Wednesday 3 June 2015

Hadits Ahad Hujjah Dalam Aqidah

Hadits Ahad Hujjah Dalam Aqidah

Pembaca sekalian, di antara klaim yang dibawa oleh sebagian kelompok yang mengatasnamakan Islam adalah seruan untuk tidak menerima hadits ahad secara total, melainkan hanya menerimanya sebagai argumen dalam perkara selain aqidah saja. Berikut ini adalah ringkasan yang kami ambil dari beberapa fatwa ulama terkait kewajiban umat untuk menerima hadits shahih dalam beragama, baik aqidah maupun hukum syariat, ahad, atau mutawatir. Semoga Allah Ta’ala mudahkan.

Apa Itu Hadits Ahad?

Definisi ringkas mengenai hadits ahad sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Mahmud Thahhan dalam Taisir Musthalah Al Hadith, secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi saja. Adapun secara istilah, ialah mencakup seluruh hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu hadits ahad dalam definisi ini lebih luas dan mencakup kategori:

Hadits masyhur, hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi dalam tiap thabaqat (generasi perawi), atau lebih dari tiga selama tidak mencapai derajat bilangan perawi mutawatir.

Hadits aziz, hadits yaitu diriwayatkan oleh dua orang perawi dalam tiap thabaqat.

Hadits gharib, hadits yaitu diriwayatkan oleh satu orang perawi.

Maka suatu anggapan yang keliru dari sebagian orang yang mendefinisikan hadits ahad sebagai hadits gharib saja. Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa hadits ahad yang derajatnya shahih memiliki dua konsekuensi :

Hadits ahad berfaidah zhan, yaitu adanya persangkaan terhadap keshahihan penisbatan hadits tersebut dari sisi penukilannya. Karena hadits ahad tidak mencapai tingkatan jazm (pasti) sebagaimana hadits mutawatir, oleh karenanya masih mengandung kemungkinan kesalahan, lupa, keliru dalam periwayatan, dari para perawinya atau sebagiannya. Namun faidah zhan bertingkat-tingkat, sehingga terkadang hadits ahad justru bisa berfaidah ilmu apabila terdapat qarinah (indikasi) yang menguatkannya, dan menjadi syahid (saksi) atasnya sehingga menghapus kemungkinan untuk salah, lupa, dan keliru dalam periwayatan.

Wajib mengamalkannya, apabila hadits tersebut dalam hal syariat, dan wajib membenarkannya apabila hadits tersebut dalam hal aqidah. Hal ini berlaku apabila hadits ahad tersebut berstatus shahih atau hasan.

Awal Munculnya Tasykik (Peraguan) Terhadap Kehujjahan Hadits Ahad

Sebagian ahli kalam berdalil bahwa aqidah tidak bisa diambil melainkan dari dalil yang berfaidah yakin saja. Sehingga masalah ini harus diambil dari dalil yang qath’i (pasti) baik itu tsubut (eksplisit) dan dalalah (implisit). Mereka berdalil bahwasanya dalil-dalil zhanniyah tidak berfaidah melainkanzhann (persangkaan) saja, dan zhann tidak boleh dijadikan sebagai argumen dalam aqidah. Mereka beralasan dengan firman Allah Ta’ala,

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الأَنْفُسُ

“Mereka hanya mengikuti zhann, dan apa yang diingini oleh keinginannya” (QS. An Najm: 14).

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئاً

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti zhann, dan sesungguhnya zhann itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran” (QS. An Najm: 28)

Dan ayat-ayat lainnya di mana Allah mencela kaum musyrikin karena mereka mengikuti zhann, dan mereka berdalil dengan ayat tersebut dan semisalnya. Padahal zhann dalam ayat tersebut bukanlah zhann yang mereka maksudkan, karena nash-nash yang mereka tolak berargumen dengannya (yaitu diantaranya hadits ahad –pen) itu adalah az zhann ar rajih (sangkaan yang kuat). Adapun zhann yang dimaksud dalam ayat yang mereka pakai sebagai argumen, adalah zhann dalam arti as syakk (keraguan) yang menduga-duga dan mengira-ngira suatu hal. Dalam An Nihayah wa Al Lisan disebutkan:

الظن: الشك يعرض لك في الشيء فتتحققه وتحكم به

“Zhann: Suatu dugaan (hipotesis) yang ditawarkan mengenai sesuatu hal, agar supaya dibenarkan atau dihukumi dengannya”

Inilah zhann yang Allah Ta’ala melarang kaum musyrikin untuk mengikutinya, hal ini ditegaskan pula dalam firman Allah Ta’ala

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan” (QS. Al An’aam : 116)

Adapun zhann rajih tidak termasuk dalam hal itu. Seandainya termasuk, maka semua dalil syara’ haruslah qath’i, padahal yang terjadi tidaklah seperti itu. Mayoritas dalil syar’i adalah zhanni, dalalah (dalam hal pendalilannya) maupun tsubut (dalam hal penetapan keshahihannya), ataudalalah dan tsubut. Padahal para shahabat dan tabi’in tidaklah mereka membatasi dalam mengambil darinya permasalahan aqidah dan selainnya. Para sahabat dan tabi’in juga ketika menerima hadits tidak menanyakan berapa jumlah keseluruhan perawinya, kalau sangat banyak (mutawatir) baru mereka terima, kalau sedikit (ahad) mereka tolak. Tidak demikian.

No comments:

Post a Comment