Sunday 9 June 2019

Pengaruh Penguasa Tiran dan Pengalaman Hilangnya ’Adab’ di kawasan Asia Tenggara (3)

Pengaruh Penguasa Tiran dan Pengalaman Hilangnya ’Adab’ di kawasan Asia Tenggara (3)


ASIA, ISLAM

Oleh: Ady C. Effendy,

Pendudukan oleh kekuatan asing Barat bahkan dianggap sebagai salah satu factor yang mendorong konversi massal kedalam agama Islam karena penguasa pribumi merasa Islam merupakan kekuatan penyeimbang alami terhadap agama Kristen yang datang bersama dengan penjajahan/kolonisasi. Namun demikian, kegiatan misionaris Kristen berjalan sangat sukses di wilayah utara Filipina diantaranya disebabkan karena adanya komitmen yang kuat dari kerajaan Spanyol di Eropa untuk menyebarkan pesan dari Alkitab melalui kristenisasi besar-besaran.

Pada tahun 1565, angkatan laut Spanyol yang datang dari Meksiko memasuki tanah Filipina (yang dinamai sesuai nama Raja Philip II dari Spanyol). Kekuasaan kolonial akhirnya berhasil menggulingkan Sultan Muslim Manila pada tahun 1571 dan mengalihkan otoritas kekuasaan dibawah kerajaan Spanyol. Dibawah kekuasaan kolonial Spanyol, kristenisasi terhadap penduduk asli kepulauan Filipina adalah kebijakan utama yang harus dilaksanakan. Menggunakan Gereja sebagai media administrasi pemerintahan di wilayah ini, kekuasaan kolonial Spanyol berhasil memasukkan penduduk asli ke dalam agama Kristen. Selain Kristenisasi oleh penguasa Spanyol, setelah proses kemerdekaan Filipina dari Spanyol yang didukung oleh Amerika Serikat, kondisi Muslim Moro dari kepulauan Filipina selatan bahkan memburuk. Kebijakan yang diterapkan pada masyarakat Muslim setempat sangatlah merusak budaya tradisional serta struktur sosial yang ada. Kebijakan ini meliputi: pendirian sekolah baru di mana kurikulum baru yang non-Islami diberikan, pembentukan pemerintah provinsi baru yang dipimpin oleh seorang Gubernur yang diangkat dari Manila, yang otoritasnya benar-benar melangkahi kekuasaan para sultan, dan para datuk yang bersifat tradisional; dan penggantian syariah dengan sistem hukum yang baru. Transformasi besar masyarakat Muslim dan warisan tradisinya oleh penguasa kolonial ini, yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah nasional Filipina telah menyebabkan kebencian yang mendalam di hati umat Islam pribumi yang menyingkir ke wilayah selatan. Ini juga merupakan alasan utama perlawanan yang berkelanjutan melawan pemerintah pusat di Filipina.

Belanda memulai penjajahan di Asia Tenggara dibalik topeng samara sebuah perusahaan perdagangan yang disebut Perusahaan Dagang Belanda di Hindia Timur (VOC) yang didirikan pada tahun 1602.

Selama periode panjang penjajahan, Belanda berhasil mengubah fitur-fitur Islam diwilayah ini. Hal ini dilakukan terutama melalui program-program pendidikan yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai sipil yang patuh dan setia kepada kekuasaan kolonial Belanda, serta yang bantuannya terhadap pemerintah kolonial sangatlah penting bagi keberlangsungan penjajahan. Penyokong kekuasaan kolonial Belanda ini umumnya direkrut dari orang-orang berkelas tinggi di wilayah setempat atau bahkan juga kalangan yang memerintah. Mereka dididik di sekolah-sekolah yang didirikan oleh kekuasaan kolonial dimana mereka belajar bahasa asing, sejarah, budaya dan peradaban kekuasaan kolonial. Siswa-siswa yang cukup cerdas akan dikirim ke kota-kota besar atau ibukota kekuatan kolonial untuk belajar di tingkat universitas dalam berbagai mata pelajaran, terutama dalam bidang sosial politik. Hal ini dianggap sebagai investasi jangka panjang oleh kekuatan kolonial untuk melayani kepentingan kolonial mereka karena para mahasiswa tersebut akan kembali ke tanah air dan menjadi para elit penguasa baru yang melayani penjajah mereka.

Para ulama Islam tradisional setempat, di sisi lain, mengerahkan upaya mereka untuk melestarikan pembelajaran Islam tradisional melalui sekolah sederhana yang disebut pesantren di mana murid setempat diajarkan ilmu-ilmu Islam tradisional. Meskipun memiliki sumber daya minimal, lembaga tradisional ini memperoleh penerimaan luas di antara masyarakat setempat khususnya di tanah Jawa, dan mampu membangun jaringan otoritas tradisional yang kuat, yang jauh dari jangkauan kekuasaan kolonial serta negara pasca-kolonial. Lembaga tradisional pesantren jelas menawarkan visi lain dalam cara membangun potensi manusia yang menentang tujuan inti lembaga pendidikan kolonial modern yang cenderung untuk membangun ‘peralatan’ manusia untuk ’pabrik’ kolonial daripada individu yang mandiri dan bebas.

Dua visi yang saling bersaing, sekolah Islam tradisional dan institusi pendidikan modern, benar-benar telah menciptakan lahan pertarungan antara para pendukung masing-masing visi. Meski tidak memiliki sumber daya yang melimpah, para pendukung pendidikan tradisional berhasil dalam membangun otoritas informal yang kuat atas penduduk asli serta menantang dan membatasi efektivitas otoritas resmi yang dimiliki oleh kekuasaan kolonial serta para pewarisnya didalam negara pasca-kolonial kemudian hari.

Kewenangan (otoritas) informal para ulama begitu kuat sehingga dapat dipergunakan untuk memobilisasi pengikut mereka dalam peperangan anti-penjajahan yang berulang kali terjadi dengan pasukan asing yang menindas tersebut. Di sisi lain, bagaimanapun juga, lembaga sosialpolitik baru yang diperkenalkan di tengah-tengah wilayah yang dijajah juga berhasil mengurangi peran ulama yang sebelumnya jauh lebih luas, bukan semata-mata sebagai pendidik, tetapi juga mencakup peran mereka sebagai mufti dan hakim. Kemustahilan ulama Islam tradisional untuk melaksanakan peran mereka dalam aspek hukum jelas terlihat oleh kenyataan bahwa hal pertama yang dilakukan kekuasaan kolonial ketika mulai menduduki negeri-negeri Muslim adalah menghancurkan kesultanan Islam, juga memutus pola kerjasama antara sultan Muslim dan ulama Islam, dan penerapan Hukum Islam (Syariah) itu sendiri.

Selama era pasca-kolonial, para ulama tradisional diberikan peranan parsial dalam pengadilan Islam yakni hanya memutus kasus di bidang persoalan pribadi Muslim (al ahwal-alshakhsiya). Hal ini, tentu saja, merupakan konsekuensi yang jelas dari negara paska-penjajahan yang hanya mewarisi sistem sekuler kolonial.

Kondisi selama penjajahan tanah Melayu oleh kekuatan kolonial Inggris agak berbeda dari pengalaman Indonesia dan Filipina. Inggris berupaya untuk menggunakan kebijakan ’lunak’ dengan campur tangan terbatas terhadap adat istiadat setempat dan agama. Kebijakan ini telah mendukung penguatan tradisi Islam serta budaya Melayu di kalangan masyarakat Melayu, khususnya di negara-negara yang lebih miskin, seperti Perlis, Kedah, Terengganu, Kelantan di utara dan Johor di Selatan. Politik kerjasama antara sultan-sultan Melayu dan kekuasaan kolonial Inggris telah terbukti secara efektif meningkatkan kekuatan politik sultan Melayu, menyebarkan wacana politik Islam, serta melestarikan tradisi Islam di tanah Melayu paska kemerdekaan. Keuntungan ini tidak dinikmati oleh kaum muslimin dari kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Indonesia dan Filipina, di mana pencabutan tradisi Islam dari rakyat dan pembentukan kelas elit penguasa sekuler telah berhasil meminggirkan wacana politik Islam di ruang publik.

Gambaran sejarah pertemuan antara kekuatan kolonial dengan lembaga-lembaga Islam tradisional dan pesantren di kepulauan Muslim Asia Tenggara menunjukkan dengan jelas bagaimana berbagai peristiwa ini telah menyebabkan munculnya jenis Muslim baru yang dididik berdasarkan sistem pendidikan kolonial. Pendidikan kolonial berhasil menyangkal dari para Muslim ini hak mereka untuk mendapatkan pendidikan dasar sesuai dengan iman dan tradisi mereka. Dampak transformasi pendidikan ini terhadap pemahaman, pandangan hidup, dan praktek-praktek keimanan umat Islam sangatlah besar dan menyentuh berbagai aspek kehidupan mereka. Pada akhirnya, hal ini menyebabkan transformasi menyeluruh dari peran sosial politik dan agama Islam di kawasan ini. Jika sebelum era kolonial, Islam adalah wacana utama dalam perjuangan politik serta kehidupan sosial budaya Muslim di kawasan ini, selanjutnya sekularisme telah berhasil mengambil alih peran Islam dan mengubah masyarakat Muslim menjadi masyarakat yang lebih secular dan berorientasi duniawi daripada sebelumnya.

Fenomena ini digambarkan secara sempurna oleh Al-Attas sebagai peristiwa hilangnya adab, yaitu hilangnya disiplin tubuh, pikiran, dan jiwa. Hilangnya disiplin diri dimulai oleh kekuasaan kolonial melalui pengenalan pendidikan sekuler baru sebagai alternatif pendidikan Islam tradisional untuk memutus mata rantai generasi Islam yang telah menyerap pandangan hidup Islami. Selain keunggulan budaya ini, kekuasaan kolonial berusaha membangun kelas baru pegawai sipil untuk membantu administrasi atau pemerintahan koloni-koloni mereka. Dalam periode pasca-kolonial, kelas pegawai sipil yang pernah dididik di bawah sistem pendidikan kolonial ini berubah menjadi pemimpin nasional yang baru memiliki agenda baru untuk mendirikan negara sekuler sebagai pewaris kekuasaan kolonial.

Adalah melalui pendidikan kolonial ini, kekuasaan kolonial menciptakan Muslim yang ’lalai’, yang telah dirampas dari hak-hak mereka untuk mempelajari pengetahuan, disiplin, dan pandangan dunia berdasarkan agama mereka. Pendidikan kolonial, pada kenyataannya, memperkenalkan dan menanamkan secara halus pandangan dunia sekuler ke dalam pikiran generasi Muslim baru. Hasil dari pendidikan kolonial ini adalah Muslim yang ’lalai’ yang tidak memahami tuntutan agama mereka agar menjadi Muslim yang baik. Pewaris-pewaris negara baru sesungguhnya tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin umat Islam karena mereka tidak memiliki standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi untuk melayani masyarakat Muslim.

Akibatnya, mereka berkompromi terutama dengan kekuatan neo-imperialis asing yang berusaha untuk menjajah negara-negara baru ini melalui aspek sosio-ekonomi dan politik meskipun tidak secara militer seperti yang terjadi sebelumnya. Terkait urusan dalam negeri, para pemimpin ini cenderung mengkorupsi dana publik dan mendukung kebijakan-kebijakan dan hukum yang bertentangan dengan moralitas publik, atau terhadap ajaran Islam pada umumnya, belum lagi syariah itu sendiri yang telah benar-benar dibatalkan. Inilah kondisi dunia Islam yang ada saat ini. Negara-negara modern dengan mayoritas Muslim dan para pemimpin Muslim telah dikategorikan sejak kemerdekaan mereka sebagai negara gagal dengan tingkat korupsi yang tinggi, tingginya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan, dan angka statistik kriminal yang tinggi, serta diperintah oleh rezim yang diktator. Kondisi ini akan tetap tidak berubah kecuali umat Islam kembali kepada disiplin diri mereka seperti yang dilakukan para pendahulu mereka di masa lalu. Sebagai kesimpulan, situasi kontemporer di mana dunia Islam menemukan dirinya hari ini adalah mustahil dirubah, kecuali bila kaum Muslim berusaha untuk memecahkan masalah inti yang diderita oleh individu Muslim yaitu masalah akut hilangnya disiplin diri atau ‘adab’.*

Penulis Mahasiswa S2 MA Contemporary Muslim Thought and Societies Qatar Faculty of Islamic Studies Hamad Bin Khalifa University

Rep: -

Editor: Cholis Akbar

No comments:

Post a Comment