Sunday 26 May 2019

Salah Paham Nurcholis Madjid terhadap Al-Attas (1)

Salah Paham Nurcholis Madjid terhadap Al-Attas (1)


Buku Islam dan Sekularisme karya SYED Muhammad Naquib Al-Attas

oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi

SYED Muhammad Naquib Al-Attas (lahir 5 September 1931) merupakan pemikiran kontemporer kaliber internasional yang banyak memberikan kontribusi pemikiran cemerlang. Karena pemikiran dan ide sangat mendasar, terutama yang berkaitan tentang konsep ilmu, sejarah, pendidikan, dan peradaban. Maka sangat wajar jika kemudian lahir ide yang menyatakan bahwa Al-Attas adalah a real reformer and thinker untuk abad ini.

Bahkan di awal 1980-an Fazlur Rahman menyebut Al-Atta sebagai “a genius”. (Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, “Al-Attas: A Real Reformer and Thinker”, dalam Wan Mohd Nor Wan Daud & Muhammad Zainy Uthman (eds.), Knowledge, Language, Thought and the Civilization of Islam: Essay in Honour of Syed Muhammad Naquib al-Attas (Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia, 2010), hlm. 13, 30).

Disebut sebagai a reformer sekaligus thinker (pemikir) karena Al-Attas memiliki kriterianya, yang terpenting adalah seperti yang dituturkan oleh Sadr al-Dīn al-Syīrāzī (Mulla Sadr (w. 1641 M), he discovers a master idea (menemukan ide besar). (Wan Mohd Nor Wan Daud, “Al-Attas”, hlm. 29). Di antara ide-ide besar al-Attas berada dalam kotak filsafat Islam, yang menyentuh: ladang kajian agama, pendidikan, dan sains. Dialah orang pertama yang mendifinisikan, mengkonsep dan mengelaborasi arti, cakupan dan kandungan pendidikan Muslim dalam satu kaidah etika yang sistematis sekaligus filosofis; ide dan metode dari islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer; hakikat universitas Islam; dan formulasi serta sistematisasi metafisika Islam dan filsafat sains.

Ide-ide fundamental al-Attas di atas membangunkan kembali sains Islam yang coba dicapai oleh al-Ghazālī sejak lebih dari 900 tahun silam. Ide-ide dan metode dasar al-Attas ini tak dapat disangkal merupakan sintesis kreatif yang diakui dan dianggap sebagai pemikiran-pemikiran besar kita. (Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, “al-Attas”, hlm. 31).

Meskipun demikian, layaknya para mujaddid (pembaharu) yang lain, Al-Attas juga tak sepi dari berbagai kritik. Jika kritik itu objektif dan adil tentu merupakan hal lumrah. Namun penulis menemukan beberapa kritik terhadap ide-ide besar al-Attas tak tepat sasaran. Bahkan dapat dikatakan tampak sentimen ketimbang dihiasi argumen. 

Di antara kritik terhadap beliau lahir dari tanah air, Indonesia, seperti: Nurcholish Madjid dan A. Syafi’i Ma’arif. Dan pada tulisan ini akan diulas kesalahpahaman Prof. Nurcholish Madjid terhadap Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Berikut ini ulasannya.

Argumen al-Attas Sulit Dipertahankan?

Dalam wawancaranya dengan majalah Panji Masyarakat, “Argumen al-Attas, Sulit Dipertahankan”, No. 531 Th XXVIII, 12 Februari 1987 (pewawancara Badri Yatim), Nurcholish Madjid menanggapi pandangan al-Attas tentang makna Syariah. Nurcholish sebelum menanggapi pandangan al-Attas terlebih dahulu mengutip Ibn Rusyd lewat bukunya Fashl al-Maqāl wa al-Taqrīr Mā Bayna al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittishāl.

Menurutnya, Ibn Rusyd memahami syariat bukan hukum, melainkan agama. Kemudian dia mencatat demikian, “Jadi tidak sama dengan yang dipahami al-Attas. Pengertian syariat menjadi hukum seperti sekarang ini, adalah relatif datang kemudian. Orang semacam al-Attas agaknya beranggapan bahwa semua hukum yang tercipta dalam sejarah Islam adalah Islam itu sendiri. Itu tidak betul. Itu merupakan interaksi antara Islam dan sejarah. Begitu pula kalām, alias teologi.” (Lihat, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, cet. I, 1998), hlm. 245).

Tentu saja pandangan Nurcholish di atas juga keliru. Karena makna syariat sebagai hukum tidak datang belakang, tetapi sudah ada sejak Al-Qur’an diturunkan. Kata syir‘ah dan minhāj sendiri telah ada di dalam Al-Qur’an. Ketika menafsirkan kata syir‘ah dalam Qs. Al-Mā’idah [5]: 48, Imam al-Thabarī (224-310 H) menyatakan bahwa maknanya adalah syarī‘ah itu sendiri (al-syarī‘ah bi ‘aynihā) (Lihat, al-Thabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, tahqīq: Dr. ‘Abd Allāh ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turkī (Gīzah-Mesir: Dār Hajr, cet. I, 1422 H/2001 M), VIII: 493).

Lebih belakangan lagi adalah pandangan mufassir abad ke-8, Imam Ibn Katsīr (w. 774 H). Ketika menafsirkan Qs. 5: 48 mengenai makna syir‘ah, murid Imam Ibn Taimiyah ini menulis, “Fa’inna al-syir‘ah hiya al-syarī‘ah aydhan” (makna syir‘ah adalah syariat juga). (Lihat, Imam ‘Imād al-Dīn Abū al-Fidā’ Ismā‘īl ibn ‘Umar ibn Katsīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’āan al-‘Azhīm, komentar: Muhammad Husain Syams al-Dīn (Beirut-Lebanon: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1419 H/1998 M), III: 117).

Jika ditarik lebih klasik lagi, maka akan ditemukan pandangan Ibn ‘Abbās yang menafsirkan kata syir‘ah dengan sabīl (jalan). Begitu juga dengan pendapat Abū Sa‘īd, Wakī‘, Sufyān, Abū Ishāq, al-Tamīmī, Mujāhid, ‘Ikrimah, al-Hasan al-Basrī, Qatādah, al-Dhahhāk, al-Suddī, dan Abū Ishāq al-Sabī‘ī. Semua berpandangan bahwa yang dimaksud dengan syir‘ah artinya sabīl (jalan). (Imam Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’āna l-‘Azhīm, III: 117). Dan sudah pasti sabīl adalah jalan menuju Allah. Dan jalan itu sudah pasti adalah syariat Allah, karena itu adalah jalan menuju kepada-Nya.

Itu sebabnya Qatādah menafsirkan frase likullin ja‘alnā minkum syir‘atan wa minhājan (Qs. 5: 48) dengan jalan dan sunnah. Imam Ibn Katsīr kemudian menjelaskan, “Sunnah berbeda satu sama lain, yang dalam Taurat disebut syariat, di dalam Injil disebut syariat, di dalam al-Furqan disebut syariat juga. Di dalamnya Allah menghalalkan apa saja yang Dia kehendaki dan mengharamkan apa saja yang Dia kehendaki. Itu agar diketahui siapa yang taat kepada-Nya dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya…” (Imam Ibn Katsīr,  Tafsīr al-Qur’āna l-‘Azhīm, III: 117).

Kelihatan bahwa Prof. Nurcholish begitu terburu-buru menghakimi pandangan Prof. al-Attas mengenai makna syarī‘ah. Pandangannya bahwa hukum merupakan hasil interaksi tak serta merta dapa dibenarkan. Karena Islam berikut hukum-hukum yang ada di dalamnya bukan produk secara (historical product). Hukum adalah murni turun melalui wahyu. Dan sejarah tidak masuk ke ranah hukum ini. Sebut saja misalnya hukum jilbab, hukum haramnya babi, darah, bangkai, dll. Itu bukan hasil interaksi antara Islam dan sejarah. Itu murni wahyu. Di sini Prof. Nurcholish tidak jeli memandang pandangan al-Attas. Sangat tergesa-gesa.

Al-Attas, Nurcholish, dan Sekularisasi

Ketika Badri Yatim berkomentar, “Tampaknya al-Attas menentang pemikiran Anda tentang sekularisasi”, Prof. Nurcholish kemudian berkomentar, “Kalau al-Attas melihat wanita berkarir sekarang ini sebagai akibat sekularisasi, dan karenanya ia berpendapat tidak sesuai dengan Islam, lalu bagaimana dengan ‘Ā’isyah yang memimpin perang dan banyak merawikan Hadīts? Menurut dimensi waktu itu, itu adalah bentuk karir.” (Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, hlm. 245).

Di sini pun Prof. Nurcholish juga gegabah. Sepertinya beliau belum membaca tuntas karya Prof. al-Attas yang fenomenal mengenai titik-singgung antara Islam dan sekularisme. (Lihat, Prof. al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993).

Justru Prof. al-Attas sangat canggih mengulas tentang sekularisasi: suatu proses penghilangan hal-hal sakral, termasuk nilai. Itu sebabnya Prof. al-Attas dalam bukunya di atas menulis, “Secularization is defined as the deliverance of man “first from religious and then from metaphysical control over his reason and his language.”

Jika ‘Ā’isyah ketika mimpin perang dianggap karir oleh Prof. Nurcholish, sepertinya beliau tengah bermimpi. Karena itu toh insidentil. Sementara wanita karir dalam konsep dunia barat yang sekular berkaitan erat dengan konsep feminisme yang mengusung ide-ide equality (persamaan hak) dan kesetaraan gender. Maka tak dapat disamakan antara ‘Ā’isyah dengan wanita karir saat ini yang berkembang di barat dan dibawa ke dalam rumah umat Islam. Di sini pandangan Prof. Nurcholish dalam menanggapi pandangan Prof. al-Attas sangat tidak matang.

Al-Attas, Nurcholish, dan Akidah

Mengenai akidah, Prof. Nurcholish mengkritik Prof. al-Attas. Menurutnya akidah perlu berubah. Padahal Prof. al-Attas khawatir ada perubahan akidah di tubuh umat Islam. Kemudian Prof. Nurcholish menegaskan, “Saya kuatir, al-Attas tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan akidah. Kalau ia tahu, akidah itu merupakan hasil ijtihād dalam rangka menghadapi tantangan zaman, maka yang wajib dikuatirkan mestinya bukan pada perubahan, tetapi justru tidak adanya perubahan itu.” (Prof. Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, hlm. 247).

Sepertinya antara Prof. Nurcholish dan Prof. al-Attas ada perbedaan titik tekan dalam masalah akidah ini. Secara cermat dapat dikatakan bahwa Prof. Nurcholish berkutat pada penamaan akidah. Tidak substansial. Karena akidah bukan hasil ijtihād. Akidah itu jelas wahyu sumbernya, bukan ijtihād. Yang ijtihād itu adalah penjelasan bukan mungkin penafsiran dari akidah itu. Sepetinya Prof. Nurcholish melupakan apa yang dikatakan oleh pemikir dan reformer besar yang menjadi idolanya, Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah (w. 728 H) dalam al-‘Aqīdah al-Wāsithiyyah. Sang Imam menulis demikian,

((أما الاعتقاد فلا يءخذ عنى ولا عمن هو أكبر منى بل يؤخذ – عن الله تعالى، وعن رسوله، وعما أجمع عليه سلف الأمة))

“Akidah tidak diambil dariku, tidak pula dari orang yang lebih besar dari aku. Tetapi akidah diambil dari Allah, dari rasul-Nya, dan dari kesepakatan para generasi salaf.”  (Lihat, Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah, Majmū‘ al-Fatāwā, takhrīj Hadīts: ‘Āmir al-Jazzār dan Anwar al-Bāz(Mansoura-Mesir: Dār al-Wafā’, cet. III, 1426 H2005 M), hlm. 106).

Maka, tidak dibenarkan ada ijtihād di dalam akidah. Jika pun ada kreasi untuk memperjelas pemahaman, maka itu tidak dapat dikatakan sebagai akidah. Bisa jadi itu hanya syarh (penjelasan atau penegasan). Atau mungkin konsepsi Prof. Nurcholish tentang akidah berbeda dengan apa yang ditegaskan oleh Imam Ibn Taimiyyah?

Kemudian, pandangan Prof. Nurcholish bahwa beliau kuatir jika al-Attas tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan akidah ada pernyataan yang tidak tepat.

Bahkan sangat tidak bijak. Tampak sekali bahwa Prof. Nurcholish belum membaca tuntas tentang pemikiran Prof. al-Attas, khususnya mengenai akidah. Padahal pandangan-pandanga al-Attas kental dengan kajian akidah ini.

Ulasan al-Attas tentang metafisika jelas di dalamnya amat kental aroma akidahnya. Karena metafisika Islam yang diyakini oleh Prof. al-Attas merupakan sintesis dari ide-ide dan teori-teori yang secara tradisional dianut oleh para teolog (mutakallimūn), filosof (hukamā’), dan sufi (shūfiyyah atau ahl al-tashawwuf). Komponen dan penjelasan metafisika ini terdapat dalam dua buah karyanya mengenai dua sarjana terbesar di dunia Melayu, yaitu Hamzah al-Fanshūrī (w. ±1550-1600 M) dan Nūr al-Dīn al-Rānīrī (w. 1658 M) dan dalam bukunya yang berjudul Islam and Secularism. (Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Terj. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel (Bandung: Mizan, cet. I, 1424 H/2003 M), hlm. 79). Bahkan ketika membahas ilmu pengetahuan al-Attas juga mengaitkannya dengan akidah Islam. (Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, hlm. 120-140).

Ide-ide al-Attas, sebagaimana disinggung sebelumnya, begitu besar. Kajiannya sangat filosofis dan mendasar. Ulasan terhadap pemikiran beliau harus dilakukan secara serius: adil dan objektif. Konon lagi hanya diulas dalam sebuah wawancara, dapat dipastikan ada yang missing. Kemudian pandangan dalam kondisi seperti itu (wawancara) amat liar: tidak pakem dan sukar untuk dikejar secara mendalam. Semestinya pandangan al-Attas dikaji secara teliti dan bertanggungjawab. Wallāhu a‘lam bi al-sawāb.*

Penulis adalah guru di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, Medan-Sumatera Utara. Penulis buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia (Jakarta: Cakrawal Publishing, 2012)”

 

Rep: Admin Hidcom

Editor: Cholis Akbar

No comments:

Post a Comment