Tuesday 27 December 2016

Arab Badui

Abu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dari arah sini, fitnah akan datang dari arah Timur. Kekasaran (al-jaf’u) dan kerasnya hati (ghildzu al-qulūb) merupakan karakteristik orang-orang badui (ahl al-wabar) yang sibuk dengan kumpulan unta dan sapi (dan tidak menaruh perhatian pada agama), dari kalangan Rabi’ah dan Mudhar.” (HR Bukhari).

Orang-orang arab badui pada masa Nabi lebih sering disebut di dalam al-Qur’an dan hadits dengan sebutan A’rab. Namun gambaran tentang mereka secara umum kurang positif, tidak dalam arti mendiskreditkan, tetapi lebih kepada realitas yang melekat pada diri mereka. Riwayat-riwayat hadits dan sejarah lebih sering menyebutkan tentang mereka secara anonim, tanpa nama. Ciri-ciri mereka diketahui, tetapi nama dan ketokohan mereka tidak dikenali. Tabiat mereka cenderung kasar dan kurang memiliki adab, tetapi Nabi berinteraksi dengan mereka secara sabar dan menjaga sikap.

Pernah sekumpulan Arab badui datang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tanpa keraguan membanggakan iman. Namun al-Qur’an meluruskan, “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah Islam’ …” (QS 49: 14).

Ini karena iman belum betul-betul masuk ke dalam hati mereka. Pada ayat yang lain al-Qur’an menyifatkan mereka sebagai “lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya” (asyaddu kufran wa nifāqan), “memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian”, dan “menanti-nanti marabahaya menimpamu (Nabi)” (QS 9: 97-98).

Mereka itu, tulis Ibn Jarīr al-Thabarī (1374H: 429) saat menafsirkan ayat ke-97 di atas, “paling keras hatinya (aqsā qulūban) dan paling sedikit ilmunya (aqallu ‘ilman) terhadap hak-hak Allah.” Dan mereka tidak banyak bergaul dengan orang-orang yang baik (ahl al-khayr). Tetapi al-Qur’an juga menyatakan bahwa di antara orang-orang badui itu “ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu sebagai jalan untuk mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk mendapatkan doa Rasul” dan kelak Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat (Surga)-Nya (QS 9: 99).

Pada masa Perang Khandaq, orang-orang munafik Madinah digambarkan oleh al-Qur’an (33: 20) sebagai berkeinginan untuk pergi ke gurun dan tinggal untuk sementara waktu bersama orang-orang Arab badui sambil memastikan pasukan Ahdzab yang sebelumnya mengepung Madinah benar-benar sudah pergi meninggalkan kota itu.

Rupanya kampung-kampung badui adalah tempat yang dianggap aman bagi mereka untuk menutupi nifak yang ada di dalam dada.

Dan memang tak lama setelah wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, telah terjadi peristiwa riddah di mana masyarakat di luar Makkah dan Madinah banyak yang berbalik keluar dari Islam dan menolak untuk membayar zakat kepada khalifah Abu Bakar al-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Banyak di antara yang berbalik keluar dari Islam ini adalah dari kalangan orang-orang Arab badui. Namun, Abu Bakar mampu mengatasi keadaan dan dapat mempertahankan cahaya Islam di Jazirah Arab dari ancaman riddah (Haekal, 2003: 97).

Karena itu pula orang kota yang memilih pindah dan menetap di gurun kadang dicurigai ada masalah dengan imannya. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu ‘anhuma memutuskan untuk menetap di satu tempat di gurun yang bernama al-Rabadzah. Ia menikah dan punya anak di tempat itu, dan baru kembali ke Madinah beberapa hari sebelum kematiannya. Ketika ia bertemu Hajjaj, yang terakhir ini berkata kepadanya, “Wahai Ibn al-Akwa’, engkau telah murtad dengan menetap di gurun bersama orang-orang badui.” Ibn al-Akwa’ menjawab, “Tidak, melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi ijin kepadaku untuk menetap di tengah orang-orang badui.” (HR Bukhari, Muslim).

Hajjaj mungkin mencari-cari jalan untuk menuduh Ibn al-Akwa’, tetapi alasan yang digunakannya bukan sama sekali tak berdasar. Jawaban Ibn al-Akwa’ juga mengisyaratkan bahwa kehidupan badāwah merupakan satu kemunduran dan bukan sesuatu yang baik jika dilakukan tanpa ijin dari Nabi.* (BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment