Sunday 26 May 2019

Sekularisasi Hukum Islam (2)

Sekularisasi Hukum Islam (2)


Ilustrasi

Hukum Islam: Antara Rigiditas dan Fleksibilitas

Oleh: Nirwan Syafrin

Secara umum, pembaharuan atau apa yang sering disebut dengan tajdid, bukanlah hal baru dalam Islam; ia bahkan sudah menjadi built-in-system dalam pemikiran Islam. Rasullullah sendiri sudah mewanti-wanti hal itu. Sabdanya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap pangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharui agamaNya.”

Pembaharuan memang sudah berjalan sudah sejak dini lagi. Para ulama memperkirakan bahwa ia sudah berlangsung sejak abad pertama hijriyah. Ini terbukti dengan daftar pembaharu Muslim yang dibuat Ibn al-Athir dan al-Suyuti dimana Umar bin Abd al-Aziz disebut sebagai pembaharu abad pertama Islam dan Imam Syafii abad kedua.  

Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui untuk merespon persoalan yang berkembang. Banyak masalah-masalah fiqh yang telah  diperbaharui, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu seperti investasi waqaf, zakat profesi, dan lain-lain merupakan bukti bagimana fiqh merespon perkembangan masyarakat. Sebagaimana kehidupan manusia yang mempunyai elemen tetap dan tidak berubah, begitu juga fiqh. Ada beberapa bagian dalam fiqh yang tidak mungkin diubah dan diperbaharui, karena ia membentukbagian terpenting syariat Islam.

Ruang untuk berijtihad dalam fiqh sebenarnya masih terbuka lebar. Banyak  masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya menantikan ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya pemikir Muslim liberal hanya berkutat pada isu-isu lama seperti poligami, hak warisan wanita, hukum hudud (potong tangan) atau qisas yang sesungguhnya tidak memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat Muslim hari ini.

Usuh fiqh sebenarnya mempunyai dinamikanya sendiri untuk memperbaharui diri. Sejak diformulasikan oleh Imam Syafii,  usuh fiqh telah banyak mengalami  perubahan dan pembaharuan.  Ghazali juga telah memberikan sentuhan pembaharuannya dengan menjadikan mantiq sebagai bagian terpenting usuh fiqh. Begitu juga dengan Imam al-Syatibi. Syatibi dengan al-Muwafaqat telah memberikan dimensi baru dalam kajian usuh fiqh. Hingga hari ini al-Muwafaqat menjadi rujukan penting dalam usuh fiqh dan telah menarik minat banyak kalangan cendikiawan Muslim kontemporer.

Meskipun usuh fiqh telah mengalami perubahan disana-sini, usuh fiqh tetap berputar pada pusaran epistemologi Islam. Para ulama pembaharu atau liberal itu tetap menjadikan teks al-Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif dan mendudukkan akal dibawah telunjuk keduanya.

Hukum Islam dan Maslahah

Banyak kalangan aktivis Islam liberal telah menggunakan teori maqasid Syatibi sebagai justifikasi terhadap penolakan hukum-hukum yang bersumberkan nas-nas al-Quran yang qat’i.

Para penolah hukum Islam ini berangggapan, yang penting bukanlah bentuk legal formalnya seperti yang dijelaskan diatas, tapi nilai esensi moralnya. Abdul Majid al-Najjar menyangkal pandangan ini. Menurutnya akar permasalahan disini sebenarnya terletak pada kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara maqsad (objektif) dan hokum yang menjadi wasilah (instrument) untuk tercapainya objektif tadi. Mereka melihat keduanya terpisah.

Padahal sesungguhnya mereka satu. Antara hukum dan objektif hukum merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang  diperintahkan Allah dengan pasti tentulah akan mendatangkan kebaikan, dan apa yang dilarang jelas akan menimbulkan kerusakan.  Aksioma yang mengatakan dimana ada masalahah, disitu pasti ada shariah, sebagaimana kata Yusuf Qaradhawi tidak selalunya benar. Menurutnya lagi, aksioma itu seharunya berbunyi: haythuma wujida al-Shar fa thamma al-maslahah (dimana ada  hukum syara di sana pasti ada maslahah) Ini karena terkadang apa yang kita anggap sebagai maslahah sebenarnya bukan maslahah, bisa jadi ia sudah menjadi maslahah yang diakategorikan mulghah (dibatalakan), seperti khamar (minuman yang memabukkan).

Pada keadaan seperti kasus ini sudah tentu syara tidak hadir. Akan tetapi ketika syariat ada, sudah pasti maslahah akan hadir disana, karena tidak mungkin Allah mensyariatkan sesuatu tanpa ada maslahahanya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji, apakah kita menerima dan melaksanakannya dengan jawaban atau sebaliknya samina wa asayna.

Fiqh Islam sebenarnya tidaklah sekaku yang dibayangkan sebagian orang. Fiqh Islam memiliki nilia fleksibilitasnya sendiri. Dia dapat mengadopsi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dan ini telah terbukti secara historis. Sepanjang empat belas  abad, fiqh telah mengharungi bermacam ragam realitas sosial dan politik, dari Afrika hingga Asia, dari Mesir hingga Samosir. Namun fiqh tetap fiqh, ia masih utuh seperti ketika ia mula-mula lahir. Ini karena fiqh memiliki mekanismenya sendiri untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang ada.  

Dalam fiqh Islam dikenal kaedah yang sangat popular taghayyur al-aÍ-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah, (hukum berubah dengan perubahan masa dan tempat) dan Al Tsabit bi al Urf ka al Tsabit bi al Syar, (adat bisa menjadi hukum). Kaedah ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dan tempat dapat mempengaruhi ketetapan hukum. Urf(kebiasaan masyarakat setempat) dapat dijadikan sandaran hokum dengan syarat ia tidak kontradiktif dengan syariat Islam, maksudnya teks eksplisit dalam al-Quran yang tidak mengandung multi interpretasi.

Ibn Abidin menegaskan: Urf yang bertentangan dengan nash tidak bisa  menjadi pertimbangan.

Selanjutnya Ibn NajÊm juga mengatakan: Urf tidak bisa menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada ketetapan nash nya (al-manÎËÎ alayh). Oleh sebab itu, hukum haramnya ghibah dan dusta, wajibnya shalat, zakat, puasa, haramnya riba, hukum nikah dan talaq, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap penzina, dan lain-lain yang oleh ulama dikategorikan qaÏÊ al-thubËt wa al-dilÉlah  tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat berubah.

Namun umumnya, kebanyakan kalangan liberalis terburu-buru alergi sebelum melihat sisi manfaatnya. Satu conoh kasus hudud karena dianggapnya tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Mari kita teliti lebih dalam. Setiap hukuman mempunyai tujuan ganda, pertama, untuk menciptakan keadilan bagi yang teraniaya dan disini diperlukan adanya prinsip retributive. Kedua, sebagai pelajaran bagi masyarakat banyak, atau selalu disebut dengan detterance.  

Apa saja hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan hanya akan menciptakan kekacauan yang lebih hebat. Sebagai contoh, jika keluarga yang terbunuh tidak merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pembunuh maka akan timbul kekecewaan. Dan kekecewaan akan mendorong reaksi yang tidak rasional.

Orang tersebut mungkin akan melakukan balasan pembunuhan, mungkin terhadap si pelaku atau kepada keluarga terdekat si pembunuh. Apabila pihak yang terbunuh juga tidak merasakan keadilan, maka dia juga akan melakukan tindakan yang sama sehingga akan terjadilah proses cycling pembunuhan. Pada akhirnya  akan menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi dengan hukum hudud, perasaan ketidakadilan tadi dapat dihindari, karena pihak yang dirugikan terpuaskan dengan hukuman yang dijatuhkan.

Apakah ada hukuman yang lebih kejam bagi si orang yang menciptakan huru-hara selain hukuman bunuh  itu sendiri. Jadi dengan hukum hudud prinsip keadilan yang merupakan bagian penting dari objektif syariah telah terlaksana. Lantas kenapa golongan liberalis menolak hukuman hudud?

Sama halnya ketika kalangan aktifis gender menolak poligami. Apakah dengan diharamkannya poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang diinginkan kalangan liberal, masyarakat Islam akan menjadi lebih terhormat dan dihargai, menjadi lebih maju dan berkembang?

Sudah lebih dua abad, semenjak kolonialisme, umat Islam membelakangkan hukum Islam, khususnya yang berhubungan dengan ruang publik. Sudah sejak lama, hukum hudud dan qisas tidak diterapkan tanpa harus ada reinterpretasi dan sejenisnya. Tapi nyatanya, tetap saja umat Islam terbelakang,mundur dan menjadi objek pemerasan.

Dalam Islam, fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral.

Yang dimaksudkan sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqh berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqh mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubah, makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan harampun tidak bisa sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqh lebih merupakan etika atau moral. Jadi, disini fiqh memainkan fungsi double,sebagai hukum positif dan moral. Aspek inilah yang menurut Daud Bakar yang membedakan secara prinsip konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. (Mohd Daud Bakar, Hukum Islam Antara Prinsip Syariah dan Perbendaharaan Fiqh, Kuala Lumpur).

Penutup

Demikianlah wacana pembaharuan hukum Islam (sekularisasi hukum Islam) dan usuh fiqh sedang marak diperdebatkan para  cendikiawan dan pemikir Muslim hari ini. Berbagai tawaran diajukan untuk dijadikan alternatif kepada usuh fiqh yang ada. Karena banyak menilai bahwa usuh fiqh yang ada mengandung banyak kelemahan yang prinsipil.

Sayangnya, sampai detik ini, belum satupun tawaran metodologis itu teruji secara metodologis pula. Solusi dan usulan mereka masih terlalu umum dan kabur, belum menampakkan satu bentuk yang konkrit. Yang adanya hanya luapan-luapan kritik atas pikiran-pikiran ulama klasik. Sementara mereka sendiri masih belum mampu melampaui prestasi para ulama ushuliyyun di masa lalu.

Belum satu pun diantara mereka yang mampu menghasilkan karya usuh fiqh yang mumpuni. Tawaran-tawaran pembaruan usuh fiqh perlu kita sikapi dengan kritis, tidak apriori. Tetapi, jangan sampai kita terburu-buru membuang khazanah klasik keilmuan Islam, hanya karena melihat ada yang baru. Apalagi, terbukti, tawaran-tawaran pembaruan epistemology termasuk bidang usuh fiqh  juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat yang berakar pada  worldview sekular-liberal. Wallahu alam.*

Penulis adalah dosen di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Maraih  PhD bidang Pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM)

Rep: -

Editor: Cholis Akbar

No comments:

Post a Comment