifi al-Akiti ©
in Oxford
4 Muharram 1425
25 II 2004

Select Bibliography:

al-Bakri. Hashiyat I'anat al-Talibin. 4 vols. Bulaq, 1300 H.

Ibn Hajar al-Haytami. Tuhfa al-Muhtaj bi-Sharh al-Minhaj al-Nawawi in Hawashi al-Shirwani wa-Ibn 'Qasim 'ala Tuhfa al-Muhtaj. Edited by Muhammad 'Abd al-'Aziz al-Khalidi. 13 vols. Beirut: Dar al-Kutub 'Ilmiyya, 1996.

al-Ghazali. Ihya' 'Ulum al-Din. 4 vols. Bulaq, 1306 H.

Ibn Manzur. Lisan al-'Arab. 15 vols. Beirut: Dar al-Sadir, 1955-1956.

al-Kurdi. al-Hawashi al-Madaniya 'ala Sharh Ibn Hajar 'ala Mukhtasar Bafadl al-Hadrami. 2 vols. Surabaya: al-Hidaya, 1397 H.

al-Mallibari. Irshad al-'Ibad ila Sabil al-Rashad. Bulaq, 1302 H.

al-Nawawi. al-Majmu' Sharh al-Muhadhdhab. Edited by Mahmud Matraji. 22 vols. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

Tuesday, 7 July 2015

DOCTRINE OF AL-HALLAJ ON THE DIVINE ATTRIBUTES

DOCTRINE
OF
AL-HUSAYN IBN MANSUR AL-HALLAJ
FROM THE
CHAPTER ON THE EXPOSITION OF THE BELIEFS OF
THIS FOLD [THE SUFIS] ON QUESTIONS OF DOCTRINE
(Faslun fî bayân i‘tiqâd hâdhihi al-tâ’ifa fî masâ’il al-usûl)
FROM
AL-QUSHAYRI’S RISALA ILA AL-SUFIYYA
TRANSLATED WITH NOTES BY DR. G.F. HADDAD
Islam.

DOCTRINE OF AL-HALLAJ ON THE DIVINE ATTRIBUTES
AS NARRATED BY AL-QUSHAYRI

[16] Shaykh Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulami – Allah have mercy on him! – told us: I heard Muhammad ibn Muhammad ibn Ghalib say: I heard Abu Nasr Ahmad ibn Sa‘id al-Isfanjani say: al-Husayn ibn Mansur said: “You must categorically consider all to be contingent, for pre-existence belongs to Him [alone].

[17] “All that appears through body is necessarily an accident (‘arad).

[18] “That whose assemblage comes about through cause-and-effect (al-adât) is held together through its powers (quwâhâ).[1]

[19] “All that comes together at one time, goes into dispersion at another time.

[20] “All that something else causes to subsist is characterized by dependency.

[21] “All that imagination can possibly apprehend can be pictured.

[22] “All that is contained is subject to ‘where.’

[23] “And all that has a genus is the object of a modality.

[24] “No ‘above’ shades Him – Exalted is He! – nor does any ‘below’ carry Him.

[25] “No limit/direction faces Him (walâ yuqâbiluhu hadd) nor does any ‘at’ (‘ind) beset Him.

[26] “He is not confined by any ‘behind’ nor limited by any ‘before’.

[27] “No ‘before’ caused Him to appear nor did any ‘after’ cause Him to vanish.

[28] “No ‘all’ gathered Him.

[29] “No ‘He is’ brought Him into existence (lam yûjidhu kân).

[30] “No ‘He is not’ can cause Him to be missed (walam yufqidhu lays).

[31] “His description: He has none (wasfuhu lâ sifata lahu).[2]

[32] “His act has no cause (‘illa).

[33] “His being has no duration (amad).

[34] “He is transcendent beyond the states of His creatures: there is not for Him the least deliberation (mizâj) in His creation, nor working (‘ilâj) in His acts.

[35] “He is clearly separate from them by His pre-existence (bâyanahum biqidamih) just as they are clearly separate from Him by their contingent nature (kamâ bâyanûh bihudûthihim).[3]

[36] “If you ask ‘When?’ – His being is before Time.

[37] “Should you say, ‘HÛ’ – the letters hâ’ and wâw are but His creation.

[38] “And if you say, ‘Where?’ – His existence precedes Place.

[39] “So letters are His Signs (fal-hurûfu âyâtuhu);[4]

[40] “His existence is the affirmation of Him (wujûduhu ithbâtuh);[5]

[41] “Gnosis of Him is the upholding of His Oneness (ma‘rifatuhu tawhîduh);[6]

[42] “and His Tawhîd is to distinguish Him clearly from His creatures.

[43] “Whatever you imagine in your imaginings, He is different from that (mâ tusawwiru fil-awhâmi fahuwa bikhilâfih).

[44] “How can that which He Himself began analyze Him? (kayfa yahullu bihi mâ minhu bada’ahu).[7]

[45] “Or how can that be part of Him which He Himself gave rise to? (aw ya‘ûdu ilayhi mâ huwa ansha’ahu).

[46] “The pupils of the eyes cannot see Him.

[47] “Nor can conjectures apprehend Him.

[49] “His nearness is His generosity (qurbuhu karâmatuhu).

[50] “His distance is His contempt (wabu‘duhu ihânatuhu).

[51] His elevation is without ascent (‘uluwwuhu min ghayri tawaqqul).[8]

[52] His coming is without displacement (wamajî’uhu min ghayri tanaqqul).[9]

[53] (He is the First and the Last and the Manifest and the Hidden) (57:3), the Near (al-qarîb), the Far (al-ba‘îd),[10] (There is nothing what­soever like unto Him, and He is the All-Hearing, the All-Seeing) (42:11).

[1]“Such as life, death, poverty and wealth” (Sidi Mustafa Basir).
[2]Al-Tabari narrates in his Tafsir on verses 39:67 and 114:1 from Sa‘id ibn Jubayr, as well as Ibn al-Mundhir, Ibn Abi Hatim, Abu al-Shaykh in al-‘Azama, and al-Suyuti in al-Durr al-Manthur: “A group of Jews came to the Prophet – Allah bless and greet him – and asked him: ‘O Muhammad! Now, Allah created creation, but who created Him?’ At this the Prophet – Allah bless and greet him – became angry so that his color changed and he upbraided them on behalf of His Lord, whereupon Gibril – upon him peace – came and calmed him, saying: ‘Lower your wing [of mercy], O Muhammad! for the answer came to me from Allah to what they are asking about. Allah says: [Say: He is Allah, the One! Allah, the eternally Besought of all! He begets not nor was begotten. And there is none comparable unto Him] (112:1-4).’ When the Prophet – Allah bless and greet him – recited it to them they said, ‘Describe for us your Lord, what is His physical appearance, how are His arms and upper arms?’ At this the Prophet – Allah bless and greet him – became even angrier than before and upbraided them again, whereupon Gibril came again and told him the same thing as before, bringing him as the answer to what they had asked: (And they esteem not Allah as He has the right to be esteemed. The whole earth is His handful on the Day of Resurrection and the heavens are rolled in His right hand. Glorified is He and High Exalted from all that they ascribe as partner (unto Him)) (39:67).”
[3]“I.e. he completely differs from them because (There is nothing whatso­ever like unto Him) (42:11)” (Sidi Mustafa Basir).
[4]“I.e. [letter are] the material of which are made His verses and evidences revealed to His Prophet Muhammad – Allah bless and greet him –” (Mahmud and Sharif).
[5]“I.e. It is not enough to believe He exists, but the evidence for its firm proof must be shown up and established” (Mahmud and Sharif).
[6]“I.e. Gnosis of Him with His Attributes is produced by upholding His Oneness” (Mahmud and Sharif). “Sidi ‘Abd al-Salam ibn Mashish said: “O Allah, my Lord! Snatch me up from the quicksands of Tawhîd and drown me in the wellspring of the ocean of your Unicity” (Allâhumma anshilnî min awhâli al-tawhîdi wa’aghriqnî fî ‘ayni bahri wahdâniyyatik) (Sidi Mustafa Basir). Cf. Shaykh Nuh Keller, trans., Invocations of the Shadhili Order (p. 77-78): “And pluck me from the mires of affirming unity, to the infinite space of singularizing the One, transcendently beyond absoluteness or conditionedness; And drown me in the very sea of Oneness” (wanshulnî min awhâli al-tawhîdi ilâ fadâ’i al-tafrîdi al-munazzahi ‘an al-itlâqi wal-taqyîdi wa’aghriqnî fî ‘ayni bahri al-wahda), cf. Awrad al-Tariqa al-Shadhiliyya (p. 77-78).
[7]“I.e. the mind” (Sidi Mustafa Basir).
[8]“I.e. His elevation is over His slave and consists in majesty and greatness, not an elevation of place” (Mahmud and Sharif).
[9]“I.e. the coming of His favor and descent of His command is without [His] movement or displacement” (Mahmud and Sharif).
[10]“I.e. from the disbelievers as proven by the verse [Allah is the Protecting Friend of those who believe. He brings them out of darkness into light. As for those who dis­believe, their patrons are false deities. They bring them out of light into dark­ness] (2:257)” (Sidi Mustafa Basir). This is also in the sense of bâ’in as already stated.

Monday, 6 July 2015

Recite last 3 Quls regularly


1000 Good Deeds
Good Deed: #55 Recite last 3 Quls regularly

1000GOODDEEDS OCTOBER 22, 2009 GOOD DEEDS 1 REPLY

Abdullah bin Khubaib (Radhiallaho anha) reported:
The Messenger of Allah (Sallallaahu ‘alaihi wasallam) said to me,”Recite Surat Al-Ikhlas and Al-Mu`awwidhatain (Surat Al-Falaq and Surat An-Nas) three times at dawn and dusk. It will suffice you in all respects.” [Abu Dawud and At-Tirmidhi]. Riyad-us-Saliheen – Hadith No : 1456.

Imam Ahmad has recorded a narration in his Musnad that a person came up to the Messenger of Allah (Sallalahu ‘Alyhe Wa Sallam) and said, “I love this Surah [Al-Ikhlas] immensely.” The Holy Prophet (Sallalahu ‘Alyhe Wa Sallam) replied: “Your love for it will cause you to enter Paradise. ” [Ibn Kathir]

Abu Hurairah (RadiAllahu ‘Anhu) that once the Messenger of Allah (Sallalahu ‘Alyhe Wa Sallam) asked the people to gather and said:”I shall recite to you a third of the Quran?” When the people had congregated, he recited Surah Al-Ikhlas and said: “This is equal to a third of the Quran.” [Muslim].

In a lengthy Hadith, Abu Dawud, Tirmidhi and Nasa’i have recorded that the Messenger of Allah (Sallalahu A’lyhe Wa Sallam) said: “Anyone who recites Surah Al-Ikhlas and the mu’awwadhatain (i.e. Surah Al-Falaq and An-Nas) morning and evening, they shall be sufficient for him.” In another narration, the wordings are: “They will suffice him against every affliction.” [Ibn Kathir]

Imam Ahmad has recorded a narration in his Musnad on the authority of Sayyidina ‘Uqbah Ibn ‘Amir (RadiAllahu ‘Anhu) that the Messenger of Allah (Sallalahu ‘Alyhe Wa Sallam) said: “I shall show you three such Surahs that are revealed in Torah, Injil, Zabiir and the Quran. Do not sleep at night until such time that you have recited them. They are Surah Al-Ikhlas and the mu’awwadhatain (i.e. Surah Al-Falaq and An-Nas).” Sayyidna ‘Uqbah Ibn ‘Amir (RadiAllahu ‘Anhu) says that since I have heard this, I did not miss reciting them. [Ibn Kathir]

A’isha (radiAllahu anha) reported that whenever the Prophet (salAllahu alayhi wasalam) went to bed every night, he used to cup his hands together and blow over it after reciting Surat Al-Ikhlas, Surat Al-Falaq and Surat An-Nas, and then rub his hands over whatever parts of his body he was able to rub, starting with his head, face and front of his body. He used to do that three times.
[Sahih al-Bukhari 6:61 #536]

‘Uqba b. ‘Amir reported: The Messenger of Allah (may peace be upon him) said to me: “There have been sent down to me verses the like of which had never been seen before. They are the Mu’awwadhatain.” (Sahih Muslim Bk.004 Ch.136 No.1775)
# Narrated Uqbah ibn Amir: I was driving the she-camel of the Apostle of Allah (SAW) during a journey. He said to me: “Uqbah, should I not teach you two best surahs ever recited?” He then taught me: “Say, I seek refuge in the Lord of the dawn,” (Surah al-Falaq, Qur’an Ch.113) and “Say, I seek refuge in the Lord of men.”(Surah an-Nas, Qur’an Ch.114) He did not see me much pleased (by these two surahs). When he alighted for prayer, he led the people in the morning prayer and recited them in prayer. When the Apostle of Allah (SAW) finished his prayer, he turned to me and said: “O Uqbah, how did you see?” (Sunan Abu Dawud Bk.8 No.1457)
# Narrated Uqbah ibn Amir: The Apostle of Allah (SAW) commanded me to recite Mu’awwidhatayn (the last two surahs of the Qur’an) after every prayer. (Sunan Abu Dawud Bk.8 No.1518)

The Prophet (salAllahu alayhi wasalam) used to seek refuge from the jinn as well as from the evil eye until Surah al Falaq and An Naas were revealed. When they were sent down, he utilised them and left other things.
[at-Tirmidhi #1984, Riyad as-Salihin by Imam an-Nawawi Ch.183 #1014]
Anas mentioned that a man said to the Prophet (salAllahu alayhi wasalam) , ‘I really love this surah’. The Prophet replied, ‘And your love for it will enable you to enter paradise’
[at-Tirmidhi 2826/A, Riyad as-Salihin by Imam an-Nawawi Ch.183 #1013]

Abu Sa’id al-Khudri (radiAllahu anhu) reported that the Messenger of Allah (salAllahu alayhi wasalam) said about the surah, “Say: He is Allah, Absolute Oneness” (112), ‘By Him in Whose hand my soul is, it is equal to one third of the Qur’an!’
[Sahih al-Bukhari 6:61 #533, Riyad as-Salihin by Imam an-Nawawi Ch.183 #1010]

The Prophet (salAllahu alayhi wasalam) used to seek refuge from the jinn as well as from the evil eye until Surah al Falaq and An Naas were revealed. When they were sent down, he utilised them and left other things.
[at-Tirmidhi #1984, Riyad as-Salihin by Imam an-Nawawi Ch.183 #1014]

A’isha (radiAllahu anha) reported that whenever the Prophet (salAllahu alayhi wasalam) became sick, he would recite Mu’awwidhat (Surat Al-Falaq and Surat An-Nas) and then blow his breath over his body. When he became seriously ill, I used to recite (these two Surahs) and rub his hands over his body hoping for its blessings.
[Sahih al-Bukhari 6:61 #535]

Recitation by Hassen Rasool

Action Plan

1. Recite Surah Ikhlaas, Surah Falaq and Surah Naas 3 times after Fajr Salaah

2. Recite Surah Ikhlaas, Surah Falaq and Surah Naas 1 time after zuhr, asr and Esha salaah.

3. Blow on your hands and recite Surah Ikhlaas, Surah Falaq and Surah Naas and then rub your whole body before you sleep.

4. Recite Surah Ikhlaas, Surah Falaq and Surah Naas 3 times and pass on thawaab to the deceased.



Friday, 3 July 2015

Salat Tarawih

ARTIKEL KEISLAMAN

Salat Tarawih
صَـلاَةُالتَّراَوِيْحِ
Sayyid Ali Fikri dalam bukunya "Khulashatul Kalam fi Arkanil Islam" halaman 114 menuturkan tentang salat tarawih sebagai berikut:

Salat tarawih hukumnya sunnah muakkad (sunnah yang hukumnya mendekati wajib) menurut para Imam Madzhab pada malam-malam bulan Ramadlan. Waktunya adalah setelah salat Isyak sampai terbit fajar; dan disunnahkan salat witir sesudahnya.

Salat tarawih disunnahkan beristirahat sesudah tiap empat rakaat selama cukup untuk melakukan salat empat rakaat. Jumlah bilangannya adalah 20 rakaat dan setiap dua rakaat satu kali salam. Salat tarawih disunnahkan bagi orang laki-laki dan perempuan.
Cara melakukan salat tarawih adalah seperti salat subuh, artinya setiap dua rakaat satu salam; tidak sah tanpa membaca Fatihah dan disunnahkan membaca ayat atau surat pada setiap rakaat.

Hikmah salat tarawih adalah untuk menguatkan jiwa, mengistirahatkan dan menyegarkannya guna melakukan ketaatan; dan juga untuk memudahkan mencerna makanan sesudah makan malam. Apabila sesudah berbuka puasa lalu tidur, maka makanan yang ada dalam perut besarnya tidak tercerna, sehingga dapat mengganggu kesehatan; kesegaran jasmaninya menjadi lesu dan rusak.

Orang yang pertama kali mengumpulkan orang-orang muslim untuk melakukan salat tarawih secara berjamaah dengan hitungan 20 rakaat adalah Khalifah Umar bin Khattab ra. dan disetujui oleh para sahabat Nabi pada waktu itu. Kegiatan tersebut berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Usman dan Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Kegiatan salat tarawih secara berjamaah seperti ini terkait sabda Rasulullah saw:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
"Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafaur Rasyidin".

Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. bahkan menambah jumlah rakaatnya menjadi 36 (tiga puluh enam) rakaat. Tambahan ini beliau maksudkan untuk menyamakan dengan keutamaan dan pahala penduduk Makkah yang setiap kali selesai melakukan salat empat rakaat, mereka melakukan thawaf. Jadi Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra. melakukan salat empat rakaat sebagai ganti dari satu kali thawaf agar dapat memperoleh pahala dan ganjaran berimbang.

Berdasarkan sunnah dari Khalifah Umar bin Khattab tersebut, maka :

Menurut madzhab Hanafi, Syafii dan Hambali, jumlah salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir.
Menurut madzhab Maliki, jumlah salat tarawih adalah 36 (tigapuluh enam) rakaat, karena mengikuti sunnah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Adapun orang yang melakukan salat tarawih 8 (delapan) rakaat dengan witir 3 (tiga) rakaat, adalah mengikuti hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah yang berbunyi sebagai berikut:

َما كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَــــانَ وَلاَ فِى غَــيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً ، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْــاَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَــلِّى ثَلاَثًا ، فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ اَنْ تُوْتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَـــــنَامُ قَلْبِى . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
"Tiadalah Rasulullah saw. menambah pada bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan lainnya atas sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat empat rakaat dan jangan Anda bertanya tentang kebagusan dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat. Kemudian aku (Aisyah) bertanya, "Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum salat witir?" Beliau bersabda, "Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur."

Syekh Muhammad bin 'Allan dalam kitab "Dalilul Falihin" jilid III halaman 659 menerangkan bahwa hadits di atas adalah hadits tentang salat witir, karena salat witir itu paling banyak hanya sebelas rakaat, tidak boleh lebih. Hal itu terlihat dari ucapan Aisyah bahwa Nabi saw. tidak menambah salat, baik pada bulan Ramadlan atau lainnya melebihi sebelas rakaat. Sedangkan salat tarawih atau "qiyamu Ramadlan" hanya ada pada bulan Ramadlan saja.

Ucapan Aisyah "beliau salat empat rakaat dan Anda jangan bertanya tentang kebagusan dan panjangnya", tidaklah berarti bahwa beliau melakukan salat empat rakaat dengan satu kali salam. Sebab dalam hadits yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra. Nabi bersabda:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَاَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ .
"Salat malam itu (dilakukan) dua rakaat dua rakaat, dan jika kamu khawatir akan subuh, salatlah witir satu rakaat".

Dalam hadits lain yang disepakati kesahihannya oleh Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar juga berkata :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى وَ يُوْتِرُ بِرَكْعَةٍ .
"Adalah Nabi saw. melakukan salat dari waktu malam dua rakaat dua rakaat, dan melakukan witir dengan satu rakaat".

Pada masa Rasulullah saw. dan masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq, salat tarawih dilaksanakan pada waktu tengah malam, namanya bukan salat tarawih, melainkan "qiyamu Ramadlan" (salat pada malam bulan Ramadlan). Nama "tarawih" diambil dari arti "istirahat" yang dilakukan setelah melakukan salat empat rakaat. Disamping itu perlu diketahui, bahwa pelaksanaan salat tarawih di Masjid al-Haram, Makkah adalah 20 rakaat dengan dua rakaat satu salam.

Almarhum K.H. Ali Ma'sum Krapyak, Yogyakarta dalam bukunya berjudul "Hujjatu Ahlis Sunnah Wal Jamaah" halaman 24 dan 40 menerangkan tentang "Salat Tarawih" yang artinya kurang lebih sebagai berikut:

Salat tarawih, meskipun dalam hal ini terdapat perbedaan, sepatutnya tidak boleh ada saling mengingkari terhadap kepentingannya. Salat tarawih menurut kami, orang-orang yang bermadzhab Syafii, bahkan dalam madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah adalah 20 rakaat. Salat tarawih hukumnya adalah sunnah muakkad bagi setiap laki-laki dan wanita, menurut madzhab Hanafi, Syafii, Hambali, dan Maliki.
Menurut madzhab Syafii dan Hambali, salat tarawih disunnahkan untuk dilakukan secaran berjamaah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya mandub (derajatnya di bawah sunnah), sedang madzhab Hanafi berpendapat bahwa berjamaah dalam salat tarawih hukumnya sunnah kifayah bagi penduduk kampung. Dengan demikian apabila ada sebagian dari penduduk kampung tersebut telah melaksanakan dengan berjamaah, maka lainnya gugur dari tuntutan.

Para imam madzhab telah menetapkan kesunnahan salat tarawih berdasarkan perbuatan Nabi Muhammad saw. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadits sebagai berikut:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِى جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيَ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثٌ مُتَفَرِّقَةٌ لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسّابِعِ وَالْعِشْرِيْنَ وَصَلَّى فِى الْمَسْجِدِ وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا ، وَكَانَ يُصَلِّى بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ أَيْ بِأَرْبَعِ تَسْلِيْمَاتٍ كَمَا سَيَأْتِى وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيَهَا فِى بُيُوْتِــــهِمْ أَيْ حَتَّى تَتِــــمَّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لِمَا يَأْتِى ، فَكَانَ يُسْمَعُ لَهُمْ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ النَّحْلِ .

"Nabi saw. keluar pada waktu tengah malam pada bulan Ramadlan, yaitu pada tiga malam yang terpisah: malam tanggal 23, 25, dan 27. Beliau salat di masjid dan orang-orang salat seperti salat beliau di masjid. Beliau salat dengan mereka delapan rakaat, artinya dengan empat kali salam sebagaimana keterangan mendatang, dan mereka menyempurnakan salat tersebut di rumah-rumah mereka, artinya sehingga salat tersebut sempurna 20 rakaat menurut keterangan mendatang. Dari mereka itu terdengar suara seperti suara lebah".

Dari hadits ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad saw. telah mensunnahkan salat tarawih dan berjamaah. Akan tetapi beliau tidak melakukan salat dengan para sahabat sebanyak 20 rakaat sebagaimana amalan yang berlaku sejak zaman sahabat dan orang-orang sesudah mereka sampai sekarang.

Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra. bahwa Nabi Muhammad saw. keluar sesudah tengah malam pada bulan Ramadlan dan beliau melakukan salat di masjid. Para sahabat lalu melakukan salat dengan beliau. Pada pagi harinya para sahabat memperbincangkan salat mereka dengan Rasulullah saw., sehingga pada malam kedua orang bertambah banyak. Kemudian Nabi saw. melakukan salat dan orang-orang melakukan salat dengan beliau. Pada malam ketiga tatkala orang-orang bertambah banyak sehingga masjid tidak mampu menampung para jamaah, Rasulullah saw. tidak keluar untuk jamaah, hingga beliau keluar untuk melakukan salat subuh. Setelah salat subuh, beliau menemui para jamaah dan bersabda, "Sesungguhnya tidaklah dikhawatirkan atas kepentingan kalian tadi malam; akan tetapi aku takut apabila salat malam itu diwajibkan atas kamu sekalian, sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya!".

Setelah Rasulullah saw. wafat keadaan berjalan demikian sampai pada zaman kekhalifahan Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab ra. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. beliau mengumpulkan orang-orang laki-laki untuk berjamaah salat tarawih dengan diimami oleh Ubay bin Ka'ab dan orang-orang perempuan berjamaah dengan diimami oleh Usman bin Khatsamah. Oleh karena itu Khalifah Usman bin Affan berkata pada masa pemerintahan beliau, "Semoga Allah menerangi kubur Umar sebagaimana Umar telah menerangi masjid-masjid kita". Yang dikehendaki oleh hadits ini adalah bahwa Nabi saw. keluar dalam dua malam saja.

Menurut pendapat yang masyhur adalah bahwa Rasulullah saw. keluar pada para sahabat untuk melakukan salat tarawih bersama mereka tiga malam yaitu tanggal 23, 25, dan 27, dan beliau tidak keluar pada malam 29. Sesungguhnya Rasulullah saw tidak keluar tiga malam berturut-turut adalah karena kasihan kepada para sahabat. Beliau salat bersama para sahabat delapan rakaat; tetapi beliau menyempurnakan salat 20 rakaat di rumah beliau dan para sahabat menyempurnakan salat di rumah mereka 20 rakaat, dengan bukti bahwa dari mereka itu didengar suara seperti suara lebah. Nabi saw. tidak menyempurnakan bersama para sahabat 20 rakaat di masjid adalah karena kasihan kepada mereka.

Dari hadits ini menjadi jelas, bahwa jumlah salat tarawih yang mereka lakukan tidak terbatas hanya delapan rakaat, dengan bukti bahwa mereka menyempurnakannya di rumah-rumah mereka. Sedangkan pekerjaan Khalifah Umar ra. telah menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20, pada saat Umar ra. mengumpulkan orang-orang di masjid dan para sahabat menyetujuinya tak seorangpun dari para Khulafa'ur Rasyidun yang berbeda dengan Umar. Mereka terus menerus melakukan salat tarawih secara berjamaah sebanyak 20 rakaat. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. telah bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ. رَوَاهُ أَبُوْدَاوُدَ
"Wajib atas kamu sekalian mengikuti sunnahku dan sunnah dari al-Khulafa ar-Rasyidun yang telah mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi geraham (berpegang teguhlah kamu sekalian pada sunnah-sunnah tersebut). HR Abu Dawud

Nabi Muhammad saw. juga bersabda sebagai berikut:

اِقْتَدُوْا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهْ
"Ikutlah kamu sekalian dengan kedua orang ini sesudah aku mangkat, yaitu Abu Bakar dan Umar". HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.

Telah diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay dan Tamim ad-Daari melakukan salat tarawih bersama orang-orang sebanyak 20 rakaat. Imam al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan isnad yang sahih, bahwa mereka melakukan salat tarawih pada masa pemerintahan Umar bin Khattab 20 rakaat, dan menurut satu riwayat 23 rakaat. Pada masa pemerintahan Usman bin Affan juga seperti itu, sehingga menjadi ijmak. Dalam satu riwayat, Ali bin Abi Talib ra. mengimami dengan 20 rakaat dan salat witir dengan tiga rakaat.

Imam Abu Hanifah telah ditanya tentang apa yang telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau menjelaskan, "Salat tarawih adalah sunnah muakkadah. Umar ra. tidak menentukan bilangan 20 rakaat tersebut dari kehendaknya sendiri. Dalam hal ini beliau bukanlah orang yang berbuat bid'ah. Beliau tidak memerintahkan salat 20 rakaat, kecuali berasal dari sumber pokoknya yaitu dari Rasulullah saw."

Khalifah Umar bin Khattab ra. telah membuat sunnah dalam hal salat tarawih ini dan telah mengumpulkan orang-orang dengan diimami oleh Ubay bin Ka'ab, sehingga Ubay bin Ka'ab melakukan salat tarawih secara berjamaah, sedangkan para sahabat mengikutinya. Di antara para sahabat yang mengikuti pada waktu itu terdapat Usman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, 'Abbas dan puteranya, Thalhah, az-Zubayr, Mu'adz, Ubay dan para sahabat Muhajirin dan sahabat Ansor lainnya ra. Pada waktu itu tak seorangpun dari para sahabat yang menolak atau menentangnya, bahkan mereka membantu dan menyetujuinya serta memerintahkan hal tersebut. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. bersabda:

أَصْحَابِى كَالنُّجُوْمِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ.

"Para sahabatku adalah bagaikan bintang-bintang di langit. Dengan siapa saja dari mereka kamu ikuti, maka kamu akan mendapatkan petunjuk".

Memang, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu beliau mengikuti orang Madinah, bilangan salat tarawih ditambah dan dijadikan 36 rakaat. Akan tetapi tambahan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan keutamaan dengan penduduk Makkah; karena penduduk Makkah melakukan thawaf di Baitullah satu kali sesudah salat empat rakaat dengan dua kali salam. Maka Umar bin Abdul Aziz ra. yang pada waktu itu mengimami para jamaah berpendapat untuk melakukan salat empat rakaat dengan dua kali salam sebagai ganti dari thawaf.

Ini adalah dalil dari kebenaran ijtihad dari para ulama dalam menambahi ibadah yang telah disyariatkan. Sama sekali tidak perlu diragukan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk melakukan salat sunnah semampu mungkin pada waktu malam atau siang hari, kecuali pada waktu-waktu yang dilarang untuk melakukan salat.

Pengarang kitab "Al-Fiqhu 'Ala al-Madzahib al-Arbaah" menyatakan bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat menurut semua imam madzhab kecuali witir.

Dalam kitab "Mizan" karangan Imam asy-Sya'rani halaman 148 dinyatakan bahwa termasuk pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafii, dan Ahmad, salat tarawih adalah 20 rakaat. Imam asy-Syafii berkata, "20 rakaat bagi mereka adalah lebih saya sukai!". Sesungguhnya salat tarawih secara berjamaah adalah lebih utama. Imam Malik dalam salah satu riwayat menyatakan bahwa salat tarawih adalah 36 rakaat.

Dalam kitab "Bidayah al-Mujtahid" karangan Imam Qurthubi juz I halaman 21 diterangkan bahwa salat tarawih yang Umar bin Khattab mengumpulkan orang-orang untuk melakukannya secara berjamaah adalah disukai; dan mereka berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat yang dilakukan orang-orang pada bulan Ramadlan. Imam Malik dalam salah satu dari kedua pendapat beliau, Imam Abu Hanifah, Imam as-Syafii, dan Imam Ahmad bin Hambal memilih 20 rakaat selain salat witir.

Pada pokoknya Imam Madzhab Empat tersebut memilih bahwa salat tarawih adalah 20 rakaat selain salat witir. Sedangkan orang yang berpendapat bahwa salat tarawih adalah 8 (delapan) rakaat adalah menyalahi dan menentang terhadap apa yang telah mereka pilih. Sebaiknya pendapat orang ini dibuang dan tidak usah diperhatikan, karena tidak termasuk golongan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yaitu golongan yang selamat, yang mengikuti sunnah Rasulullah saw. dan para sahabat beliau.

Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa salat tarawih delapan rakaat adalah berdasarkan hadits Aisyah ra. sebagaimana disebutkan di muka.

Hadits tersebut tidak sah untuk dijadikan dasar salat tarawih, karena maudlu' dari hadits tersebut yang nampak jelas adalah salat witir. Sebagaimana kita ketahui, salat witir itu paling sedikit adalah satu rakaat dan paling banyak adalah sebelas rakaat. Rasulullah saw. pada waktu sesudah tidur melakukan salat empat rakaat dengan dua salam tanpa disela, lalu melakukan salat empat rakaat dengan dua salam tanpa disela, kemudian melakukan salat tiga rakaat dengan dua salam juga tanpa disela. Hal ini menunjukkan bahwa hadits Aisyah ra. adalah salat witir:

Ucapan Aisyah, "Apakah Engkau tidur sebelum engkau melakukan witir?" Sesungguhnya salat tarawih itu dikerjakan sesudah salat isyak dan sebelum tidur.

Sementara itu salat tarawih tidak didapati pada selain bulan Ramadlan.
Dengan demikian tidak ada dalil yang menentang kebenaran salat tarawih 20 rakaat. Imam al-Qasthalani dalam kitab "Irsyad as-Sari" syarah dari Sahih Bukhari berkata, "Apa yang sudah diketahui, yaitu yang dipakai oleh "jumhur ulama" adalah bahwa bilangan/ jumlah rakaat salat tarawih 20 rakaat dengan sepuluh kali salam, sama dengan lima kali tarawih yang setiap tarawih empat rakaat dengan dua kali salam selain witir, yaitu tiga rakaat.

Dalam Sunan al-Baihaqiy dengan isnad yang sahih sebagaimana ucapan Zainuddin al-Iraqi dalam kitab "Syarah Taqrib", dari as-Sa'ib bin Yazid ra. katanya, "Mereka (para sahabat) melakukan salat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra. pada bulan Ramadlan dengan 20 rakaat.

Imam Malik dalam kitab "Al-Muwaththa" meriwayatkan dari Yazid bin Rauman katanya, "Orang-orang pada zaman Khalifah Umar bin Khattab ra. melakukan salat dengan 23 rakaat. Imam al-Baihaqi telah mengumpulkan kedua riwayat tersebut dengan menyebutkan bahwa mereka melakukan witir tiga rakaat. Para ulama telah menghitung apa yang terjadi pada zaman Umar bin Khattab sebagai ijmak.

Perlu kita ketahui bahwa salat tarawih adalah dua rakaat satu salam, menurut madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam hal ini madzhab Syafii berpendapat bahwa wajib dari setiap dua rakaat; sehingga jika seseorang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, maka hukumnya tidak sah".

Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali berpendapat bawa disunnahkan melakukan salam pada akhir setiap dua rakaat. Jika ada orang yang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, dan dia duduk pada permulaan setiap dua rakaat, maka hukumnya sah tetapi makruh. Jika tidak duduk pada permulaan setiap dua rakaat maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat dari para imam madzhab".

Adapun madzhab Syafii berpendapat bahwa wajib melakukan salam pada setiap dua rakaat. Jika orang melakukan salat tarawih 20 rakaat dengan satu salam, hukumnya tidak sah; baik dia duduk atau tidak pada permulaan setiap dua rakaat. Jadi menurut para ulama Syafiiyyah, salat tarawih harus dilakukan dua rakaat dua rakaat dan salam pada permulaan setiap dua rakaat.

Adapun ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang melakukan salat empat rakaat dengan satu salam, maka empat rakaat tersebut adalah sebagai ganti dari dua rakaat menurut kesepakatan mereka. Jika seseorang melakukan salat lebih dari empat rakaat dengan satu salam, maka keabsahannya diperselisihkan. Ada yang berpendapat sebagai ganti dari rakaat yang genap dari salat tarawih, dan ada yang berpendapat tidak sah".

Para ulama dari madzhab Hambali berpendapat bahwa salat seperti tersebut sah tetapi makruh dan dihitung 20 rakaat. Sedangkan para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa salat yang demikian itu sah dan dihitung 20 rakaat. Orang yang melakukan salat demikian adalah orang yang meninggalkan kesunnahan tasyahhud dan kesunnahan salam pada setiap dua rakaat; dan yang demikian itu adalah makruh".

Rasulullah saw. bersabda:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِــــــدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ عَنْ عَبْدِ اللّهِ ابْنِ عُمَرَ .
"Salat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat. Jika salah seorang dari kamu sekalian khawatir akan subuh, maka dia salat satu rakaat yang menjadi witir baginya dari salat yang telah dilakukan".

Hal yang menunjukkan bahwa bilangan salat tarawih 20 rakaat selain dari dalil-dalil tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Humaid dan at-Thabrani dari jalan Abu Syaibah bin Usman dari al-Hakam dari Muqassim dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah saw. telah melakukan salat pada bulan Ramadlan 20 rakaat dan witir.

Pemakalah
Drs. K.H. Achmad Masduqi Machfudh

Ayat Mutashabihat

ARTIKEL KEISLAMAN

Ayat Mutashabihat dan Kritik Terhadap Peringkatnya

Pendahuluan
Al-Qur'an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai sumber ajaran agama Islam yang utama.1 Semua isi kandungannya merupakan pedoman kuat serta hujjah yang ampuh. Kitab suci yang menakjubkan ini merupakan pegangan umat manusia, sekaligus pelita dalam hidup dan kehidupan agar dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.2 Di dalamnya terkandung ayat atau makna yang antar satu dengan lainnya saling menyempurnakan dan membenarkan, tidak ada pertentangan. Seluruh ayatnya bersifat Qot'i al-Wurud, yang jelas diyakini eksistensinya sebagai wahyu Allah.3

Diperlukan persyaratan yang sangat berat dan penguasaan beberapa disiplin keilmuan agar seseorang dapat dan mampu menterjemahkan serta menafsirkan al-Qur'an dengan baik dan benar. Ia setelah benar-benar mahir dalam ilmu bahasa arab, ilmu kalam dan ilmu usul juga dituntut harus menguasai pula ilmu-ilmu pokok al-Qur'an yang meliputi ilmu tentang:

•Mawatin al-Nuzul (tempat-tempat turunnya ayat),
•Tawarikh al-Nuzul (masa turunnya ayat),
•Asbab al-Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat),
•Qira'at (bacaan-bacaan al-Qur'an),
•Tajwid (cara membaca al-Qur'an dengan baik dan benar),
•Gharib al-Qur'an (kata-kata yang ganjil dalam al-Qur'an),
•I'rab al-Qur'an (struktur kalimat),
•al-Wujuh wa al-Naza'ir (kata-kata al-Qur'an yang multi makna),
•al-Muhkam wa al-Mutashabihat,
•al-Nasikh wa al-Mansukh (ayat yang menghapuskan atau dihapuskan ayat lain),
•Bada'i al-Qur'an (keindahan nilai sastra al-Qur'an),
•I'jaz al-Qur'an (kemukjizatan al-Qur'an),
•Tanasub al-Qur'an (keserasian antara ayat-ayat al-Qur'an),
•Aqsam al-Qur'an (sumpah-sumpah al-Qur'an),
•Amthal al-Qur'an (perumpaan-perumpaan dalam al-Qur'an),
•Jidal al-Qur'an (bentuk dan cara argumantasi dalam al-Qur'an), dan
•Adab Tilawah al-Qur'an (adab dalam membaca al-Qur'an).4
•Ilmu al-Muhkam wa al-Mutashabihat termasuk didalam ilmu-ilmu pokok al-Qur'an karena di dalam al-Qur'an memuat ayat-ayat mutashabihat (yang mengandung ambiguitas) di samping ayat-ayat yang tergolong muhkamat (yang pengertiannya telah tegas dan jelas).5 Ambiguitas ini disebabkan banyak terjadinya kemiripan dalam segi balaghah-nya, i'jaz-nya atau sulitnya memilah bagian-bagian manakah yang lebih utama.6 Sehingga menimbulkan pengertian yang tidak tegas atau samar-samar (timbul beberapa pengertian) dikarenakan ketidakjelasan dalam segi lafadnya, rancu maknanya atau rancu dalam hal kedua-duanya (lafad dan maknanya).

Ayat-ayat yang bersifat mutasyabihat ini terutama dapat kita temukan dalam pembahasan yang tergolong furu' (cabang) agama yang bukan termasuk dalam masalah pokok agama. Sehingga memungkinkan bagi seorang mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada maksud dan arti yang bersifat jelas (muhkam) dengan cara mengembalikannya (masalah furu') kepada masalah pokok.7

Pengertian Ayat Mutashabihat dan Pandangan Ulama
Secara bahasa (etimologi), kata mutashabihat berasal dari kata tashabuh yang berarti "keserupaan" dan "kemiripan". Tashabaha dan ishtabaha berarti saling menyerupai satu dengan lainnya hingga tampak mirip sehingga perbedaan yang ada diantara keduanya menjadi samar. Sehingga ungkapan orang-orang bani Israil kepada nabi Musa yang berbunyi "inna al-baqara tashabaha 'alayna"8 berarti "sesungguhnya sapi itu sangat mirip di mata kami".9 Jadi makna mutashabih adalah ungkapan yang memperlihatkan bahwa sesuatu itu sama dengan sesuatu yang lain dalam satu atau beberapa sisi atau sifat, atau yang membuat sesuatu yang tidak dapat dijangkau akal, dengan mudah dapat dipahami.10

Tim penerjemah/penafsir al-Qur'an Departemen Agama memberikan catatan terhadap ayat mutasyabihat sebagai ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang di maksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan hal yang ghaib seperti ayat mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.11

Terdapat tiga ayat yang sering muncul dipermukaan dan menjadi perdebatan apabila kita membicarakan ayat-ayat muhkam dan mutashabihat al-Qur'an. Pertama, bahwa semua ayat al-Qur'an adalah bersifat muhkam, berdasarkan Q.S Hud:1

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ءَايَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِير
"Alif Lam Ra, (Inilah) kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan sempurna dan dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui".12
Kedua, bahwa semua ayat al-Qur'an adalah mutashabihat, berdasarkan Q.S al-Zumar: 23,

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, (yaitu) al-Qur'an yang (kualitas ayat-ayatnya) serupa dan berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah dengan kitab itu . Dia menunjukkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun."13

Ketiga, bahwa sebagian ayat-ayat al-Qur'an terdiri dari ayat yang tergolong muhkamat dan sebagian lainnya tergolong mutashabihat. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Imron:7,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
"Dialah (Allah) yang menurunkan al-Kitab kepadamu. Diantara isinya terdapat ayat-ayat muhkamat yaitu pokok-pokok al-Kitab (Umm al-Kitab), dan yang lain ayat-ayat) mutashabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutashabihat untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutashabihat Semuanyaitu berasal dari sisi Tuhan kami". Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (dari padanya) melainkan orang-orang yang berakal".14

Sebenarnya ketiga pendapat diatas tidak ada yang kontroversi. Yang dimaksudkan dalam ayat pertama adalah seluruh ayat-ayat al-Qur'an mengandung kesempurnaan susunan dan tidak ada pertentangan diantara ayat-ayatnya. Ia laksana bangunan besar yang sangat kokoh sepanjang jaman. Pengertian ayat kedua adalah seluruh ayat al-Qur'an mengandung segi kesamaan dalam hal kesempurnaan kebenarannya, kebaikan dan kemukjizatannya, baik aspek lafad atau isinya. Sehingga tidak ada kemungkinan sebagian ayat al-Qur'an melebih-lebihkan atas ayat lainnya. Ayat ketiga mempunyai pengertian bahwa didalam al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang makna (dalalah)-nya disebutkan secara jelas/eksplisit (muhkam) dan ada yang makna (dalalah)-nya disebutkan secara samar/ implisit (mutashabihat).15

Al-Zarqani dalam mengartikan ayat-ayat mutashabihat mengatakan bahwa ia merupakan perbandingan dari ayat-ayat muhkamat. Selanjutnya beliau menjelaskan keduanya, bahwa:

Menurut ulama Hanafiah
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang dalalahnya jelas, terang dan tidak mengandung adanya naskh. Sedangkan ayat-ayat mutashabihat adalah ayat-ayat yang samar dan tidak dapat diketahui pengertiannya baik secara naqli maupun aqli, sesuatu yang ketentuannya dirahasiakan oleh Allah, seperti terjadinya kiamat, makna al-ahruf al-muqatta'ah (huruf-huruf hijaiyyah yang terputus-putus) pada beberapa permulaan surat.

Menurut ulama Ahl al-Sunnah
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang pengertiaanya dapat diketahui baik secara lahiriah ataupun dengan takwil. Sedang ayat mutashabihat adalah ayat yang ketentuannya hanya diketahui Allah.
Menurut Ibn 'Abbas dan ulama Ushul
Ayat-ayat muhkamat adalah ayat yang hanya mengandung satu pengertian. Sedang ayat-ayat mutashabihat mengandung beberapa pengertian.

Menurut Imam Ahmad
Ayat muhkamat adalah ayat yang bisa berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan. Sedang mutashabihat tidak dapat berdiri sendiri dan masih butuh penjelasan. Karena adanya perbedaan dalam pengertiannya.

Menurut ulama muta'akhirin
Ayat muhkamat adalah ayat yang jelas dan tidak rancu. Sedang ayat mutashabihat adalah kebalikannya.16
Ulama-ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ayat-ayat mutashabihat sebagaimana di atas dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami kedudukan dan status lafad والراسخون في العلم pada surah al-Imran:7. Mereka memperdebatkan apakah lafad tersebut merupakan kalimat lanjutan dari kalimat sebelumnya, yaitu dengan menganggap huruf و (wa/dan) sebagai harf 'atfi (kata penghubung) sehingga pengertiannya:

"Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya...",
ataukah sebagai kalimat baru, yaitu dengan menganggap huruf و (wa) tersebut sebagai huruf ibtida' (berfungsi sebagai permulaan pokok kalimat) sehingga pengertiannya menjadi,

"Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya..."
Bagi kelompok pertama, ayat-ayat mutashabihat itu dapat dipahami karena menurut mereka, al-Qur'an justru diturunkan pada umat manusia untuk dipahami, termasuk di dalamnya ayat-ayat mutashabihat. Akan tetapi bagi kelompok kedua, ayat-ayat mutashabihat tidak dapat dipahami oleh manusia, karena menurut mereka, ayat-ayat tersebut diturunkan untuk menguji iman manusia.

Klasifikasi Ayat Mutashabihat dan Kontroversinya
Secara garis besar para ulama mengklasifikasikan ayat-ayat mutashabihat ke dalam dua kategori:

Berdasarkan aspek lafad, makna dan kedua-duanya (lafad dan maknanya)

Secara lafad
Ayat-ayat mutashabihat yang ambiguitasnya berawal dari ketidakjelasan bentuk lafad ayat, seperti pada kata "al-yad" (tangan) dan kata "al-ain" (mata) yang mempunyai banyak pengertian. Sebagaimana tercantum dalam surat al-Shaad:75,
termasuk didalamnya karena lafad yang terkandung tidak dapat diketahui secara pasti.17

Secara makna

Ayat yang mengandung ambiguitas karena rancu dalam kandungan maknanya. Hal ini ditunjukkan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah (mutashabih al-sifat/antromorfisme), hari kiamat, nikmat surga dan siksa neraka. Seperti ayat 5, surat Taha:
-nya Allah di atas 'arsh.

Secara lafad dan makna
Ayat yang merngandung ambiguitas karena rancu dalam segi lafad dan sekaligus kandungan maknanya. Sebagaimana yang tercantum dalam Qur'an surat at-Taubah:5,

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Kata dan makna al-musyrikin (jamak dari kata al-musyrik) dapat berarti seluruh kaum musyrikin, sebagian atau orang-orang tertentu saja.
Klasifikasi berdasarkan bisa tidaknya ayat mutashabihat diketahui manusia

Ayat yang sama sekali tidak bisa diketahui manusia hanya Allah saja yang mengetahuinya secara pasti. Sebagaimana ayat-ayat tentang hakikat sifat-sifat Allah, tentang kiamat, dan hal-hal yang ketentuannya di tangan Allah (seperti munculnya "dabbah", binatang yang keluar pada saat terjadi kiamat, munculnya "dajjal", dll.).

Ayat yang setiap orang bisa mengetahuinya dengan mencermati dan mempelajarinya secara mendalam. Sebagaimana ayat-ayat yang susunannya masih global, ringkas dan mengandung kata-kata "asing".
Ayat yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang tertentu (ulama khusus) dan mempunyai pengetahuan yang mendalam.18
Metode Penafsiran Ulama terhadap Ayat-Ayat Mutashabihat
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perbedaan pemahaman ulama atas ayat-ayat mutashabihat berpangkal pada perbedaan mereka dalam memahami surat Ali 'Imran ayat 7. Perbedaan inilah yang menyebabkan mereka berbeda pula dalam metode penafsiran ayat-ayat mutashabihat.

Al-Suyuti mengatakan bahwa hanya sedikit dari ulama yang meyakini bahwa lafad والراسخون في العلم adalah kelanjutan dari lafad sebelumnya و (berfungsi sebagai harf athf). Sedangkan kebanyakan para tokoh ahli tafsir di kalangan sahabat, tabi'in dan selanjutnya, terutama pengikut Ahl al-Sunnah meyakini bahwa lafad tersebut adalah berdiri sendiri و adalah harf ibtida' dan terpisah dari kalimat sebelumnya.

Berkaitan dengan ini, terdapat dua golongan yang berbeda didalam metode penafsiran ayat-ayat mutashabihat, mereka adalah golongan salaf dan golongan khalaf.19

Golongan salaf (ada yang menyebut sebagai madhhab al-mufawwidah, aliran yang menyerahkan permasalahan kepada Allah) berpendapat bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutashabihat yang hanya berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab hanyalah akan menghasilkan kesimpulan yang bersifat zanni (tidak pasti). Padahal sebagian dari ayat-ayat mutashabihat termasuk persoalan akidah yang dasar pijakannya tidak cukup hanya dengan argumen yang bersifat zanni tetapi harus bersifat qat'i (pasti). Karena untuk mendapatkan dasar yang bersifat qat'i tidak ada jalannya, maka mereka bersikap tawaqquf (tidak mengambil keputusan dan menyerahkannya kepada Allah).20

Mereka berpegangan pada sebuah hadis yang berarti:

Al-Darimi meriwayatkan hadith dari Sulayman bin Yasar bahwa seorang laki-laki yang bernama Ibn Subaygh datang ke Madinah, kemudian bertanya tentang mutasyabih dalam al-Qur'an maka Umar datang seraya menyediakan sebatang pelepah kurma untuk (memukul) orang tersebut.

Umar bertanya:
"Siapakah anda?"
Ia menjawab:
"Saya adalah 'Abd Allah b. Subaygh".
Kemudian 'Umar mengambil pelepah kurma dan memukulkannya hingga kepalanya berdarah.
Dalam riwayat lain dikatakan:

Kemudian 'Umar memukulnya dengan pelepah kurma hingga mengakibatkan punggungnya terluka. Kemudian 'Umar meninggalkannya hingga sembuh. Kemudian 'Umar mendatanginya kembali dan meninggalkannya lagi hingga sembuh. Kemudian 'Umar memanggilnya supaya kembali. Maka orang itu berkata kalau anda hendak membunuhku, maka bunuhlah aku dengan cara yang baik". Maka 'Umar membolehkannya untuk pulang ke negerinya. Dan 'Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Ash'ari agar tidak seorangpun dari kalangan muslimin bergaul dengan orang itu".21

Golongan khalaf (biasa disebut juga dengan madhhab al-Mu'awwilah, golongan yang melakukan pentakwilan terhadap ayat-ayat mutashabihat) beranggapan bahwa sikap yang harus diambil dalam hal ini adalah menghilangkan dari keadaan "kegelapan" yang apabila dibiarkan ayat-ayat mutashabihat tidak bermakna, akan menimbulkan kebingungan manusia. Sehingga selama dimungkinkan untuk diadakannya penakwilan terhadapnya maka akalpun mengharuskan untuk melakukannya. Mereka menyandarkan pada hadis yang diriwayatkan Ibn 'Abbas.22

Golongan al-Mutawassitin kemudian muncul dan mengambil posisi ditengah dua golongan ini (salaf dan khalaf). Diantara yang termasuk didalamnya adalah Ibn al-Daqiq al-'Id. Ia berpendapat apabila penakwilan ayat-ayat mutashabihat itu berada "dekat" dengan wilayah ilmu bahasa Arab, maka penakwilan tersebut bisa diterima. Tetapi bila berada "jauh" darinya maka kita bersikap tawaqquf.23

Dengan melihat kondisi di atas maka dapat dipahami bahwa hanya sebagian kecil dari golongan ulama yang memandang bahwa ayat-ayat mutashabihat bisa diketahui maksudnya secara pasti.24 Sedang sebagian besar dari para ulama tetap meyakini bahwa yang mengetahui secara pasti tentang ayat-ayat mutashabihat adalah Allah sendiri, sementara orang-orang yang mendalam ilmunya dengan mantap mengimaninya.

Tinjauan Kritis Ayat-Ayat Mutashabihat
Membicarakan masalah pro dan kontra pendapat para ulama terhadap ayat-ayat mutashabihat adalah merupakan persoalan yang rumit. Diperlukan pendekatan takwil dan tafsir dan penguasaan semua ilmu pokok al-Qur'an untuk menilai pandangan dan pendapat para ulama berkaitan dengan ayat-ayat ini. Namun membiarkannya lewat begitu saja bukan merupakan solusi terbaik.

Penulis meyakini bahwa bentuk-bentuk tashbih memang sengaja digunakan Allah dalam sebagian kecil kalam-Nya. Dengan pola ini, Allah menjelaskan sesuatu yang konsepsional kepada kehidupan yang aktual. Bentuk semacam ini pula dipergunakan dalam al-Qur'an sebagai upaya mendekatkan penjelasan ajaran-ajarannya melalui ilustrasi yang mampu ditangkap akal dan indra manusia. Pola seperti ini sekaligus membuat susunan redaksi al-Qur'an jauh lebih indah, sehingga nikmat untuk dibaca, disimak dan dihayati sekaligus menjadi bukti bahwa al-Qur'an adalah bener-benar kalamullah. Sebagimana sikap yang telah ditunjukkan oleh golongan al-Mutawassitin terhadap ayat-ayat mutashabihat di atas.

Keyakinan bahwa segala sesuatu yang berasal dari Allah pastilah tidak mungkin tidak mengandung sebuah nilai dan hanya bersifat sia-sia. Ketersia-siaan ini justru akan menjadikan kita terjerumus dalam pandangan yang bersifat apatis dan acuh tak acuh. Dalam beberapa kesempatan, Allah malah "sengaja" memberikan ruang dan kesempatan pada manusia untuk berusaha sekuat mungkin menyingkap tabir-tabir rahasia yang memang sengaja ditutupi oleh-Nya. Terlebih-lebih dalam menyingkap dan mengungkap ayat-ayat yang tidak bersentuhan oleh akidah yang hanya didasarkan oleh adanya rasa ketakutan akan berbuat dosa karena menyalahi dari makna dan maksud sebenarnya.

Hanya saja penggunaan akal yang berlebih-lebihan dengan tanpa didasari oleh kemampuan yang mencukupi, tentu bukanlah perbuatan yang dianjurkan. Ijtihad tetap diperlukan dengan segala ilmu, syarat dan batasan-batasannya. Bukankah mengambil manfaat dan pelajaran dari segala yang masih bersifat "setengah terbuka", bukan dengan cara menduga-duganya? Keberagaman pendapat terhadap ayat-ayat mutashabihat justru malah memberikan khazanah dan peluang yang semakin lebar pada manusia untuk selalu berusaha dan memacu dalam membuka rahasia-rahasia ayat-ayat mutashabihat.

Hikmah Ayat-Ayat Mutashabihat
Perbedaan dan perdebatan dalam memahami ayat-ayat mutashabihat, tetaplah memberikan keyakinan bahwa ayat-ayat mutashabihat ini memberikan banyak manfaat kepada manusia. Diantaranya:

Ayat-ayat mutashabihat menjadi dalil betapa lemah dan terbatasnya kemampuan manusia. Betapa luas dan mahirnya manusia tetaplah Tuhan sendirilah yang mengetahui hakekat sebuah kebenaran.
Keberadaannya menjadi cobaan dan ujian bagi manusia (khususnya ayat mengenai hari kiamat, siksa neraka, nikmat surga, datangnya dajjal, dabbah). Mereka mau percaya atau tidak terhadap hal-hal yang gaib sebagai pembuktian atas kualitas iman mereka.

Menambah wawasan, karena dengan sendirinya seorang peneliti didorong untuk membandingkan pandangannya atau pandangan madhhab-nya mengenai maksud ayat-ayat mutashabihat tersebut dengan pandangan orang lain atau madhhab lain, sehingga ia akan menyimpulkan atau sampai pada pendapat yang dekat dengan kebenaran.

Sebagai isyarat bahwa secara umum kandungan al-Qur'an mencakup kalangan Khawas (orang-orang tertentu) dan awam. Sifat orang awam adalah sulit untuk memahami esensi sesuatu. Misalnya, mereka sulit memahami suatu wujud yang tidak mempunyai materi atau dimensi. Dalam hal ini bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sederhana yang sesuai dengan kemampuan mereka agar mereka dapat mencernanya, akan tetapi di balik itu terkandung makna yang sebenarnya.

Sebagai rahmat bagi manusia yang lemah dan tidak tahu segala-galanya, agar meraka tidak malas dan dan berusaha untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sebagaimana ayat-ayat tentang kematian dan hari kiamat.
Dengan terkandungnya muhkam dan mutashabih dalam al-Qur'an, maka memaksa orang untuk meneliti dan menggunakan argumen-argumen akal. Dengan dekian ia akan terbebas dari kegelapan taqlid. Hal ini merupakan indikasi atas kedudukan akal dan keabsahan untuk memeganginya. Sekiranya seluruh ayat al-Qur'an adalah muhkam, maka tentu tidak memerlukan argumen akal dan tetaplah akal akan terabaikan.

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, terdapat beberapa kesimpulan berkaitan dengan ayat-ayat mutashabihat yang dapat dijadikan pelajaran:

Bahwa ayat-ayat mutashabihat adalah ayat-ayat yang dapat menimbulkan ambiguitas dalam makna dan maksudnya dan masih memerlukan penjelasan-penjelasan. Para ulama mempunyai pandangan yang berbeda terhadap ayat-ayat mutashabihat ini karena perbedaan ulama dalam menafsirkan Qur'an Ali 'Imran ayat 7.
Dalam menyikapi dan menafsirkannya, hanya sebagian kecil ulama yang mentakwilkannya. Sedang sebagian besar lainnya menggunakan cara dengan menyerahkan sepenuhnya maksud dari ayat-ayat tersebut kepada Allah.
Dalam memahami dan menyikapi ayat-ayat mutashabihat diperlukan keahlian dan kemahiran dalam segala ilmu pokok al-Qur'an agar tidak terjebak dalam pemahaman yang salah.
Bagaimanapun hebatnya kontroversi yang terjadi terhadap ayat-ayat mutashabihat, ia tetap memberikan manfaat yang sangat besar bagi manusia.
Bibliografi
Ash-ashiddieqy, T. M. Hasbi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Denffer, Ahmad Von,
'Ulum al-Qur'an An Introduction to Sciences of the Qur'an, Liecester: The Islamic Foundation, 1989.
al-Kirmani, Mahmud b. Hamzah b. Nasr,
Al-Burhan fi Tawjih Mutashabih al-Qur'an, Beirut: Dar al-Kutub al 'Ilmiyyah, 1986.
al-Qattan, Manna' Khalil,
Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, terj., Jakarta: Litera Antar Nusa. 2001.
al-Sabbagh, Muhammad b. Lutfi,
Lamahat fi 'Ulum wa Ittijahat al-Tafsir, Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1990.
al-Salih, Subhi,
Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, Beirut: Dar al-'Ilm fi al-Malayin, 1988
al-Suyuti, Jalal al-Din,
Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol. II, Beirut: Muassasat al-Kutub al-Thaqafiyyah, 1996.
Shalthut, Mahmud,
Al-Islam Aqidah wa Syari'at, Mesir: Dar al-Qalam, 1986.
Shihab, Quraish M. dan tim,
Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Tim Penerjemah Depag RI,
al-Qur'an dan Terjemahannya, Surabaya: Jaya Sakti, 1997.
Ushama, Thameem,
Methodologies of the Qur'anic Exegesis, Kuala Lumpur, Pustaka Hayathi, 1995.
Watt, W. Montgomery, Bell, Richard
Pengantar al-Qur'an, Terj. Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1998.
al-Zarqani, Muhammad 'Abd al-'Azim,
Manahil al-'Urfan fi 'Ulum al-Qur'an, Vol II, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
1 Muhammad abd al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur'an Vol II (Bairut: Dar al-Fikr, 1996), 19.

2 Thamem Ushama, Methodologies of The Qur'anic Exegisis (Kuala Lumpur; Pustaka Hayathi, 1995),1.

3 Mahmud Shalthut, al-Islam Aqidah wa Syari'at (Mesir: Dar al-Qalam, 1986), 507.

4 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 102-107.

5 Al-Kirmani, menjelaskan terdapat 594 ayat (9,5%) mutashabihat dari 6236 ayat dalam al-Qur'an. Dan al-Shanqiti mengatakan, terdapat 525 ayat muhkamat yang membahas tentang tauhid, ibadah dan mu'amalah. Baca Mahmud b. Hamzah b. Nasr al-Kirmani, al-Burhan fi Tawjih Mutashabih al-Qur'an (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1986).

6 Subhi al-Salih, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an (Bairut: Dar al-'Ilm, 1988), 281.

7 Manna' Khalil al-Qattan, Mabahith fi 'Ulum al-Qur'an, terj. (Jakarta: Pustaka Litera Antar Nusa, 2001), 303.

8 Qur'an surah al-Baqarah: 70.

9 Al-Zarqani, Manahil, 270.

10 M. Quraish Shihab dan tim, Sejarah dan 'Ulum al-Qur'an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), 120.

11 Depag RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya (Jakarta: Bumi Restu, 1976), 76.

12 Depag RI., Al Qur'an dan Terjemahnya (Semarang, Toha Putra, 1989), 326.

13 Ibid, 749.

14 Ibid, 76.

15 Al-Zarqani, Manahil, 271.

16 Ibid, 275-276.

17 Ahmad Von Denffer, 'Ulum al-Qur'an An Introduction to the Sciences of the Qur'an (Liecester: the Islamic Foundation, 1980), 81. Mengenai al-ahruf al-muqatta'ah, para sarjana barat menggambarkannya sebagai huruf-huruf misterius, meskipun banyak diantara mereka yang berusaha untuk meraba-raba makna yang terkandung. Mereka memandang huruf-huruf tersebut sebagai singkatan dari nama-nama para pengumpul al-Qur'an sebelum Zayd Ibn Thabit. Kelompok surat yang diawali dengan "Ha-Mim" diduga bersal dari orang-orang yang singkatan namanya menjadi "Ha-Mim". Hirschfeld, misalnya mencoba memandang huruf "Sad" sebagai kependekan dari nama Hafsah, "Kaf" sebagai Abu Bakr dan "Mim" sebagai 'Uthman, sedang "Alif-Lam-Mim" kependekan dari nama al-Mughirah. Sedang Eduard Gussens menduga bahwa huruf-huruf tersebut merupakan judul dari surat-surat yang tidak digunakan. Meski demikian pada akhirnya tetaplah huruf-huruf tersebut menjadi misteri. Tidak ada argumen yang cukup valid dari mereka untuk mendukung hipotesa mereka. Lihat W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar al-Qur'an, terj. Lilian D. Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1998), 55-56.

18 Al-Zarqani, Manahil ..., 280-281. Ulama berpeda pendapat dalam memandang pengklasifikasian golongan ke-dua ini. Al-Sabbagh memandang bahwa hanya jenis pertama (dalam klasifikasi ke-2) yang termasuk mutashabihat. Sedang lainnya termasuk muhkamat, sebab muhkamat terbagi menjadi 2, yaitu ayat yang bisa diketahui oleh siapa saja dan yang diketahui oleh orang-orang tertentu. Lihat Muhammad b. Lutfi al-Sabbagh, Lamahat fi "Ulum al-Qur'an wa Ittijahat al-Tafsir (Bairut: Al-Maktab al-Islami, 1990), 157-158.

19 Al-Salih, Mabahith, 218.

20 Al-Zarqani, Manahil, 287.

21 Mushtafa Zayd, Dirasat fi al-Tafsir (Kairo: Dar al-Fikr al-'Arabi, 1970), 63.

22 Ketika membaca ayat 7 surat Ali 'Imran ini, Ibn 'Abbas mengatakan, "Saya termasuk orang yang mengetahui ta'wilnya...". Ini adalah sebagai bukti dari do'a nabi kepadanya. Lihat al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an. Vol. II (Bairut: Muassasah al-Kutub al-Thaqafiyah, 1996), 7.

23 Al-Zarqani, Manahil, 289. 23 Diantara golongan ini adalah golongan Mu'tazilah, Syiah dan beberapa tokoh 'Asy'ariyah seperti Imam al-Haramain al-Juwaini. Lihat Tim, Ensiklopedi Islam vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993). 315.

24 Di antara golongan ini adalah golongan Mu'tazilah, Syiah dan beberapa tokoh 'Asy'ariyah seperti Imam al-Haramain al-Juwaini. Lihat Tim, Ensiklopedi Islam vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993). 315.

Penulis: M. Aqim Adlan

Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.

Hak mencipta adalah kekuasaan Allah SWT.
Ketikan dan rancangan: pesantrennuha@gmail.com